Menuju konten utama
Bagian V

Anomali Tim Mawar: Kopassus di Bawah Danjen Prabowo Subianto

Segelintir yang terang dari sisi tergelap operasi Kopassus menculik aktivis 1998.

Anomali Tim Mawar: Kopassus di Bawah Danjen Prabowo Subianto
Ilustrasi Kopassus di bawah Prabowo. tirto.id/Lugas

tirto.id - Peristiwa penting itu terjadi pada 25 Juni 1996 dalam upacara kebesaran militer di Cijantung. Prabowo Subianto, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus sejak Desember 1995, meresmikan reorganisasi Kopassus.

Di bawah kepemimpinannya, Kopassus dimekarkan menjadi lima grup, masing-masing Grup 1 dan Grup 2 (para komando), Grup 3 (pusat pendidikan), Grup 4 (Sandi Yudha), dan Grup 5 (anti-teror). Dari reorganisasi ini, yang penting untuk dicatat adalah pembentukan Grup 4, satuan yang secara terbuka memayungi operasi intelijen Kopassus.

Di Grup 4 inilah kelak beban sejarah Prabowo dan Kopassus tak kunjung usai. Dari grup inilah lahir semacam satuan tugas dikenal Tim Mawar yang melakukan operasi penculikan aktivis antara Februari-Maret 1998.

Sekadar penjelasan tambahan, publik awam tak perlu bingung membaca angka atau penomoran dalam satuan Kopassus karena angka itu sering berganti. Yang terpenting adalah fungsi atau nomenklatur Kopassus yang permanen, yakni para komando, intelijen, anti-teror, dan pendidikan. Seperti yang sudah terjadi, misalnya, satuan yang menangani pendidikan tidak memakai angka lagi; demikian juga Grup 4/Sandi Yudha sudah ganti nama menjadi Grup 3.

Operasi Mapenduma: Chairawan sebagai Penghubung

Lepas dilantik sebagai Danjen Kopassus, Prabowo mengambil peran menyudahi krisis penyanderaan sejumlah peneliti keanekaragaman hayati di Taman Nasional Lorentz di Papua. Para peneliti itu, beberapa di antaranya dari luar negeri, melakukan studi lapangan pada November 1995 hingga Januari 1996. Mereka ditangkap di Mapenduma, sebuah desa di Distrik Nduga, 160 kilometer dari Wamena, ibu kota Jayawijaya, pusat Pegunungan Tengah Papua.

Pelakunya kelompok Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik, seorang putra dari suku Amungme, yang menguasai "teritori perang" dari Mimika, lokasi penambangan emas Freeport, hingga kawasan Pegunungan Tengah.

Menurut East Timor & Indonesia Action Network (ETAN), organisasi hak asasi manusia yang kritis atas kiprah militer Indonesia, Prabowo melihat krisis penyanderaan itu sebagai peluangnya memantapkan reputasi di mata publik Indonesia dan dunia internasional.

Operasi itu tak sepenuhnya berjalan mulus. Menantu Presiden Soeharto itu membangkang perintah Jenderal Feisal Tanjung, saat itu Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang menginstruksikan operasi pembebasan sandera tak perlu diemban oleh perwira tinggi.

Pada 15 April 1996, atau sehari sebelum HUT Kopassus ke-42, Letnan Sanurip, spesialis penembak jitu dari anggota Batalyon 12 Grup 1 Para Komando, memberondongkan peluru ke rekan-rekannya di sekitar landasan udara Mozes Kilangin, Timika. Sedikitnya 10 rekannya tewas, termasuk Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Anti Teror Letkol Inf. Adel Gustimego, Mayor Gunawan, dan Kapten Djatmiko, juga empat warga sipil. (Spekulasi yang beredar saat itu Letnan Sanurip mengalami stres. Kabar lain ia "kecewa karena tak dilibatkan dalam operasi.")

Prabowo turun langsung ke Papua untuk memberi supervisi pasukannya dengan membangun posko di Wamena sejak Januari 1996. Pada 9 Mei, kesatuannya menyerbu lokasi persembunyian OPM pimpinan Kwalik dan menyelamatkan para sandera secara cerdik sekaligus kontroversial. (Pada 16 Desember 2009, Kwalik tewas ditembak oleh Tim Densus 88 di sebuah rumah di Jalan Freeport Lama, Timika.)

Dari peristiwa operasi Mapenduma itu, ada nama penting yang bisa dianggap sebagai “penghubung” langkah Prabowo mereorganisasi Kopassus. Ia adalah Chairawan Kadarsyah Nusyirwan (Akmil 1980), Komandan Grup 4/Sandi Yudha.

Nama Chairawan perlu diberi catatan khusus karena dari lima komandan grup yang dilantik pada Juni 1996, tinggal Chairawan yang masih beredar sampai sekarang; sementara empat nama lain sudah sirna secara perlahan, bahkan ada yang sudah meninggal, yakni Kol. Inf. Slamat Sidabutar (Akmil 1975).

Posisi yang disandang Chairawan sebelumnya adalah Komandan Batalyon (Danyon) 22 di bawah Grup 2 (Kartasura). Namun, mungkin dengan pertimbangan khusus, markas Yon 22 sejak lama berada di Cijantung, bukan di sekitar Solo. Dengan kata lain, Batalyon 22 bisa dibaca sebagai embrio Grup 4.

Itu sebabnya ketika dilantik sebagai Komandan Grup 4, Chairawan masih berpangkat letkol dan baru beberapa bulan kemudian pangkatnya disesuaikan sebagai kolonel. Sesuai kebiasaan di TNI, kenaikan pangkat bagi perwira (di bawah perwira tinggi) hanya dilakukan pada awal April dan awal Oktober.

Dan, pada saat menyandang pangkat kolonel, Chairawan adalah kolonel pertama di generasinya bahkan melampui banyak seniornya.

Saat upacara reorganisasi Kopassus, Chairawan adalah komandan termuda; sementara komandan lain umumnya dari Akmil 1975, bahkan ada yang seangkatan Prabowo (Akmil 1974), yakni Kol. Inf. Herry Pisand Pinem.

Sekadar gambaran lagi, Komandan Grup 3/Sandi Yudha pada lima tahun berikutnya masih dijabat senior Chairawan, yakni (dengan pangkat saat itu) Kol. Inf. Hotmangaraja Panjaitan (Akmil 1977, terakhir berpangkata letjen). Baik Chairawan dan Hotmangaraja diangkat oleh Prabowo sebagai staf khusus di Kementerian Pertahanan pada Desember 2019.

Satu hal yang perlu ditegaskan: Chairawan memang sudah disiapkan Prabowo sejak lama. Dengan kata lain, Chairawan adalah (salah satu) perwira kepercayaan Prabowo.

Disebut salah satu karena pada Operasi Mapenduma, Prabowo setidaknya menurunkan tiga perwira yuniornya untuk memimpin langsung di lapangan. Selain Letkol. Inf Chairawan, dua nama lain adalah Letkol Inf. Adel Gustimego (Akmil 1978, Komandan Den-81 Kopassus) dan Mayor Inf. Musa Bangun (Akmil 1983, Wakil Danyon 328 Kostrad).

Musa Bangun dan Chairawan sampai kini masih menjadi pendukung militan Prabowo, terlebih Chairawan yang ibarat satelit bagi Prabowo. (Bagi yang sempat mengamati nama-nama tim sukses saat Prabowo maju capres 2019, dua nama itu tidak asing lagi.)

Dari Grup 4 yang dipimpin Chairawan inilah lahir Tim Mawar, yang kendali sehari-harinya dipegang Mayor Inf. Bambang Kristiono (Akmil 1985), saat itu menjabat Komandan Batalyon 42. (Kristiono mengajukan pensiun dini dan sekarang anggota DPR dari Fraksi Gerindra di Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi, dan intelijen.)

Tim Mawar dan Anomali Target

Setelah lebih dari dua dekade, apa yang sebenarnya terjadi pada Tim Mawar terutama soal keberadaannya dan kegiatannya, tetap saja gelap. Saya sendiri tidak memiliki info baru, hanya interpretasi, yang mungkin tidak terlalu berarti.

Meski begitu, dihubungkan dengan perjalanan panjang Kopassus, Tim Mawar adalah anomali, setidaknya untuk dua perkara: proses penamaan tim dan kriteria target.

Dalam terbitan resmi Kopassus pasca-Prabowo, nama Tim Mawar tak pernah disebut-sebut, artinya keberadaan tim itu sendiri tidak diakui secara kelembagaan; menjadi beban tak berkesudahan bagi kesatuan.

Penamaan tim sendiri seperti tidak mengikuti pakem, yang biasanya mengadopsi kosakata sanskerta, seperti Nanggala, Tribuana, Candraca, dan seterusnya. Atau, setidaknya mengambil nama unggas yang indah, semisal rajawali, maleo, atau cenderawasih.

Bagaimana mungkin Kopassus dengan citranya yang begitu “macho” memilih nama sandi pada satgas atau tim yang mereka bentuk dengan mengambil nama bunga, meskipun bunga yang paling indah (tapi berduri!)?

Nama sandi yang terkesan diberikan secara sambil lalu adalah sinyal bahwa tim (Mawar) ini sudah bermasalah sejak awal, yang terus berlanjut saat eksekusi di lapangan kelak.

Mungkin pihak yang memberikan nama itu terinspirasi oleh nama sandi operasi di Timor Timur, yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi, yakni Operasi Flamboyan.

Anomali selanjutnya adalah kriteria target. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada korban, terutama yang keberadaannya masih misteri sampai sekarang, tampak tidak ada kriteria yang kokoh dalam menentukan target.

Berdasarkan pengamatan data korban, mayoritas yang menjadi target adalah eksponen Partai Rakyat Demokratik. Kita bisa membaca bahwa aktivis PRD dan organisasi sayapnya menjadi target berdasarkan dua alasan: militan dalam beroposisi terhadap rezim Soeharto dan “kiri” secara ideologis.

Kita bisa memahami bila yang menjadi sasaran adalah eksponen PRD, tentu ini sebagai kelanjutan dari Peristiwa 27 Juli 1996 dan insiden ledakan di rumah susun Tanah Tinggi pada 18 Januari 1998. Peristiwa pertama adalah pengambilalihan paksa atas kantor PDI di Jakarta Pusat pimpinan Megawati oleh kelompok PDI-Soerjadi yang menyebabkan 5 orang tewas dan 149 lain terluka. Sementara ledakan di rumah petak unit 510 itu dianggap para petinggi keamanan Orde Baru sebagai ancaman paling serius untuk menggagalkan Sidang Umum MPR pada Maret 1998.

Namun, bila Tim Mawar juga menyasar aktivis di luar entitas PRD, hal ini menimbulkan tanda tanya besar.

Lagi-lagi tanpa mengurangi rasa hormat terhadap korban, sebut saja misalnya penculikan terhadap para simpatisan dari lingkaran Partai Persatuan Pembangunan, yakni Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri, yang menghilang pada hari Pemilu 29 Mei 1997. Sementara kita tahu PPP sejak dilahirkan tak pernah memiliki riwayat beroposisi secara keras terhadap rezim Soeharto. (Berdasarkan kisah aktivis PRD yang disekap di Pos Komando Taktis di Markas Kopassus Cijantung, Hamdun dan Alkatiri kemungkinan kuat pernah menempati sel tersembunyi tersebut.)

