Menuju konten utama
Obituari

Kisah Pistol Bambang Widodo Umar sebelum Jadi Pengamat Kepolisian

Sebelum jadi akademisi kepolisian, Bambang Widodo Umar pernah ikut dalam pembebasan sandera Pesawat Merpati pada 1972.

Kisah Pistol Bambang Widodo Umar sebelum Jadi Pengamat Kepolisian
Bambang Widodo Umar. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/16

tirto.id - Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah maskapai Indonesia pertama yang mengalami pembajakan udara, yaitu pada 5 April 1972. Maskapai tertua milik pemerintah Indonesia, Garuda Indonesia, baru mengalaminya akhir Maret 1981.

Waktu pembajakan Merpati terjadi, MNA Vickers Viscount Penerbangan 171 dari Surabaya ke Jakarta berada di atas Tegal. Kisah pembajakan pertama di Indonesia ini diceritakan Hendro Subroto dalam Sintong Pandjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 252-253).

Pesawat yang dipiloti Kapten Pilot Hindarto dan Co-Pilot Soleh itu rupanya mengangkut penumpang yang diam-diam membawa granat buatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sang pembawa bukan orang sembarangan, dia desertir KKO (Marinir AL) bernama Hermawan. Nyalinya tentu besar untuk membajak pesawat. Dia sempat memaksa pintu pesawat dibuka, tapi dicegah pilot.

Akhirnya pesawat itu mendarat paksa di Maguwo (Bandara Adisucipto). Seperti pembajak di film-film, Hermawan minta uang tebusan. Besarnya kala itu Rp20 Juta. Belum ada pasukan khusus untuk urusan pembajakan pesawat waktu itu. Tapi, aparat kepolisian dan unsur ABRI lainnya mencari jalan untuk membebaskan sandera.

Ruang tunggu penumpang di bandara itu pun banyak dipenuhi aparat berpangkat perwira menengah. Ada satu perwira muda di antara mereka. Baru dinas 5 bulan di Kepolisian Negara di Yogyakarta. Dia lulusan Akademi Kepolisian 1971, pangkatnya inspektur polisi tingkat II. Umurnya kala itu masih 24.

Inspektur polisi muda ini matanya tak bisa lepas dari pesawat baling-baling yang sedang terparkir di bandara. Di situlah pembajak beserta sandera berada. Sudah barang tentu pesawat ini terus diawasi Angkatan Udara, yang punya tangsi dan pasukan di dekat bandara. Inspektur muda itu bernama Bambang Widodo Umar.

"Saya perhatikan, kaca pilot itu kok membuka dan menutup terus. Saya ambil kesimpulan, pilot mencoba memberi tanda. Kalau kaca membuka, pembajak ada di belakang. Kalau kaca menutup, pembajak ada di kokpit," aku Bambang kepada Merdeka.

Bambang Widodo Umar pegang pistol revolver kala itu. Tanpa bermaksud sok jagoan seperti Charles Bronson di layar lebar, Bambang diam-diam mendekati pesawat. Bambang mencoba melihat keadaan di kokpit, apa daya tangga tak mendukung. Bambang tidak bisa berbuat lebih lagi. Tak mungkin dia menindak langsung si pembajak.

“Serahkan saja pistolnya pada saya. Saya bisa menembak,” kata Kapten Pilot Hindarto.

Maklum, lulusan Taloa ini pernah di Angkatan Udara. Tak tunggu lama, pistol Bambang pun pindah tangan. Meski ada kekhawatiran pistol di tangan pilot itu bisa bikin si pembajak tambah mengamuk. Apalagi Hermawan tampak kesal karena tak ada tanda-tanda permintaan uang tebusannya akan dipenuhi.

Tak lama tiga letusan pistol pun terdengar. Hermawan si pembajak berhasil dirobohkan Hindarto. Drama pembajakan pun rampung. Hilang pula kekhawatiran maskapai penerbangan perintis Merpati, yang diancam Hermawan akan diledakkan pesawatnya. Lenyap juga kekhawatiran penumpangnya.

Sayangnya, Hermawan tidak diakui sebagai pembajak yang berbahaya. Hendro Subroto mencatat Hermawan yang desertir KKO itu hanya “pembajak amatir” dan ulahnya hanya dianggap “tindak kriminal biasa” (hlm. 252-253).

Jadi, bagi Hendro, polisi yang dianggap remeh pun bisa atasi hal itu. Penyanderaan pesawat atau apapun tak dianggap serius. Pembajak Woyla yang tidak terlatih lebih dianggap tidak amatir oleh Hendro.

Polisi cum Akademisi

Setelah kasus pembajakan itu berlalu, Bambang Widodo Umar, yang berjasa memasukkan pistol yang melumpuhkan pembajak itu, tak dikenal sebagai pasukan anti-pembajakan di kepolisian. Dia memang berkarier di kepolisan, namun lebih dikenal sebagai akademisi yang mengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan kriminolog dari Universitas Indonesia.

Dalam beberapa pemberitaan media nasional, dia kerap dilabeli sebagai pengamat kepolisian. Selain lulus dari Akademi kepolisan 1971, Bambang pernah belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan di Universitas Padjadjaran.

Sedari tahun kemarin, Bambang Widodo Umar adalah salah satu pengamat yang risih dengan penggunaan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) dalam pemilihan umum. Kepada Antara, dia pernah bilang, "pemerintah harus tegas menegakkan hukum bila ada SARA dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019".

Isu SARA, menurutnya, kerap “digoreng” kalangan tertentu demi memenangkan jagoan mereka dalam pemilihan umum.

Infografik Bambang widodo Umar

Infografik Bambang widodo Umar

Bambang Widodo Umar juga termasuk orang yang sangat percaya Pancasila baik bagi bangsa Indonesia. Selama ini, menurutnya, Indonesia sudah kemasukan paham radikal yang sudah menerbitkan banyak keresahan publik. “Penerapan nilai Pancasila dalam setiap sendi kehidupan bangsa mutlak dilakukan agar Indonesia tidak terseret nilai asing serta paham radikal dan terorisme,” jelasnya kepada Antara.

Pada 2001, Bambang Widodo Umar yang berpangkat komisaris besar polisi, seperti dicatat Sutrisno dalam Sosiologi Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil Pasca Orde Baru (2016), bersama beberapa perwira lain dituduh hendak makar. Hingga mereka pun diperiksa (hlm. 123).

Tuduhan makar yang terjadi di zaman kepresidenan Abdurahman Wahid (Gus Dur) itu membuat Kapolri Suroyo Bimantoro dinonaktifkan. Tapi isu itu tak bikin cacat pamor Bambang. Pendapatnya masih diperlukan media dan didengar publik.

Laki-laki kelahiran Ngawi, 10 Desember 1947 ini tutup usia pagi tadi pukul 07.15 WIB. Ia meninggal di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Nasihat baiknya demi pemilu yang bermartabat lebih banyak diingat daripada kisah kisahnya mengatasi pembajakan Pesawat Merpati.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN PESAWAT atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan