tirto.id - Jelang aksi demontrasi 4 November 2016 yang isunya makin panas, Presiden Joko Widodo pun sowan ke rumah Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Banyak yang menilai pertemuan dua tokoh itu dalam rangka meredakan gejolak pascaucapan Ahok soal Al-Maidah 51 pada 4 November nanti. Penilaian yang sangat masuk akal dan sudah jelas.
Prabowo sendiri, tak lama setelah kedatangan Jokowi, langsung bicara soal rencana aksi demonstrasi 4 November. "Kita harus jaga jangan sampai ada unsur-unsur yang mau pecah belah bangsa. Kalau ada masalah, kita selesaikan dengan sejuk dan damai," ujar Prabowo.
Isu 4 November 2016 tampak diperlakukan sangat serius. Ini terkait banyak hal, yang sudah pasti terkait isu keamanan dan stabilitas nasional. Secara teori, tentu ini wilayah yang menjadi tugasnya Panglima TNI dan Menteri Pertahanan, yang keduanya berada di bawah koordinasi Menkopolhukam. Tapi, tidak kali ini. Presiden justru didampingi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia (Menko Maritim), Luhut Binsar Panjaitan, bukan didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam), Wiranto.
Selain Luhut, Jokowi saat itu didampingi juga oleh Menteri Sekertaris Negara, Pratikno. Keduanya mengawal Jokowi saat bertamu ke Hambalang. Daripada Pratikno, Luhut terlihat lebih intens terlibat. Ia selalu berada tak jauh dari Jokowi. Raut mukanya ekspresif, terus merespons setiap kalimat yang dikeluarkan Jokowi maupun Prabowo, saat tanya jawab dengan wartawan.
Sebelum Jokowi meninggalkan Hambalang, Luhut sempat ngobrol sebentar dan lantas bersalaman dengan Prabowo. Sedangkan Luhut memperlihatkan sikap siap dan berhormat. Setelah itu Luhut pun masuk ke dalam mobil.
Siapa tak kenal Luhut Binsar Pandjaitan? Kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo tak dapat dibantah. Beberapa pos kementerian pernah didudukinya. Tapi bicara kedekatan, atau lebih tepatnya: hubungan, antara Luhut dan Prabowo rasanya lebih menarik.
Bicara soal masa lalu, Luhut punya riwayat sangar. Lebih dari dua puluh tahun dalam dinas militernya berada di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Menariknya, kariernya di Kopassus mentok hanya sebagai Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus) saja.
Prabowo, tentu tak kalah sangar, juga lebih dari dua puluh tahun di Kopassus. Prabowo bahkan menjadi Komandan Jenderal Kopassus ke-15, dari 1995 hingga 1998. Setelah itu ia menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), walau hanya dua bulan. Karier militernya mentok sampai Komandan Sekolah Komando ABRI. Pangkat terakhirnya hanya sampai Letnan Jenderal saja.
Sedangkan Luhut, setelah 1995, ia ditugaskan sebagai Komandan Komando Resort Militer (Danrem) di Madiun. Luhut tak pernah jadi panglima. Setelah menjabat Komandan pada Komando Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Kodiklat TNI AD), Luhut sudah didutabesarkan di Singapura dari 1999 hingga 2000.
Meski tak lagi berdinas di militer pada 1999, pangkatnya sudah Jenderal penuh. Namun kendati berstatus jenderal penuh, pemilik bintang empat, Luhut tak pernah menjadi kepala staf angkatan. Selain Luhut, ada beberapa tentara yang berstatus jenderal penuh tapi tidak pernah memimpin angkatan. Di antaranya adalah Hendropriyono, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hari Sabarno.
Ketika Abdurahman Wahid jadi Presiden, Luhut ditarik menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, dari 2000-2001. Dalam politik praktis, Luhut pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya (Golkar) dari 2009 hingga 2014.
Luhut sendiri sudah berusia 69 tahun. Empat tahun lebih tua dari Prabowo. Luhut yang lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1970 masuk ke Kopassus sejak 1971. Sementara Prabowo yang lulusan Akabari 1974 baru masuk Kopassus pada 1976.
Persamaannya: baik Luhut dan Prabowo sama-masa memulai karier di Korps Baret Merah alias Kopassus sebagai Komandan Peleton Para Komando. Saat itu Kopassus masih bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Keduanya juga sama-sama pernah dikirim bertugas ke Timor-Timur.
Zaman Prabowo-Luhut ini masih muda, terorisme ala Black September berjaya di Eropa. Pembajakan pesawat terbang sering jadi aksi utama para teroris. Kasus pembajakan pesawat pun harus dialami oleh Indonesia. Pesawat Garuda dibajak dan digiring ke Don Muang, Thailand, pada 1981.
Meski memakan korban, baik di pihak pembajak dan Kopassus, operasi pembebasan sandera dianggap sukses oleh Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima ABRI yang dijabat M Jusuf. Kala itu, Sintong Panjaitan sendiri yang memimpin operasi pembebasan sandera.
Demi mengantisipasi pembajakan lagi, maka beberapa personil Kopassus dikirim ke Jerman. Untuk belajar pada Polisi Elit Jerman Barat, Grenzschutzgrupppe 9 (GSG-9). Abang Luhut dan Adik Prabowo pun pernah dikirim belajar ke sana soal operasi khusus kontra terorisme pada 1981. Keduanya menjadi pendiri dan pemimpin Detasemen 81/Anti Teror. Si abang menjadi komandan, dan si adik jadi wakilnya.
Sudah jadi hal umum di kalangan militer Indonesia semua senior (apalagi jika usianya pun lebih tua) dipanggil: abang. Bagi Prabowo, Luhut adalah Abang. Tak hanya di kalangan militer, di organisasi sipil yang terpengaruh militer, ada doktrin tak tertulis, senior selalu benar. Adik harus turut dan hormat pada abang. Bahkan ada cerita miring soal adik angkatan, harus rela melepaskan pacarnya jika abang yang senior naksir pacarnya adik angkatan.
Sintong Panjaitan lebih senior lagi dari Prabowo dan juga Luhut. Abang Sintong punya cerita soal relasi abang-adik itu. Cerita Sintong tentang Prabowo-Luhut itu terekam dalam biografi Abang Sintong, Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).
Peristiwanya terjadi pada suatu hari di bulan Maret 1983. Ketika itu Sidang Umum MPR sedang berlangsung. Luhut, yang masih berpangkat Mayor, dikejutkan oleh laporan dari bawahannya soal pasukan Detasemen 81/Anti Teror yang dipimpinnya malah sedang bersiaga.
Abang Luhut bertanya kepada bawahannya: “Mengapa bersiaga?”
Bawahannya itu menjawab itu atas perintah Kapten Prabowo, sang adik, alias wakilnya. Rupanya, menurut Abang Sintong, sedang disiapkan sebuah plot penculikan terhadap Letnan Jenderal L.B. Moerdani, Letnan Jenderal Sudharmono, dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita.
Abang Luhut pun heran. Ada angin apa sang adik tiba-tiba berencana menculik Moerdani, yang ketika itu menjadi Asisten Intelejen Hankam? Padahal dua hari sebelumnya, sang adik mengajak Abang Luhut untuk mendukung Moerdani menjadi Menhankam/Panglima ABRI. Abang lalu memanggil si adik ke kantor. Namun mereka malah bicara di luar.
“Ada apa, Wo?” tanya Abang Luhut.
“Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap. Pak Benny (Moerdani) mau melakukan coup d'etat,” jelas Adik Prabowo untuk meyakinkan Abang Luhut. Namun si abang membantahnya. Bagi Luhut, Benny Moerdani tak mungkin melakukan kudeta.
Sampai akhirnya Prabowo pun mengatakan sesuatu kepada Luhut: “Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang Kapten dan seorang Mayor.”
Sintong menafsirkan kalimat Prabowo yang diucapkan dengan bangga itu sebagai permintaan dukungan dari Abang Luhut, sebagai pelindung dan dirinya sebagai pemain utama. Abang Luhut tak termakan dengan isu kudeta dan tak mau bertindak tanpa perintah atasannya.
Luhut akhirnya mengamankan semua senjata anak buahnya di markas detasemen. Luhut melapor kepada Sintong Pandjaitan soal ini. Selidik punya selidik, berdasar pengakuan perwira yang terlibat dalam plot operasi, sasaran penculikan nantinya akan dibawa ke Cijantung untuk dihadapkan pada Soeharto. Karena Abang Luhut tak memberi restu, gerakan sang adik akhirnya batal. Beruntunglah tak ada pemecatan untuk sang adik kala itu.
Belakangan Prabowo dipindahkan ke Kostrad. Di sana ia menjadi Komandan Batalyon Infanteri Raider 328. Tapi tak lama di sana, Prabowo kemudian kembali masuk ke Kopassus dan mencapai puncak kariernya sebagai Danjen Kopassus.
Begitulah romantisme Abang Luhut dan yuniornya, Adik Prabowo Subianto, yang sangat energik dan dinamis dalam berpolitik. Meski keduanya sudah tak lagi berdinas militer, jumlah bintang di baret merah tetaplah harus dihormati. Luhut, seperti juga Hendropriyono, punya empat dan Prabowo hanya tiga.
Apa pun itu, Luhur sendiri tidak menyanggah hubungan pribadi antara dirinya dengan Prabowo, yang tidak jarang diselingi perbedaan pendapat. Melalui laman resminya di Facebook, Luhut menulis: "Saya kenal Pak Prabowo sejak dari pangkat Letnan. Sudah lebih dari 30 tahun kami berteman, walaupun kadang kami berbeda pendapat. Tapi kalau kami sudah bicara tentang NKRI, kami jadi sepakat, kami jadi satu dan kokoh. Kami tidak mau ditawar soal itu."
Pernyataan yang normatif, memang. Tapi dari sanalah dinamika hubungan abang-adik itu masih terus berlanjut.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS