tirto.id - Marlina pernah hamil, tapi keguguran. Marlina pernah bersuami, tapi kini janda. Marlina juga pernah diperkosa, tapi berhasil memenggal kepala pemerkosanya.
Runtutan cerita itu padat digambarkan dalam babak pertama Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, karya Sutradara Mouly Surya. Marlina, sang tokoh utama yang diperankan Marsha Timothy, tampil mencekam dalam babak itu. Ia bukan tipikal wanita dengan emosi meluap-luap, tapi tetap saja tak bisa betul-betul tenang saat Markus (Egi Fedly) datang ke rumahnya dan terang-terangan bilang mau merampok, menjarah ternak, sekalian meniduri Marlina.
Rumah Marlina memang jauh dari mana-mana. Kalaupun berteriak, pasti tak ada yang dengar. Kalaupun lari, Markus bisa saja mengejar dalam sekejap, dengan motor bututnya yang bising. Namun, perempuan itu bukannya frustrasi dan kehabisan akal. Lima dari tujuh bandit yang ingin menjarah rumahnya, justru mampus di tangan Marlina. Empatnya tewas diracuni, sedangkan Markus yang sempat memerkosanya, mati dengan kepala terpenggal.
Cerita belum habis di sana. Ingat, ini masih babak pertama.
Seperti yang terpampang jelas di judulnya, kisah Marlina terbagi dalam empat babak: Perampokan, Perjalanan, Pengakuan, dan Kelahiran. Masing-masing bukan hanya merekam perjalanan seorang perempuan korban perkosaan dalam mencari keadilan, tapi juga potret sosial-budaya manusia—laki-laki dan perempuan—yang sudah terlilit benang kusut patriarki.
Baca juga:Empat Fragmen Pembalasan Dendam Marlina
Marlina tampil sebagai simbol perempuan etnis, dari kelas miskin, tidak berpendidikan, dan tinggal di daerah terpencil. Ia sepertinya tak pernah baca buku Judith Butler, seorang filsuf feminis atau paham apa bedanya feminisme gelombang satu sampai sekian, tapi yakin kalau keadilan atas hal yang menimpanya harus ditegakkan. Meski telah mengakhiri nyawa para perampok dan pemerkosanya, Marlina tetap ingin dunia tahu kalau kebebasannya sudah dikangkangi—bahwa dendamnya harus dituntaskan.
Sambil menenteng kepala Markus, yang mulai pucat kehabisan darah, babak kedua dimulai.
Mouly membingkai perempuan sebagai sumbu utama film ini, sementara laki-laki adalah kebisingan yang menghantui mereka. Premis itu diukirnya tebal-tebal. Bahkan dibangun sejak awal sekali film dimulai: si janda Marlina ditanyai keberadaan suaminya, oleh sang perampok. Didikte ini-itu tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan berlaku—dan beruntungnya kaum itu ketika ada tujuh lelaki yang ingin menidurinya dalam satu malam.
Omongan ngalor-ngidul para perampok di ruang tamu juga tampil sebagai latar suara yang bising, ketika Marlina berpikir di dapur, sambil memasakan sup ayamnya yang bernas itu. Perampok yang diperankan Yayu Unru (Posesif, Night Bus) bahkan sempat bilang, “Kalau lubangnya enggak ketat, kan artinya dia menikmati juga,” dalam bahasa Indonesia berlogat Sumba. Teori-teori asal sebut tentang korban perkosaan itu melengkapi mimpi buruk para perempuan.
Baca juga:Mitos: Semua Korban Perkosaan Tidak Pernah Orgasme
Beratnya beban hidup perempuan bukan cuma diceritakan lewat karakter Marlina. Dalam film ini, semua aktor perempuan menguliti beban-beban tersebut. Novi (Dea Panendra) hadir untuk bercerita tentang beratnya tudingan pada perempuan hamil besar, apalagi kalau sudah 10 bulan tapi tak melahirkan juga. Mama penumpang (Rita Matu Mona) hadir untuk menggambarkan peran besar seorang perempuan dalam rumah tangganya sendiri hingga rumah tangga ponakannya.
Para perempuan dalam film-film ini juga ditampilkan gagah berani, sementara para laki-lakinya tolol dan cemen. Lihat senyum bengis Marlina ketika para perampok tumbang satu per satu karena racunnya. Lalu, sadarkah Anda kalau Novi dan Nenek tidak menunjukkan takut berlebihan pada kepala Markus yang dijinjing Marlina—sebagaimana ketakutan yang ditunjukkan sopir truk atau segerombolan pria yang ambyar turun dari bak truk.
Namun, ironisnya, tokoh-tokoh pemberani dan perkasa ini tetap harus memvalidasi diri mereka dengan persetujuan, perlindungan, dan pengakuan dari para lelaki. Lihat bagaimana Novi berusaha keras meyakinkan suaminya atas kekeliruan yang diciptakan mitos-mitos; dan bagaimana Marlina, sang korban perkosaan, mengadukan penderitaannya pada polisi (Ozzol Ramdan) yang cuma memintanya bersabar. Bahkan, ironi paling kencang ditampilkan ketika Marlina, yang tangguh itu, tetap butuh mayat suaminya (Tumpal Tampubolon) untuk tempat mengadu sambil sesenggukan.
Celah-celah buruk dari kultur patriarki ini dipotret Mouly secara terang. Uniknya, meski isu ini adalah sebuah problema yang besar yang tak populer-populer amat, Mouly berhasil membungkusnya dengan apik. Sama sekali tak membosankan atau banjir drama.
Kuncinya, adalah humor-humor hitam yang ditaburnya di tempat-tempat tepat. Misalnya, bagaimana kita—penonton—akan tertawa tiap kali mendengar sup ayam, atau bagaimana Novi berceletuk kocak tentang rahasia-rahasia perempuan yang umumnya tabu di kalangan masyarakat patriarki.
Sumba yang menjadi latar juga dimanfaatkan Mouly baik-baik. Sabana luas itu mendorong ide kreatifnya untuk membalur kisah Marlina dan isu yang dibawanya dengan genre Western. Kuda, musik daerah, padang tandus, kontemplasi Marlina, dan jangan lupa parang, jadi simbol-simbol yang diselipkan Mouly untuk memperkuat sensasi genre itu.
Mengambil Sumba sebagai latar, Mouly tampaknya juga ingin menunjukkan sisi lain Indonesia—bahwa di negeri yang pamornya lebih dekat sebagai negeri mayoritas Muslim ini, masih punya kelompok lain, dalam hal ini Marapu, sebagai kepercayaan lokal Sumba. Ia juga mengingatkan kita bahwa masih ada daerah yang memang sudah mengenal ponsel, tapi butuh berjam-jam untuk sampai ke kantor polisi terdekat. Lambatnya waktu berjalan di Sumba berhasil diejawantahkan Mouly lewat banyak sekali long shot lanskap sabana yang cantik itu.
Marlina hadir sebagai tontonan yang bukan cuma penting, tapi juga menarik.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra