tirto.id - Seorang pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada kami bahwa Presiden Joko Widodo seakan telah “menampar pipi kiri” dia ketika mengangkat Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad yang dipecat pada November 1998, sebagai menteri pertahanan pada 23 Oktober 2019. Ia bilang gelagat itu telah terlihat sejak “diplomasi nasi goreng” Megawati menjamu Prabowo di Teuku Umar No. 27 Menteng, kawasan perumahan elite di pusat kekuasaan Indonesia, tiga bulan setelah Pemilihan Presiden 2019.
Ia berkata telah “pasang badan” demi memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019. Ia mengaku menenangkan Megawati ketika Ketua Umum PDIP itu panik begitu mendengar ada sebagian purnawirawan mendukung Prabowo pada kampanye Pilpres tahun lalu—polarisasi politik dan militer yang brutal sejak 2014.
Bayangkan, katanya dengan nada getir, “ada orang yang memaki-maki Jokowi sebagai 'antek-Cina', 'PKI', 'anti-Islam', malah dijadikan menteri pertahanan.”
Jokowi tak cuma mengecewakannya, tapi juga membokongi para pemilihnya terutama dari kelompok relawan yang meyakini mantan Wali Kota Solo ini mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya relawan-relawan yang terhubung dalam aktivisme menurunkan Presiden Soeharto, mertua Prabowo, pada Mei 1998.
Pengunduran diri Soeharto, 22 tahun lalu, ditandai kasus penghilangan paksa, di antara peristiwa kekejaman lain, dan Prabowo adalah bagian para perwira tinggi dalam pusaran perubahan kekuasaan itu.
Ada sembilan orang diculik yang kembali dengan selamat, termasuk enam aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang bersaksi tentang pengalamannya disekap dan disiksa, terdokumentasi dengan baik dalam laporan media dan lembaga resmi negara. Mereka adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Faisol Riza, Mugiyanto, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati. Bersama Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, dan Pius Lustrilanang, mereka dibawa ke Pos Komando Taktis Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.
Pelaku penculikan adalah satuan tugas dikenal ‘Tim Mawar’, yang lahir dari Grup 4/Sandi Yudha Kopassus, di bawah kendali sehari-hari Komandan Batalyon Infanteri 42 Mayor Bambang Kristiono (Akmil 1985). Adapun atasan Bambang adalah Komandan Grup 4 saat itu Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan. (Bambang mengajukan pensiun dini dan kini anggota DPR dari Fraksi Gerindra di Komisi Pertahanan. Chairawan, kini pensiunan jenderal bintang dua, diangkat oleh Menhan Prabowo sebagai asisten khususnya pada Desember 2019.)
Bersama 10 personel lain, dari berpangkat kapten hingga sersan satu, Mayor Bambang lewat Tim Mawar menjalankan operasi pengumpulan informasi serta mendeteksi “tindakan radikal dan ancaman keamanan,” menurut Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang mengusut anggota Tim Mawar pada 1999.
Pengadilan itu memvonis 11 anggota Tim Mawar bersalah atas tindakan mereka merampas kemerdekaan melalui penangkapan, penahanan, dan penculikan kepada sembilan orang yang telah kembali, tetapi tidak untuk mereka yang hilang.
Setidak-tidaknya, dalam kesaksian kepada tim penyelidik Komnas HAM yang digelar 2005-2006, ada empat orang lain yang diduga disekap di markas Kopassus, termasuk Herman Hendrawan, aktivis PRD yang diculik pada 12 Maret 1998. Dalam gelombang penculikan oleh Tim Mawar yang berhenti terhadap Andi Arief pada akhir Maret 1998, anehnya, teman mereka, Petrus Bima Anugerah hilang pada 1 April. Suyat juga hilang setelah diculik di Solo pada 13 Februari. Lebih misterius lagi Wiji Thukul yang kemungkinan dihilangkan pada akhir Mei 1998, sesudah Soeharto lengser.
Mengapa? Mengapa jika tujuan akhirnya menangkap Andi Arief, masih ada orang-orang yang dihilangkan? Mengapa ada yang kembali dengan selamat dan ada yang hilang—untuk tidak disebut mati? Benarkah persaingan para perwira tinggi Angkatan Darat saat itu memengaruhi jalannya operasi? Apakah ada operasi di dalam operasi?
Laporan kolaborasi ini—antara wartawan dan peneliti politik dan militer serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)—berusaha menggali dan menganalisis kembali dokumen-dokumen resmi negara, dokumen primer dan sekunder lain, serta mewawancarai sejumlah narasumber. Laporan media terakhir yang mengulas secara ekstensif kasus ini adalah edisi khusus Tempo pada pekan kedua Mei 2013, yang menelusuri jejak Wiji Thukul dari 1995-1998. Made Supriatma, peneliti independen, menulis untuk IndoProgress mengenai Tim Mawar pada Mei 2014. [Catatan redaksi: Made Supriatma termasuk salah satu tim kolaborasi untuk laporan ini.] Tim Mawar kembali disebut media-media di Jakarta setelah peristiwa kekerasan berujung kematian sembilan orang antara massa pendukung Prabowo dan polisi-polisi Indonesia dalam demonstrasi menentang keputusan KPU memenangkan Jokowi di depan Gedung Bawaslu, Mei 2019.
Lawan dan Kawan: Memilih ‘si Orang Baik’
Pada Pilpres 2014, ruang redaksi media terbelah; sebagian publikasi arus utama menyatakan sikap dukungan terhadap Joko Widodo, secara terang-terangan lewat tajuk editorial maupun malu-malu, yang memandang Gubernur Jakarta itu mewakili harapan segar—yang kini terdengar naif—mampu memutus rantai kebal hukum terhadap para pelanggar HAM. Ada politik ketakutan menilai Prabowo Subianto bisa kembali ke istana negara ketika sistem politik elektoral Indonesia semakin terpusat dikendalikan oligarki, yang pucuknya masyarakat-masyarakat Indonesia hanya ditawari pilihan terbatas lewat dua kandidat presiden.
Jokowi, seorang pengusaha mebel dari Surakarta, saat itu dianggap mewakili rakyat kebanyakan; setidaknya perasaan umum ini tergambar ketika ia mengambil tawaran PDI Perjuangan menuju Jakarta pada 2012. Sejak itu istilah relawan menjadi lazim dalam nomenklatur politik Indonesia, yang relasinya sangat cair di luar kader-kader partai politik, sebelum digantikan istilah buzzer politik dan banjir hoaks dalam panggung media sosial selama tiga tahun terakhir. Jokowi menyerap harapan relawannya ketika terbuka berkata mengenai kasus penghilangan orang dalam kampanye Pilpres 2014.
Di satu rumah relawan di kawasan Menteng, 9 Juni 2014, Jokowi berkata kasus masa lalu orang hilang dengan motivasi politik “harus ditemukan” oleh negara. “Bisa ketemu hidup atau meninggal. Masak 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan?”
“Wiji Thukul itu saya sangat kenal baik. Dia orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu,” ujar Jokowi.
Harapan itu ringsek.
Pada Pilpres 2019 yang berbiaya nyaris Rp25 triliun, dua kandidat masih sama. Polarisasi tambah tajam. Narasi-narasi kampanye negatif, yang berpindah ke kendali para buzzer, masih ada yang memakai isu HAM sampai-sampai kubu Prabowo menanggapinya sebagai “kaset rusak yang diulang”.
Sebagai penggantinya adalah narasi “Pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”—satu pandangan yang mengandung kontradiksi besar. Pandangan ‘minus malum’ ini dipakai buat menghambat kampanye golput yang gencar di media sosial. Memilih ‘si orang baik’ ternyata sama buruknya.
Pada 23 Oktober, tiga hari setelah dilantik, duduk bersila di tangga depan Istana Negara, Jokowi mengumumkan 38 anggota kabinetnya. Prabowo Subianto, memakai batik motif parang dan gurda dominan cokelat-hijau, seketika berdiri dan mengulurkan salam hormat setelah disebut Jokowi sebagai menteri pertahanan.
“Selamat pagi, Pak,” kata Jokowi selagi Prabowo kembali duduk bersila di anak tangga teratas, satu baris dengan Luhut B. Pandjaitan. “Saya kira tugas beliau...,” Jokowi meneruskan, “saya tidak usah menyampaikan. Beliau lebih tahu daripada saya."
Komplikasi Dewan Kehormatan Perwira
Di antara nama menteri yang diumumkan Jokowi, ada nama purnawirawan Jenderal Fachrul Razi, berusia 73 tahun, lulusan Akmil 1970, satu angkatan dengan Luhut Pandjaitan. Razi menjadi ketua Tim Bravo 5, jaringan relawan purnawirawan TNI yang terbentuk sejak 2014 lalu diaktifkan lagi pada 2018, demi mendukung Jokowi. Jokowi mengangkat Razi sebagai menteri agama, pos tidak lazim bagi militer yang biasanya jadi jatah politikus sipil.
Pos militer terakhir yang diisi Razi adalah Wakil Panglima TNI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Jabatan ini sudah lama dibekukan sejalan tuntutan reformasi di tubuh tentara karena selain dianggap tidak efektif juga hanya untuk mengisi hari tua perwira tinggi jelang pensiun. Jokowi mengaktifkannya lagi lewat sebuah peraturan pada Oktober 2019, dianggap sebagai solusi mengatasi surplus jenderal dan kolonel mengingat usia pensiun mereka, dalam UU TNI 2004, bertambah menjadi 58 tahun dari semula 55 tahun.
Dua puluh dua tahun lalu, dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Umum ABRI (1998-1999), Razi termasuk satu dari tujuh letnan jenderal yang menyidang Prabowo Subianto (Akmil 1974). Lewat mekanisme yang tidak lazim bernama Dewan Kehormatan Perwira alias DKP (Razi menjadi wakil ketuanya), sidang itu memutuskan Prabowo “diberhentikan dari dinas keprajuritan.”
Dokumen keputusan DKP pada 21 Agustus 1998 memuat penilaian bahwa Prabowo salah menafsirkan perintah atasannya sehingga, secara lisan dan tertulis, menginstruksikan anak buahnya di Grup 4 Kopassus melakukan “operasi khusus” penculikan terhadap sembilan aktivis.
Prabowo tidak melaporkan operasi itu kepada Panglima ABRI, menurut keputusan DKP. Saat itu Pangab dijabat Jenderal Feisal Tanjung (1993-1998) dan Jenderal Wiranto (1998-1999). Prabowo baru melaporkannya pada awal April 1998 atas desakan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Zacky Anwar Makarim, tulis dokumen. (Feisal Tanjung meninggal pada 18 Februari 2013.)
Wiranto membentuk DKP dengan ketuanya Kepala Staf AD Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo (Akmil 1970). Ia beranggotakan empat jenderal bintang tiga, salah satunya Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. (Jabatan ini dihapus sejalan reformasi.)
Seorang pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada kami bahwa rivalitas antara para perwira tinggi, termasuk antara Wiranto dan Prabowo, di orbit terdalam Soeharto menjelang kejatuhan Orde Baru “tidak bisa dinafikan lagi.” Kasus penculikan membuat reaksi dunia cukup keras menyoroti institusi pasukan elite TNI, membuat Amerika Serikat, Australia, dan Inggris menarik bantuan pelatihan militernya, ujar dia.
Alasan kenapa memakai mekanisme khusus berupa DKP, bukan mahkamah militer tinggi, untuk menyidangkan Prabowo adalah sederhana. “Prabowo waktu itu dilindungi oleh statusnya sebagai mantu Pak Harto. Sehingga keluarlah keputusan memberhentikan dari militer secara hormat. Itu bahasa halusnya,” katanya.
“Tapi, bagaimanapun, itu adalah pemberhentian karena kasus (penculikan) ini masuknya ke pelanggaran HAM berat,” ia menegaskan.
Dalam kesempatan-kesempatan terbuka sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, yang didirikan bersama adiknya Hashim Djojohadikusumo pada 2008, Prabowo sangat jarang menyinggung peristiwa masa lalu yang terus membayanginya itu.
Penjelasan paling terbuka Prabowo selama ini pernah dikemukakannya saat berada di Bangkok pada 1999 ketika bersedia diwawancarai empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari majalah Panji, yang kemudian dirilis dalam edisi 27 Oktober 1999.
Prabowo merasa Wiranto seharusnya tahu situasi saat itu. “Begitu dia jadi Pangab, saya juga laporkan sedang ada operasi intelijen,” katanya.
“Perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Dalam DKP saya kemukakan perintah pengamanan itu tidak rahasia. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.”
“Saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lain juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum.”
“Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai, ‘Sudah dapat belum Andi Arief?’ Tiap hari ditanya,” ujar Prabowo.
Linimasa Penculikan dan Kasus Orang Hilang
Penyelidikan Komnas HAM 2005-2006 tentang kasus penghilangan orang secara paksa (dokumennya setebal 1.075 halaman) menyimpulkan kemungkinan logika operasi Tim Mawar bekerja di bawah struktur komando daerah militer (Kodam), sehingga ditengarai ada praktik “peminjaman” melalui bawah kendali operasi (BKO) di dalam unit-unit lebih kecil dan efektif di lapangan. Temuan lain adalah Tim Mawar dan unit-unit pendukung lainnya berada di bawah struktur keamanan tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Tim Mawar menculik para aktivis secara maraton sejak Februari 1998 setelah peristiwa ledakan di unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998.
Pada 13 Februari, Suyat—yang kakinya terluka—diculik di lingkungan rumah orangtuanya di Solo, diduga sempat dibawa ke Kandang Menjangan, markas Grup 2 Kopassus. Lalu ada Herman Hendrawan (diculik pada 12 Maret), Petrus Bima Anugerah (hilang sejak 1 April), dan Wiji Thukul (kemungkinan hilang akhir Mei 1998).
Herman, menurut aktivis yang dipulangkan selepas diculik, sempat disekap di Markas Kopassus. Begitu pula Yani Afri, yang berkata “sudah disekap selama sekitar setahun” bersama Sonny, menurut keterangan Faisol Riza. Yani juga berkata kepada teman satu lokasi penyekapan di Cijantung bahwa ia pernah bersama Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri di lokasi yang sama.
Yani dan Sonny, keduanya pendukung PDI pro-Megawati, diambil di kawasan Kelapa Gading pada 26 April 1997 lalu diinterogasi dan ditahan satu malam di Kodim Jakarta Utara. Keduanya sempat dilepas tetapi secepat kemudian ditangkap lagi dan, setahun kemudian, justru berada dalam satu lokasi penyekapan di Cijantung dengan para korban penculikan yang dipulangkan.
Peristiwa serupa dialami Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri, keduanya pengusaha asal Ambon dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan. Mereka terakhir terlihat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada hari Pemilu 29 Mei 1997. Bersama mereka, hilang juga Ismail, sopir pribadi keduanya.
Korban lain yang dikumpulkan Munir Thalib dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) adalah Abdun Nasser, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Yadin Muhidin; keempatnya hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998 di lokasi-lokasi pembakaran di Jakarta dan Tangerang.
Sandyawan Sumardi, anggota tim gabungan pencari fakta tentang kerusuhan Mei 1998, menerangkan kepada kami bahwa banyak pihak berperan sebagai massa aktif maupun provokator demi mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan dari peristiwa itu.
“Ada keterlibatan dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga ada keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam tubuh ABRI,” demikian temuan tim, mencatat Panglima Komando Operasi Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin “tidak menjalankan tugasnya sebagaimana seharusnya” demi mencegah kerusuhan semakin meluas. (Sjafrie, kini pensiun jenderal bintang tiga, diangkat Menhan Prabowo sebagai asisten khususnya pada Desember 2019.)
Selain ketiga belas orang hilang, ada korban tewas bernama Leonardus Nugroho Iskandar atau Gilang, pengamen jalanan yang vokal dalam demonstrasi anti-rezim militer Soeharto di Solo. Mayat Gilang ditemukan di tengah hutan Magetan pada 23 Mei 1998, dua hari setelah Presiden Soeharto lengser. [Catatan redaksi: Laporan mendetail mengenai operasi penculikan oleh Tim Mawar termuat dalam artikel terpisah berikutnya.]
Korban-korban ini, baik yang kembali maupun yang hilang, berada dalam tegangan dua agenda politik penting di mana Soeharto berupaya mempertahankan kekuasaannya: Pemilu 29 Mei 1997 dan Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998.
Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, memerintahkan pada 25 Maret 1996 untuk menggelar Operasi Mantap demi menjaga “stabilitas nasional.” Pada 27 Juli, massa bayaran Soerjadi dengan bantuan tentara merebut kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Peristiwa ini dipakai dalih pemerintah bahwa Partai Rakyat Demokratik—disebut Soeharto sebagai “kelompok bermental makar”—sebagai pelakunya. Perburuan terhadap anggota-anggota PRD dan organisasi terafiliasi dengannya digencarkan lewat instruksi Feisal Tanjung dan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo.
Kurun itulah pemimpin legal PRD ditangkapi di sejumlah daerah. Mereka yang selamat bersembunyi, termasuk Wiji Thukul yang menyamar ke Pontianak. PRD menarik kader-kader tersisa mereka ke Jakarta, kelak mengantarkan Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah dari Surabaya serta Suyat dari Solo ke ibu kota. Nantinya, PRD membentuk organisasi bawah tanah, lewat sejumlah sayap kolektif dan sel-sel komunikasi terputus melalui jaringan kurir mereka, setelah ratusan aktivisnya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Pusat pada Agustus 1997. Mereka menyimpulkan partai harus segera meradikalisasi massa—dari mahasiswa sampai petani, dari buruh hingga kaum miskin kota—serta menjalin aliansi dengan para kader parpol oposisi demi secepatnya melengserkan Soeharto. [Catatan redaksi: Persaingan elite politik dan militer serta kiprah ‘PRD bawah tanah’ selama 1997-98 termuat dalam artikel terpisah.]
Memasuki kuartal pertama 1998, institusi ABRI mengganti pucuk pimpinan elite militernya. Wiranto, saat itu jenderal bintang empat, menjadi Panglima ABRI terakhir di masa Orde Baru. Ia diangkat pada Februari 1998. Posisi-posisi strategis lain seperti Danjen Kopassus masih dipegang oleh Prabowo Subianto sebelum dialihkan kepada Mayjen Muchdi Purwopranjono pada 21 Maret 1998. Prabowo naik pangkat sebagai Letjen menjadi Panglima Kostrad. Pada periode itu Pangdam V Jaya dikendalikan oleh Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. (Dewan Kehormatan Perwira mencopot jabatan Danjen Kopassus Muchdi Pr., tetapi dinas militernya tetap.)
Mereka patut dimintai kesaksiannya karena, sesuai garis tanggung jawab komando, mereka seharusnya tahu tetapi memilih menutupi atau mengaburkan peristiwa penghilangan orang, menurut dokumen Komnas HAM. [Catatan redaksi: Periode Prabowo menjadi Danjen Kopassus pada Desember 1995-Maret 1998 dibahas dalam artikel terpisah.]
Tim penyelidik Komnas HAM memanggil 34 saksi dari TNI, tetapi hanya Letjen Yusuf Kartanegara, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira, yang bersedia menyambut panggilan itu. (Kartanegara menjadi anggota dewan pertimbangan presiden dalam periode pertama pemerintahan Jokowi.)
Komnas HAM mengirim pemanggilan paksa kepada para saksi kunci dari TNI, termasuk Wiranto, Feisal Tanjung, Prabowo Subianto, Sjafrie Samsoeddin, dan Chairawan Nusyirwan, pada 3 Juli 2006, tetapi mereka menolak hadir. Zoemrotin Susilo, yang berusia 57 tahun saat menjadi salah satu anggota tim penyelidik dan kini berusia 70 tahun, berkata kepada kami bahwa orang-orang yang menolak bersaksi “memilih mengamankan masa depan karier dan politik mereka” dari peristiwa masa lalu tersebut. Tim merampungkan laporan penyelidikannya pada 30 Oktober 2006.
Komitmen yang Menghantui: Reformasi Dikorupsi
Sampai 13 tahun, laporan akhir tim penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa tak pernah disentuh oleh negara. Ia melewati dua kali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Jokowi. Pada 28 September 2009, Panitia Khusus Orang Hilang yang dibentuk DPR merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc (sementara tapi mendesak) dan meminta pemerintah serta pihak terkait untuk segera mencari 13 orang yang dinyatakan hilang oleh Komnas HAM.
Jaksa Agung menolak bolak-balik berkas penyelidikan Komnas HAM dengan dalih “tidak lengkap” tetapi tanpa menjelaskan bagian-bagian mana saja yang dianggap kurang, ujar Sriyana, sekretaris tim.
“Tugas Jaksa Agung yang seharusnya menggenapi penyelidikan dengan mekanisme penyidikan mereka, bukan terus-terusan mengembalikan laporan tanpa alasan,” tambah Sriyana, kini bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kepada kami.
Pada akhir September 2019, protes anak-anak muda bertajuk “Reformasi Dikorupsi” merebak di Jakarta dan kota-kota lain di luar Jawa. Mayoritas mahasiswa dan pelajar ini, berusia antara 16-22 tahun, menyerukan tujuh tuntutan, termasuk mendesak pemerintahan Jokowi menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia.
Sementara demonstrasi mereka dihadapi lewat brutalitas polisi, Jokowi memilih melanjutkan agenda memindahkan ibu kota baru ke Kalimantan, kawasan yang mengalami krisis ekologis, ditaksir menelan anggaran Rp466 triliun di lahan seluas 181 ribu hektare.
Sebelum pelantikan presiden dan kabinet baru, Oktober 2019, Jokowi dan Prabowo bertemu di Istana. Setelah pertemuan, Prabowo terbuka mendukung rencana tersebut. (Dalam laporan Koalisi pada Desember 2019, Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, memiliki lahan konsesi di kawasan ibu kota baru.)
Jokowi menjalankan roda kedua pemerintahannya dengan menggandeng kolega-kolega koalisinya dan merangkul oposisi ke pos-pos menteri strategis. Pemerintahannya kini ditopang oleh nyaris 75 persen kursi koalisi di DPR. Ia ingin agenda utamanya, termasuk percepatan investasi lewat RUU Omnibus Law, bisa cepat disahkan tanpa hambatan bertele-tele di parlemen.
Waktu tak pernah berkhianat. Waktu juga yang menguji komitmen seseorang. Pada periode pertamanya, Jokowi mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam yang, di masa akhir jabatannya, secara keras menghadapi protes anti-rasisme di seluruh Papua, provinsi paling bergolak di Indonesia tapi paling sering dikunjungi Jokowi ketimbang para presiden sebelumnya. Purnawirawan bintang empat lulusan Akmil 1968 ini mengalami penusukan tak terduga saat kunjungan kerja di Banten, 10 hari menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin. Jokowi tetap memakai jasa Wiranto sebagai ketua dewan pertimbangan presiden pada 12 Desember 2019.
Sekarang Jokowi mengangkat Prabowo di pos kementerian yang anggarannya terbesar di antara kementerian lain. Pada awal tahun, bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming, ia menyambut Prabowo dan Didit Prabowo di Istana Yogyakarta. Jokowi mengunggah foto mereka di meja makan: "Tamu pertama di tahun 2020."
Tamu pertama di tahun 2020. pic.twitter.com/2ulWpLdKou
— Joko Widodo (@jokowi) January 1, 2020