tirto.id - Mantan narapidana biasanya susah cari kerja. Fakta ini berlaku bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tapi tidak untuk bekas anggota Tim Mawar. Mereka tak sulit mendapat pekerjaan. Empat dari mereka malah diangkat pemerintah untuk menjabat di Kementerian Pertahanan.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan pergantian jabatan adalah hal yang biasa. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini menganggap tidak ada yang bermasalah dari pelantikan dua jenderal mantan anggota Tim Mawar yang telah divonis bersalah oleh pengadilan.
[Pelantikan tersebut adalah] pergantian dan mutasi biasa dalam rangka penyegaran organisasi dan tour of duty di Kemhan dan TNI, kata Dahnil, Jumat (25/9/2020).
Dua orang mantan anggota Tim Mawar itu adalah Yulius Selvanus dan Dadang Hendra Yudha.
Jabatan terakhir Yulius adalah Komandan Komando Resor Militer (Korem) 181 Praja Vira Tama, Sorong, Papua Barat dengan pangkat brigadir jenderal. Ia merupakan salah satu anggota Tim Mawar pada 1998 yang divonis 20 bulan penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta dan dipecat dari anggota TNI pada 1999. Namun, pada 2016, ia menjadi Kepala BIN Daerah Kepulauan Riau.
Sedangkan Dadang, yang juga berpangkat brigadir jenderal, pada 1999 divonis 1 tahun 4 bulan penjara oleh pengadilan yang sama. Pada 2016 ia menjadi Kepala Biro Umum Sekretariat Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Yulius dan Dadang adalah bagian dari 11 anggota Tim Mawar yang diadili di Mahkamah Militer tahun 1999. Sebelas orang itu mendapatkan vonis bersalah karena melakukan penculikan terhadap 23 orang aktivis dengan rincian 9 dipulangkan, 13 menghilang, dan 1 sudah terkonfirmasi meninggal dunia.
Pada persidangan di Mahkamah Militer II terungkap bagaimana Tim Mawar yang berasal dari Grup IV Kopassus (Sandi Yudha) melakukan penculikan terhadap sembilan aktivis. Menurut Mayor Bambang Kristiono, selaku komandan Tim Mawar, seluruh kegiatan penculikan aktivis dilaporkan kepada Kolonel Chairawan selaku Komandan Grup IV. Chairawan tak pernah diajukan ke pengadilan. Pihak ABRI saat itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk menangani kasus tersebut. Atas rekomendasi DKP, Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjatuhkan hukuman berupa pengakhiran masa dinas TNI terhadap Komandan Jenderal Kopassus saat itu, Letjen. Prabowo Subianto.
Prabowo sendiri, dalam wawancara dengan Asiaweek tahun 2000, mengakui bahwa dari Februari-Maret 1998 TNI melakukan operasi intelijen tersebut untuk menjaga kestabilan dan keamanan nasional.
Beberapa aktivis, kata Prabowo, termasuk dalam daftar buron polisi. Tapi ia mengakui kecerobohannya dalam bertindak. Dalam wawancaranya untuk majalah Panji edisi 27 Oktober 1999, ia menyatakan penculikan terhadap aktivis Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Haryanto Taslam sebagai “kecelakaan.”
“Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka,” kata Prabowo. “Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis,” ujarnya.
Apapun itu, penculikan dan tindakan kriminal yang dilakukan Tim Mawar di bawah naungan Prabowo benar-benar nyata. Alih-alih hidup sebagai kriminal, kini mereka naik kelas menjadi elite yang menjabat di pemerintahan, bersatu sekali lagi di bawah Prabowo.
Mawar Wangi di bawah Jokowi-Prabowo
Pada Selasa, 9 April 1999, di persidangan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang dipimpin Kolonel (Chk.) Susanto, diputus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999. Hasilnya, Komandan Tim Mawar Mayor (Inf.) Bambang Kristiono divonis 22 bulan penjara dan dipecat dari anggota TNI. Kapten (Inf.) Fausani Syahrial Multhazar selaku Wakil Komandan Tim Mawar, Kapten (Inf.) Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten (Inf.) Yulius Selvanus, dan Kapten (Inf.) Untung Budi Harto masing-masing divonis 20 bulan penjara dan dipecat sebagai anggota TNI.
Sementara enam prajurit lainnya divonis penjara, namun tak mendapat pemecatan. Mereka adalah Kapten (Inf.) Dadang Hendra Yudha, Kapten (Inf.) Djaka Budi Utama, dan Kapten (Inf.) Fauka Noor Farid yang masing-masing divonis 1 tahun 4 bulan penjara. Sedangkan Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.
Sayangnya, sempat ada proses banding yang sesuai dengan konsep pengadilan militer, yaitu tak bisa disaksikan secara terbuka. Hasilnya, hanya Bambang Kristiono yang dipecat dari TNI. Dia kemudian aktif di Partai Gerindra.
Selvanus masih sibuk berdinas di TNI. Sedangkan istrinya tercatat memimpin perusahaan keamanan bernama PT Mawar Sebelas yang sering kali melibatkan anggota Kopassus dari Serang, Banten.
Di masa pemerintahan Jokowi, beberapa anggota militer ini mendapat nasib baik. Bukan baru di tahun 2020, tapi pada 2016 Yulius mendapatkan kenaikan pangkat sebagai brigadir jenderal. Hal ini tak lepas dari promosi jabatan yang diembannya sebagai Kepala BIN Daerah Kepulauan Riau yang mengharuskan pejabat setingkat perwira tinggi.
Yulius adalah anggota Tim Mawar pertama yang menjadi perwira tinggi. Ini terjadi setelah Panglima TNI mengeluarkan Surat Perintah Nomor: Sprin/120/I/2016 tentang “Kenaikan Pangkat” pada 19 Januari 2016. Sekarang, Yulius ditarik ke Kementerian Pertahanan sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan.
Selain Yulius, ada tiga lagi anggota eks Tim Mawar yang juga mendapat kenaikan pangkat tahun itu. Pertama adalah Kolonel Fauzambi Syahrul Mutazhar yang dahulu adalah Wakil Komandan Tim Mawar. Dahulu ia bernama Fausani Syahrial Multhazar. Kemudian Kolonel Nugroho Sulistyo Budi, dan Kolonel Dadang Hendra Yudha.
Fauzambi Syahrul dan Nugroho Sulistyo Budi menjadi brigadir jenderal setelah penerbitan Keputusan Panglima TNI Nomor:Kep/463/VI/2016 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di lingkungan TNI.
Fauzambi dipromosikan dari Kepala Sub Direktorat Analisa Strategi, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan, menjadi Direktur Veteran, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Kemenhan. Sedangkan Nugroho Sulistyo Budi dari agen madya BIN Daerah Jawa Tengah menjadi Direktur Komunikasi Massa Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN.
Tidak lama, Fauzambi ditarik menjadi staf khusus Kepala Staf TNI AD (Kasad) dan dimutasi tahun 2020 menjadi Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan.
Nugroho lebih cemerlang lagi. Pada 31 Januari 2020, melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/92/I/2020, Nugroho dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Politik Kementerian Pertahanan. Dia adalah salah satu mantan anggota Tim Mawar yang paling cepat digaet Prabowo ke dalam jajaran Kementerian Pertahanan. Satu bulan setelahnya, dia naik pangkat menjadi mayor jenderal.
Terakhir, pada 1 Agustus 2016, Kol. Dadang Hendra Yudha menyusul menjadi brigadir jenderal selepas keluarnya Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/613/VIII/2016. Dadang mendapat promosi menjadi Kepala Biro Umum Sekretariat Utama BNPT yang dijabat seorang bintang satu. Kini ia berada di bawah Prabowo sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan.
Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam paper bertajuk "Civil-Military Relations in Indonesia after The Reform Period"(2018) menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil tidak punya daya tawar besar untuk menjaga kekuasaannya meski menang Pemilu 2014. Karena itulah, menurut Sebastian dan kawan-kawan, Jokowi menyandarkan kekuasaannya kepada kelompok militer.
“Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa jadi perpanjangan tangan pemerintah untuk memuluskan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawan.
Menurut Sebastian, sejak dahulu, pola kepemimpinan presiden Indonesia dari sipil yang lekat dengan militer tak pernah berubah. Sukarno dahulu sempat akrab dengan Abdul Haris Nasution. Kemudian di era Reformasi, Megawati Soekarnoputri juga mengakrabkan diri dengan militer. Dia berkaca dari pengalaman Abdurrahman Wahid, pendahulunya yang reformis, yang harus tumbang karena tak cukup akrab dengan kalangan militer.
Jokowi, bagi Sebastian, tak ada bedanya dengan gaya pemerintahan Orde Baru yang bergantung kepada militer.
“Ketergantungan para pemimpin sipil kepada bantuan militer untuk mengonsolidasikan kekuasaan terus berlanjut di era demokrasi, dengan konsekuensi negatif pada proses pembuatan kebijakan. Penunjukan pensiunan jenderal militer untuk posisi sipil cenderung meningkatkan peran TNI dalam penyelesaian masalah, khususnya yang berkaitan dengan problem sosial dan ekonomi, dan dengan demikian mempromosikan solusi yang disikapi secara militer,” catat Sebastian.
Mengkhianati Reformasi
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai restu Presiden Jokowi mengangkat dua eks anggota Tim Mawar yang terlibat pelanggaran HAM pada 1999 adalah pelanggaran terhadap janjinya sendiri, terutama janji mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa.
Ada dua pengingkaran Jokowi yang bertolak belakang dengan janjinya menyelesaikan kejahatan HAM di masa lalu. Pertama, dia telah menyerahkan kendali pertahanan negara—Kementerian Pertahanan— kepada seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan kemanusiaan: Prabowo Subianto. Sebelumnya Jokowi juga sudah pernah melibatkan Wiranto yang punya rekam jejak kejahatan kemanusiaan pula di Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Kedua, Jokowi ikut mengangkat orang-orang yang sudah pernah diadili karena kasus penculikan aktivis. Bagi Usman, tindakan ini seakan-akan pemimpin Indonesia menjadi pemaaf dan pelupa terhadap pelanggaran terburuk di era Orde Baru dan harusnya ditinggalkan di masa Reformasi.
“Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan. Ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap HAM yang ditetapkan pada era Reformasi. Mereka yang terlibat pelanggaran HAM seharusnya tidak diberikan posisi komando di militer maupun jabatan strategis dan struktural di pemerintahan,” kata Usman.
Direktur Program Asia Tenggara Lowy Institute Ben Bland menganggap bahwa ketika Jokowi menjabat terlalu banyak kepentingan politik yang harus dikompromikan. Hasilnya, bukan hanya gagal menyelesaikan kasus korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu, Jokowi juga dianggap masyarakat sebagai presiden lemah yang terdesak di antara tuntutan reformasi dan kepentingan oligarki.
Dalam buku berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020), Bland mencatat politik transaksional dan dinasti politik yang dibangun Jokowi menjadi simbol lemahnya kepemimpinan dia di mata aktivis. Dan bagi Bland, pemerintahan Jokowi bukannya dirusak oleh kepentingan politik di sekitarnya, tapi justru memang itulah sosok sesungguhnya dari mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
“Dari rekam jejaknya di Solo, Jokowi memang selalu bersikap pragmatis daripada idealis. Dia adalah pemimpin yang didorong oleh aksi, bukan ide,” toreh Bland.
Jika ditarik jauh ke belakang, penyebab Tim Mawar bisa melenggang ke Kementerian Pertahanan tak lain adalah akomodasi politik Jokowi yang merangkul Prabowo sebagai Menteri Pertahanan pada pembentukan kabinet 2019. Bagi Bland, langkah itu adalah pembungkaman terhadap kubu oposisi dan bentuk penurunan demokrasi di Indonesia.
Jokowi dianggap sebagai biang kerok rusaknya demokrasi karena awalnya orang melihat Jokowi sebagai harapan. Besar dari kelompok sipil, politikus PDIP ini mengucap janji yang ditunggu-tunggu banyak orang: mengusut kasus pelanggaran HAM.
Tapi, menurut Bland, ternyata “itu hanya retorika, bukan komitmen untuk tindakan nyata.”
Dua agenda besar Reformasi adalah pemerintahan dengan sistem demokrasi serta penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu dan Jokowi gagal dalam keduanya. Pertama, ia gagal menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Kedua, Bland melihat “Jokowi tidak pernah menjadi pendukung demokrasi sesungguhnya” seperti yang orang-orang pikirkan. Dalam catatan Bland, Jokowi hanya memandang demokrasi sebagai alat.
Seperti kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fattia Maulidiyanti, yang disalahkan dalam pengangkatan ini bukan (hanya) Prabowo, tapi justru Jokowi. Apalagi pelantikan dua anggota Tim Mawar (Yulius dan Dadang) hanya bisa terjadi karena Keputusan Presiden (Keppres) No. 166 tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari dan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Pertahanan yang diteken Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/9/2020).
"Pemerintahan Joko Widodo semakin keluar jalur dari agenda reformasi dengan melupakan rekam jejak peristiwa di masa silam," kata Fattia melalui keterangan tertulis, Sabtu (26/9/2020).
==========
KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan