tirto.id - Hidup Marlina seketika berubah setelah diserang, diperkosa, dan ternaknya dirampok sekelompok pria. Ia bertekad untuk membalas dendam. Hari demi hari ia lewati dari satu kota ke kota lain dengan satu tujuan: membunuh para pelaku.
Kira-kira seperti itu gambaran besar dari film terbaru Mouly Surya berjudul Marlina the Murderer in Four Acts yang rencananya rilis pada November. Film ini dibintangi oleh Marsha Timothy, Yoga Pratama, Egy Fedly, dan Dea Panendra. Tokoh Marlina sendiri dimainkan oleh Marsha Timothy.
Proses pembuatan Marlina sudah berlangsung sejak akhir tahun 2014. Adalah Garin Nugroho, sutradara senior (Daun di Atas Bantal, Opera Jawa), yang memberi ide cerita kepada Mouly berdasarkan perjalanannya di Nusa Tenggara Timur.
“Kira-kira 2014, ide cerita dari Mas Garin masuk. Lalu, setelah itu kita mulai persiapan untuk pembuatan film. Casting, crew hiring, sampai akhirnya bisa produksi di pengujung 2016,” ungkap Mouly. “Total waktu buat syuting cuma satu bulan dan merupakan film paling cepet di antara film gue lainnya.”
Selama persiapan yang dilakukan dalam kurun waktu dua tahun, Mouly tak lupa mengikutsertakan naskah Marlina dalam pitching forum seperti di Asian Project Market of Busan International Film Festival pada 2015 serta Cinefoundation L’Atelier di Cannes setahun berselang.
Baca juga:Film Indonesia Dengan Penonton Terbanyak
Pitching forum adalah tempat di mana pembuat film dan calon investor bertemu. Proses pitching terdiri atas seleksi proposal dan presentasi yang biasanya diselenggarakan dalam festival film atau forum terpisah. Beberapa pitching forum yang dikenal antara lain Docedge Kolkata (India), CNEX China Documentary Forum (China), Tokyo Docs (Tokyo), Docs Port Incheon & DMZ Docs Fund (Korea Selatan), International Documentary Film Festival Amsterdam (Belanda), serta Docs by the Sea (Indonesia).
Proposal Marlina menarik perhatian Sasha and Co. Rumah produksi asal Perancis ini sepakat menjadi mitra ko-produksi bersama Cinesurya dan Kaninga. Tak hanya Sasha and Co. saja, turut bergabung kemudian yakni Astro Shaw (Malaysia), HOOQ (Singapura), dan Purin Pictures (Thailand).
“Yang unik dari film Marlina ialah adanya international co-production. Ini cukup membantu sekali untuk proses produksi. Terutama saat produser dari Perancis memberi masukan untuk logika penulisan naskah yang sangat detail dan teknis. Sehingga dari masukan itu memberi ragam penceritaan yang positif,” jelas Mouly kepada Tirto.
Baca juga:Indonesia Bawa Dua Film Pendek ke Festival Film Cannes
Setelah masa produksi usai, pelbagai festival film pun mulai dijajaki. Tercatat Marlina sudah tayang di Melbourne Film Festival, Toronto International Film Festival, sampai Director’s Fortnight di Cannes Film Festival 2017. Khusus yang terakhir, Mouly merasa masuknya Marlina dalam panggung Cannes adalah sebuah pencapaian tersendiri.
“Jujur, cukup kaget ketika Marlina bisa tampil di Cannes. Dari banyaknya saingan dengan kualitas yang enggak main-main, rasanya kans untuk masuk ke sana sulit. Meski demikian, keputusan memilih Marlina untuk main di Cannes bukan di kita,” terangnya.
Bagi Mouly, tampilnya Marlina di festival-festival film internasional menjadi perjalanan baru sekaligus pintu masuk untuk proyek selanjutnya. Di lain sisi, Mouly juga menolak anggapan klise yang menyatakan bahwa film-film Indonesia di festival internasional sulit dipahami.
“Sekarang pertanyaannya: film festival yang seperti apa? Apakah masyarakat pernah menonton film-film yang ‘festival’? Dari sini seperti ada yang mengkotakan; ini film festival, itu bukan film festival. Entah tujuannya untuk apa,” papar Mouly. “Mungkin untuk menyelamatkan industri ini.”
Penerimaan publik internasional terhadap Marlina bisa dibilang positif. Toronto International Film Festival dalam laman resminya menyebutkan Marlina “kuat, provokatif, dan menakjubkan secara visual.” Sementara majalah Variety memuji peran penata musik Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang dianggap mampu menangkap personifikasi Enrio Morricone (komposer legendaris asal Italia) dan menafsirkannya dalam bentuk keaslian Indonesia lewat balada folk Sumba.
Menanggapi respon yang baik dari dunia internasional, Mouly tak ambil pusing. “Pada dasarnya gue enggak terlalu peduli dengan kritik dari pengamat atau sejenisnya. Yang penting bagi pembuat film adalah bagaimana dengan film itu dapat berkomunikasi dengan penonton.”
Baca juga:Film Indonesia Dipromosikan di Festival Film Cannes Perancis
Mouly telah menyutradarai tiga film panjang. Pada 2008, Mouly melepas debut filmnya bertajuk fiksi. Dibintangi Ladya Cheryl, Donny Alamsyah, dan Kinaryosih, fiksi. berkisah mengenai kehidupan rumah susun di Jakarta yang dipenuhi bermacam karakter unik dari sudut pandang tokoh utama; Alisha (dimainkan oleh Ladya Cheryl), seorang gadis yang memiliki kecenderungan untuk menjadi psikopat dan obsesi terhadap cinta sehingga rela melakukan apa saja guna memperolehnya. Termasuk dengan menyakiti dan membunuh.
Fiksi. mendapatkan sepuluh nominasi dalam Festival Film Indonesia 2008 dan memenangkan empat di antaranya: kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Mouly Surya), Skenario Asli Terbaik (Joko Anwar), serta Musik Pengiring Terbaik (Zeke Khaseli).
Lima tahun berselang pasca kesuksesan fiksi., Mouly hadir lagi dengan What they don’t talk about when they talk about love (sering disebut Don't Talk Love). Film ini terbagi dalam dua kisah. Pertama, cerita mengenai Fitri (Ayushita) perempuan tunanetra yang jatuh hati pada dokter hantu, Edo (Nicholas Saputra). Kedua, asmara antara Diana (Karina Salim), penderita miopi dan Andhika (Anggun Priambodo), murid baru di sekolah berkebutuhan khusus.
Sama halnya dengan fiksi., film kedua Mouly juga mendapatkan apresiasi tinggi. Pada Festival Film Indonesia 2013, Don't Talk Love dinominasikan untuk Skenario Asli Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik. Tak hanya itu, what they don’t talk about when they talk about love juga tampil di banyak festival film mulai dari Busan, Tokyo, Göteborg, hingga Sundance.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf