tirto.id - “Saya tak akan membiarkan anak perempuan saya merasakan derita yang saya alami saat menstruasi. Keluarga saya memperlakukan saya seperti ‘tak tersentuh’. Saya tidak boleh ke dapur, saya tidak bisa masuk ke tempat ibadah, saya tidak bisa duduk bersama orang-orang lain”
Petikan ini adalah curahan hati Manju Baluni, perempuan India berusia 32 tahun, yang ditulis oleh Rupa Jha di BBC pada 2014 silam. Jha memaparkan, perbincangan mengenai menstruasi di India lama terpendam jauh dari permukaan lantaran hal ini dianggap tabu. Karenanya, banyak orang yang masih mempercayai mitos seputar perempuan yang sedang menstruasi di sana: tidak suci, kotor, sakit, bahkan dikatakan terkutuk.
Jha menceritakan pengalamannya terkait menstruasi. Ia tumbuh di lingkungan penuh perempuan, tetapi mereka tidak pernah membicarakan secara terbuka tentang hal normal dialami perempuan yang telah puber. Dulu, Ibu dari Jha biasa memotong kain seprai lama untuk dipakai sebagai pembalut oleh anak-anak perempuannya. Yang paling melekat di benak Jha kala itu adalah perasaan khawatir dan malu ketika menggunakan potongan-potongan kain yang dimanfaatkan sebagai pembalut cuci-pakai saat dia dan saudari-saudarinya remaja. Mereka harus menjemur potongan kain tersebut tanpa diketahui oleh laki-laki. Jha pun diberi kiat oleh kakak-kakaknya untuk menjemur potongan kain pembalut di bawah pakaian lain sehingga mereka tidak ketahuan sedang menstruasi.
Lain lagi dengan pengalaman Margdarshi (15). Gadis belia ini melihat sendiri teman-teman laki-laki sekelasnya tertawa saat bahasan mengenai menstruasi diangkat di kelas biologinya. Margdarshi yang tak pernah membolos pun sempat nyaris berhenti sekolah setelah mendapat menstruasi pertama kalinya.
“Saya merasa malu, marah, dan sangat kotor. Saat itu saya sampai memutuskan stop bersekolah,” aku Margdarshi.
Mayoritas perempuan di India masih merasa malu jika ketahuan membeli pembalut. Karena itu, mereka memilih membawa pulang pembalut dengan bungkusan koran atau kantong cokelat untuk menghindari pandangan merendahkan dari orang-orang sekitar. Tidak hanya itu, meminta tolong laki-laki untuk membelikan pembalut untuk para perempuan ini pun dianggap sebagai suatu pantangan.
Di Indonesia, hal semacam ini masih sering ditemukan. Sebagian laki-laki enggan membelikan keluarga atau pasangannya pembalut karena merasa hal tersebut merupakan momok. Ketika berbelanja pembalut di minimarket, apotek, atau warung pun, kerap kali si penjual atau kasir ‘secara otomatis’ membungkus barang ini tanpa bertanya apakah si perempuan butuh pembalutnya dibungkus atau tidak.
Tabu dan stigmatisasi terkait menstruasi membawa dampak lebih buruk lagi bagi perempuan-perempuan muda di sub-Sahara, Afrika. Dilansir Huffingtonpost, banyak perempuan sub-Sahara Afrikayang akhirnya meninggalkan kelas selama berhari-hari saat menstruasi, bahkan segelintir terpaksa putus sekolah karenanya.
Sama seperti sebagian perempuan di India, minimnya akses mendapatkan pembalut membuat mereka terpaksa menggunakan kain-kain cuci-pakai yang belum terjamin higienis. Dampaknya, perempuan berpotensi mengalami infeksi pada alat kelaminnya. Para perempuan yang ingin membeli pembalut harus merogoh kocek lebih dalam. Bahkan, ada perempuan terpaksa terlibat dalam seks transaksional demi dapat membeli pembalut.
Hal ini malah memperbesar risiko terkena HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Belum lagi jika pada celana atau rok mereka didapati noda menstruasi. Para perempuan ini—tak berbeda dengan pengalaman banyak perempuan di Indonesia—akan menerima cemooh atau olok-olok dari lingkungan sekitar. Mahalnya biaya untuk mendapatkan pembalut dan besarnya kemungkinan dicemooh lantaran sedang menstruasi, para perempuan di sub-Sahara Afrika akhirnya ‘dipaksa’ membolos sekolah.
Represi terhadap perempuan yang sedang menstruasi kian parah di India. Pada saat banyak perempuan yang masih sulit mengakses pembalut demi menjaga kebersihan saat menstruasi, pemerintah justru membuat kebijakan yang makin menurunkan peluang mereka mengakses pembalut. Baru-baru ini, diberitakan The Times of India bahwa pemerintah akan menerapkan pajak 12 persen untuk pembalut. Hal ini pun mengundang protes dari banyak perempuan dan aktivis yang merasa kebijakan ini tidak adil bagi mereka. Pasalnya, berbeda dengan seks, menstruasi adalah kondisi natural yang tidak bisa dipilih para perempuan.
Tabu menstruasi tidak hanya ditemukan di India atau negara-negara berkembang. Di negara-negara Barat yang tergolong maju pun, hal ini masih sering dijumpai. Lewat bahasa misalnya, tersimpan pesan bahwa menstruasi merupakan hal yang dihindari untuk diungkapkan dalam ruang-ruang publik terbuka.
Tabu ini terejawantah melalui sederet ekspresi bahasa Inggris yang berasosiasi dengan menstruasi: auntie Flo,on the rag, girl flu, back in the saddle, jam and bread, going to Oklahoma, dan howlin’ at the moon. Di media sosial yang membuka peluang untuk mengetengahkan wacana terpinggirkan pun, orang-orang yang membahas menstruasi sempat menghadapi kendala. Rupi Kauradalah contoh blogger perempuan asal Kanada yang mengunggah foto perempuan menstruasi di Instagram dan pernah mendapat sanksi penghapusan gambar oleh platform media sosial tersebut.
Di Australia, Dr. Carla Pascoe dari University of Melbourne menyoroti tentang tabu menstruasi yang masih jamak di sana. Dalam situs ABC, dipaparkan sejumlah hasil penelitian Pascoe yang mempelajari perilaku terkait menstruasi selama 100 tahun terakhir. Menariknya, beberapa pihak justru memanfaatkan tabu menstruasi untuk mendulang untung.
“Bila kamu menganalisis iklan-iklan sanitary products, kebanyakan menggunakan narasi ‘beli produk kami karena kami bisa menawarkan cara efektif untuk menutupi menstruasi Anda’,” ujar Pascoe.
Saat mewawancarai sejumlah perempuan dari berbagai latar usia, Pascoe juga menemukan bukti bahwa mereka masih ingin menyembunyikan keadaan menstruasi.
“Beberapa perempuan mengatakan kepada saya, jika mereka berada di rumah orang lain dan tidak ada tempat sampah di kamar mandinya, mereka akan membungkus pembalut atau tampon dengan tisu toilet, menyimpannya di dalam tas, dan membawanya pulang. Mereka yang mengatakan ini adalah perempuan-perempuan dewasa. Sementara saat mengamati remaja-remaja putri, saya menemukan satu orang yang pernah membungkus pembalut atau tamponnya, lantas menaruhnya dalam bungkusan yang disembunyikan di kolong tempat tidur, hanya karena ia tidak ingin ketahuan membuang pembalut atau tamponnya di tempat sampah keluarga,” jabar Pascoe.
Ia juga menyampaikan bahwa perempuan-perempuan di sana kerap menyembunyikan tampon atau pembalut yang mereka beli dari supermarket dan merasa tak nyaman memperbincangkan soal menstruasi kepada orang-orang terdekat mereka.
“Perempuan merasa sulit memutuskan untuk berhubungan seks atau tidak saat menstruasi…Apakah pasangan mereka akan jijik atau tidak olehnya,” imbuhnya.
Mendobrak Tabu Menstruasi
Jamaknya tabu menstruasi mendorong sebagian pihak yang merasa wacana ini penting diketengahkan untuk membuat sejumlah kampanye dan sosialisasi. Sekelompok orang India mencetuskan situs Menstrupedia guna mematahkan mitos dan kesalahpahaman tentang menstruasi. Situs ini dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian remaja-remaja putri, termasuk di dalamnya terdapat komik yang menjelaskan tentang pubertas, menstruasi, dan pengelolaan masalah higienis. Situs ini telah dikunjungi 100.000 orang per bulan.
Situs sejenis juga dibuat oleh Chella Quint, peneliti asal New York yang mendalami edukasi seputar menstruasi di Inggris. Dikutip dari Independent , Quint membuat proyek #periodpositive dengan tujuan membuat para perempuan melihat menstruasi tidak dari sudut pandang yang negatif.
Di Instagram, terdapat akun @her.period buatan Bel Garza , remaja asal Texas, Amerika Serikat, yang mencoba aktif menumbangkan tabu menstruasi. Garza masih berusia 16 saat mulai menaruh perhatian terhadap isu menstruasi. Tidak hanya menyebarkan gambar-gambar bermuatan pesan positif tentang menstruasi, ia pun menggagas suatu gerakan untuk menyediakan pembalut atau tampon untuk remaja putri dan perempuan-perempuan tunawisma di Texas.
Aktivisme terkait menstruasi dibawa lebih jauh lagi oleh Cass Clemmer, seorang seniman transgender yang memublikasikan gambarnya dengan celana bernoda darah di Instagram pada 12 Juli lalu. Dalam gambar tersebut, ia memegang papan bertuliskan
“Menstruasi tidak hanya untuk perempuan #bleedingwhiletrans.” Di samping fotonya, Clemmer juga menyertakan puisi yang berisi curahan perasaan dan pemikirannya menjadi seorang transgender dari perempuan ke laki-laki yang kerap mengalami kepelikan saat menstruasi.
“Saya ingat, saya pernah bercerita kepada teman, saya tidak bisa membebat dada pada hari itu lantaran saya sedang menstruasi. Payudara saya tengah membengkak sehingga sulit sekali bernapas jika saya memakai bebat,” ucapnya kepada Huffingtonpost.
“…tidak semua orang yang menstruasi adalah perempuan, dan tidak semua perempuan menstruasi.”
Upaya mematahkan tabu menstruasi lewat budaya populer juga dilakukan baru-baru ini oleh Plan International, sebuah lembaga nonprofit yang berfokus pada anak-anak. Mereka membuat kontes mendesain emojiyang merepresentasikan menstruasi.
Tujuannya, agar orang-orang, khususnya bagi anak-anak dan para remaja mudah dan nyaman membicarakan tentang hal ini. Kontes tersebut disambut animo besar dari warganet. Lebih dari 54.600 orang memilih desain yang dipampang di media sosial Plan International. Desain terpilih akan diajukan ke Unicode Consortium, perusahaan asal California yang mengelola distribusi emoji di seluruh dunia.
Dari kisah-kisah soal tabu menstruasi di pelbagai negara, dan para aktivis yang mencoba menghapus tabu itu, apakah Anda yang masih berpikir menstruasi sebagai ihwal yang tabu?
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra