tirto.id - Suatu hari di tahun 1973, Letnan Jenderal M. Jasin mengantarkan anak perempuannya ke Bandara Kemayoran. Anak perempuan Jasin itu hendak pergi ke London untuk memperdalam bahasa Inggris. Tapi si anak belum berpengalaman pergi ke luar negeri.
Kebetulan, Brigadir Jenderal Bustanil Arifin akan terbang dengan pesawat yang sama. Jasin tampaknya merasa lega. Ia pun meminta tolong Bustanil agar putrinya dibimbing.
Bagi Jasin, seperti dikatakan dalam memoarnya, M Jasin: Saya Tidak Pernah Minta Ampun Pada Soeharto (1998), wajib hukumnya bagi seorang Muslim untuk menjaga suatu amanah. Jasin seorang Muslim, Bustanil juga Muslim. Jadi keduanya wajib menjaga amanah (hlm. 195).
Putri Jasin yang hendak ke London itu tentunya adalah amanah bagi Bustanil. Jasin sudah berpesan kepada Bustanil untuk menjaga putrinya selama dalam perjalanan. Tapi apa yang terjadi setelahnya, menurut Jasin, “[...] amanah itu justru dilecehkan oleh Bustanil Arifin, dikhianati” (hlm. 196).
“Ketika anak perempuan Jasin tiba di London, ia menulis surat kepada ayahnya bahwa selama dalam penerbangan Bustanil Arifin telah berbuat kurang ajar padanya,” catat David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010: 241).
Istilah "kurang ajar", seperti kata seorang perwira senior ABRI kepada Jenkins, bisa berarti macam-macam. Bisa perkataan yang tidak senonoh (yang menjurus pada tindak asusila) atau mencoba mencium. Pencabulan sangat mustahil dilakukan di pesawat yang berpenumpang ratusan orang.
Dalam memoarnya, Jasin tak menjelaskan secara detail bentuk pelecehan itu. Dia tahu setelah sang anak mengabarinya. Tapi nyatanya, kelakuan Bustanil bikin Jasin berang.
Soeharto Tak Menanggapi
Semula, Jasin yang asal Aceh ini tidak mau main hakim sendiri. Dia mengadu ke Presiden Soeharto dan jajarannya.
“Saya mengirim surat kepada Presiden Soeharto, Jenderal Panggabean, dan Jenderal Soemitro yang isinya mengenai hal tersebut,” aku Jasin.
Ia berharap, dengan kuasa Soeharto, Bustanil dapat hukuman. Tapi Jasin mengadu pada orang yang salah. Jasin tahu Bustanil tak diapa-apakan. Ia pun makin kecewa.
Kebetulan, Bustanil adalah suami dari Raden Ayu Soehardini, yang masih kerabat dengan Raden Ayu Siti Hartinah Soeharto. Meski Bustanil lahir Padangpanjang, ayahnya, Raden Mas Ahmad, adalah priyayi Jawa yang bekerja di perusahaan kereta api di Sumatra.
Pada saat pelecehan itu terjadi, Bustanil adalah petinggi di Badan Urusan Logistik (Bulog). Ia tergolong jenderal yang berada di “front yang basah”. Walau bintang di pundak Bustanil cuma satu dan Jasin sudah tiga, tapi ia tampak terlindungi. Amarah pun harus dipendam Jasin.
Jasin mencatat, hanya Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang peduli kepadanya. “Setelah Bustanil kembali dari New York, Jenderal Soemitro langsung memanggilnya. Bustanil dimarahi bertubi-tubi. Dan selanjutnya diperintahkan menghadap saya untuk minta maaf,” tuturnya.
Singkat cerita, Bustanil pun berani menampakkan batang hidungnya ke rumah Jasin. “Kemunculannya disambut salah seorang ajudan saya dengan sebuah tinju hingga terjadi keributan,” tambah Jasin dalam memoarnya.
Dalam catatan Jenkins, ada yang menyebut seorang perwira muda diajak Jasin menggebuk Bustanil. Tapi, menurut Jasin, begitu ada suara ribut dia mendatangi tempat kejadian penggebukan.
“Jangan ikut campur urusan keluarga saya!” kata Jasin sambil mendatangi Bustanil.
Ia melanjutkan, “Silahkan Anda menuntut ajudan saya! Akan saya bela mati-matian. Dan sekarang giliran saya menghajar kamu!”
Tinju pun mendarat bertubi-tubi ke muka Bustanil sampai bengkak dan berdarah.
Sebagai orang yang berbintang lebih sedikit dan masa dinasnya banyak di bidang logistik, dan tampaknya kalah pula dalam urusan tempur, Bustanil pasrah tak membalas. Ketika Jasin bertanya apa kesalahannya hingga kena gebuk, Bustanil pun mengaku, “Saya bersalah, saya bersalah. Saya minta maaf, saya minta maaf!”
Tapi Jasin yang masih dikuasai amarah menambahi gebukan dan berkata: “Kamu benar-benar kurang ajar! Amanah saya, istri saya, sebagai orang-orang yang sepatutnya kamu hormati, kok sampai hati kamu ingkari dan injak-injak dengan perbuatan tidak senonoh.”
Tak lupa, Jasin menuntut Bustanil untuk membuat pernyataan tentang perbuatannya. Bustanil memenuhi permintaan itu. Tak hanya pernyataan, tapi juga tanda tangannya sekalian. Setelah Bustanil pulang dengan muka bengkak dan berdarah, ajudan Jasin diminta menggandakan pernyataan Bustanil untuk diberikan kepada Soemitro, Menteri Pertahanan Maraden Panggabean, dan Soeharto.
Soeharto kemudian tahu peristiwa itu. Tidak jelas apakah Tien Soeharto, yang masih kerabat istri Bustanil, juga tahu persoalan tersebut. Tapi yang pasti, Jasin lantas dipanggil Soeharto ke Cendana.
“Jenderal jangan main hakim sendiri!” hardik Pak Harto, yang tampaknya berusaha terlihat adil.
Jasin tentu membela diri. Apa yang dilakukannya adalah untuk membela martabat keluarga yang telah diinjak Bustanil. Jasin tentu ingat bagaimana dalam sebuah pidato tanpa teks Soeharto pernah menyebut akan membela istrinya yang diisukan kerap menerima cipratan duit proyek-proyek pemerintah.
Kepada Soeharto, Jasin juga bilang, “lebih baik dirikim ke Vietnam ikut berperang dan mati terhormat, daripada dihina Bustanil Arifin.”
“Sudah, sudah, sudah!” timpal Soeharto.
Jasin Nyungsep, Bustanil Moncer
Apa yang terjadi kemudian, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 149), Jasin yang dari awal 1970 hingga awal 1973 menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat, tak lagi mengisi posisi militer setelah Maret 1973. Dia didamparkan pada posisi Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Kemudian dia menjauh dari kekuasaan Orde Baru. Setelah Peristiwa Malari 1974, dia terjun ke dunia bisnis.
Menurut Jenkins, Jasin yakin akan menjadi KSAD setelah Umar Wirahadikusumah. Nyatanya, bukan Jasin yang mantan Panglima Brawijaya (Jawa Timur) itu yang menggantikan Umar; melainkan seorang jenderal Jawa bekas Panglima Diponegoro (Jawa Tengah), Letnan Jenderal Surono Reksodimedjo.
Pengabdiannya kepada Soeharto pun jadi terasa sia-sia. Putrinya dilecehkan, karier militernya patah ketika hampir mencapai puncak. Itulah Jasin yang malang si penentang Bapak Pembangunan Soeharto.
Waktu berpangkat kolonel, Jasin adalah orang yang ikut berjasa mengatasi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Daud Beureueh di Aceh. Sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda (1960-1963), Jasin memadamkan perlawanan Daud bukan lewat peperangan, tapi musyawarah. Berkat kegigihan Jasin, Daud dan para pengikutnya bersedia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1961.
Sementara itu, menurut Fachry Ali dan kawan-kawan dalam Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru (1996: 93), Bustanil pernah jadi Komandan Kompi Infanteri 22 di Aceh waktu zaman Revolusi. Sebelumnya, dia adalah perwira tata usaha. Karier militernya kemudian jauh dari urusan tempur.
Setelah Sukarno lengser, Bustanil ditempatkan sebagai Asisten Pengawasan, lalu Deputi Pengadaan dan Penyaluran di Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebelum ditunjuk sebagai Kepala Bulog, dia sempat menjadi Konsulat Jenderal di Amerika pada 1972 hingga 1973 dan pernah pula bergelut di PT Berdikari.
“Pada 3 Juni 1973, secara resmi diadakan timbang terima tugas dan jabatan kepala Bulog, dari Achmad Tirtosudiro kepada Bustanil Arifin,” tulis Fachry Ali dan kawan-kawan (hlm. 146).
Ketika hendak mengisi jabatan itu, Brigadir Jenderal Sudjono Humardani memberi daftar orang yang harus dipecat di Bulog. Bustanil tidak memecat langsung, tapi melakukan mutasi pelan-pelan.
Selain jadi Kepala Bulog, Bustanil bahkan ditunjuk menempati pos Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dari 1978 hingga 1993. Pada 1990-an, dia pernah menjabat Komisaris Bank Duta. Intinya, Bustanil Arifin berjaya terus sepanjang Orde Baru meski pernah ada cerita buruk tentangnya di awal 1970-an.
- Kuasa Besar Ali Moertopo Picu Perlawanan Jenderal-Jenderal Intel
- Perang Saudara Nasution vs Lubis Panaskan Angkatan Darat
- Ketika Benny Moerdani Memata-Matai M. Jusuf demi Soeharto
- Prabowo vs Benny Moerdani: Perseteruan Menantu & Orang Kepercayaan
- ABRI Merah-Putih vs ABRI Hijau: Sentimen Agama di Tubuh Tentara
==========
Editor: Ivan Aulia Ahsan