Kemudian, bila kategorinya adalah ideologi “kiri”, apakah nama-nama seperti Desmond J. Mahesa (aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional), Pius Lustrilanang (aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat), dan Haryanto Taslam (aktivis PDI-Megawati), bisa masuk dalam kriteria aktivis beraliran “kiri”? Mungkin lebih tepat ketiga nama yang diculik Tim Mawar pada Februari dan Maret 1998 itu masuk ke dalam kelompok oposan.

Secara singkat bisa dikatakan, mereka sangat tidak layak untuk dijadikan target. Pilihan untuk menangkap ketiganya justru menyisakan pertanyaan besar, selain ada juga rasa prihatin.

Agar lebih jelas apa yang saya maksud, saya bisa mengajukan beberapa nama yang pada dekade 1990-an masuk “tokoh besar” dalam gerakan oposisi dan gerakan pro-demokrasi pada umumnya. Nama-nama dimaksud adalah Bambang Harri (Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung, almarhum), Agus Edi Santoso (Agus Lenon, eks-IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, almarhum), Daniel Indrakusuma (eks-Sejarah Universitas Indonesia, tingkat persiapan), dan Amir Husin Daulay (alumnus Akademi Ilmu Statistik, almarhum).

Bila waktu bisa diputar, saya sama sekali tidak berharap mereka akan masuk daftar target Tim Mawar mengingat sebagian dari nama-nama itu, saya kenal baik secara pribadi. Satu poin yang ingin saya katakan adalah, seharusnya kriteria target adalah yang kelasnya dalam gerakan oposisi selevel dengan nama-nama tersebut. Mereka ‘layak’ dijadikan target berdasarkan dua prasyarat di atas: tokoh sentral oposisi terhadap rezim Soeharto dan secara ideologis (kecuali Amir Husin Daulay) bisa disebut “kiri”.

Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi fenomena salah tangkap oleh Tim Mawar?

SIDANG KABINET PARIPURNA

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, 11 Februari 2020. Pada 1998, mereka bersaing sengit menjelang kejatuhan Soeharto. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Karakter ‘Idu Geni’ Prabowo: Royal ke Anak Buah

Untuk memahami kemungkinan salah tangkap dalam operasi Tim Mawar, kita bisa memeriksa kembali soal kebiasaan atau karakter Prabowo saat menjadi komandan. Prabowo dikenal royal terhadap pasukan dan anak buah.

Karakter kepemimpinan Prabowo bisa dihubungkan dengan apa yang disebut dalam khazanah tradisi kekuasaan Jawa sebagai idu geni, arti harfiahnya “ludah api”. Istilah idu geni biasanya untuk menggambarkan betapa berkuasa seorang raja atau pimpinan sehingga segala ucapannya (atau gagasannya) adalah keniscayaan. Dengan kata lain, segala kehendak Prabowo bisa cepat terlaksana karena dia memiliki pos finansial pribadi, yang mustahil ditiru oleh perwira atau komandan pasukan lain yang setara dengannya. Patut diingat, Prabowo adalah putra teknokrat Sumitro Djojohadikusumo, ekonom berpengaruh di Indonesia, dan menantu Soeharto, penguasa Indonesia selama lebih dari 30 tahun.

Untuk perkara satu ini Prabowo memang tipikal. Sifat royal Prabowo bisa jadi menimbulkan distorsi di lapangan. Sudah umum diketahui, Prabowo biasa membagikan insentif, tentu dalam jumlah di luar imajinasi prajurit rendahan, bila ada anggotanya yang sukses menjalankan tugas di lapangan. Pada fase inilah kecerobohan anggota bisa saja terjadi. Mungkin ada sebagian anggota saat akan melakukan eksekusi di lapangan tanpa terlebih dulu dibekali informasi valid terkait sasaran. Sementara, di sisi lain, ada iming-iming bonus dari Prabowo.

Sifat royal ini pernah diulas oleh Made Supriatma, peneliti politik dan militer, lewat biografi Mário Carrascalão mengenai kiprah Prabowo di Timor Timur, daerah pendudukan militer Indonesia sejak 1975 sampai 1999. Carrascalão berkata Batalyon 328, pimpinan Mayor Prabowo, punya senjata khusus yang dibeli dengan uang dari keluarga Soeharto. Seorang narasumber dalam tulisan Supriatma menyebut “… prajurit-prajurit senang dengan Prabowo karena janji ini-itu. Itu fakta. Karena kalau “berprestasi”, mereka akan dapat hadiah besar. Untuk uang, Prabowo tidak kesulitan.” (Pengungkapan: Made Supriatma terlibat dalam tim seri liputan ini.)

Dalam kesempatan-kesempatan terbuka, baik sebagai Ketua Umum Partai Gerindra yang didirikan bersama adiknya Hashim Djojohadikusumo pada 2008, maupun sebagai Menteri Pertahanan yang diangkat Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019, Prabowo sangat jarang menyinggung peristiwa masa lalu terutama mengenai Tim Mawar.

PRESIDEN PIMPIN RAPAT TERBATAS DI PT PAL

Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto saat menengok fasilitas produksi kapal selam PT PAL di Surabaya, Jawa Timur, 27 Januari 2020). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc.

Penjelasan yang masih bisa diakses oleh publik adalah komentarnya dalam artikel yang ditulis jurnalis Jose Manuel Tesoro untuk Asiaweek pada 3 Maret 2000. Prabowo berkata tujuan dari operasi itu untuk menghentikan pengeboman menjelang pelantikan Soeharto pada Maret 1998. “Kami ingin mencegah rangkaian teror,” katanya.

Beberapa aktivis, kata Prabowo, termasuk dalam daftar buron polisi. Tapi, ia mengakui kecerobohannya dalam bertindak. Ia tidak pernah mengunjungi tahanan tempat para aktivis disekap dan memercayakan laporan petugas yang menangani operasi tersebut. Ia mengklaim tidak pernah memerintahkan penyiksaan.

Komentar terbuka lain adalah wawancaranya untuk Majalah Panji edisi 27 Oktober 1999, yang menyatakan penculikan terhadap Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Haryanto Taslam sebagai “kecelakaan.” “Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka,” kata Prabowo.

“Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis,” ujarnya.

Infografik Kopassus di Bawah Prabowo

Infografik Kopassus di Bawah Prabowo. tirto.id/Lugas

Jaringan Tetap Terawat: Prabowo dan Luhut Pandjaitan di Pemerintahan Jokowi

Nyaris tak ada perwira militer Indonesia pada era Soeharto yang tak pernah bertugas di Timor Timur. Pada 1976, Prabowo menjadi komandan Grup 1 Komando Pasukan Sandhi Yudha (nama saat itu untuk Kopassus) dan terlibat dalam Operasi Nanggala di Timtim. Ia memimpin misi memburu Nicolau dos Reis Lobato, pendiri dan wakil presiden Fretilin, yang menjadi Perdana Menteri pertama Timor Leste setelah deklarasi kemerdekaan pada November 1975. Lobato tertembak di bagian perut dan terbunuh setelah pasukan Prabowo meringkusnya pada 31 Desember 1977.

Setelah itu, Prabowo terpilih dalam kelompok 20-an anggota Kopassandha untuk dikirim ke Jerman menjalani pendidikan anti-teror selama enam minggu bersama GSG 9, unit khusus anti-teror kepolisian federal Jerman. Nama-nama perwira yang terlibat pelatihan ini antara lain Luhut Binsar Pandjaitan (Akmil 1970), Muchdi Purwoprandjono (Akmil 1970), dan Hotmangaraja Panjaitan (Akmil 1977).

Dari pelatihan itu terbentuk Detasemen-81 Penanggulangan Anti Teror (Gultor 81) pada 30 Juni 1982 dengan Mayor Luhut sebagai komandan pertama dan Kapten Prabowo sebagai wakil komandan.

Prabowo pernah menjadi staf khusus sekaligus berselisih dengan Benny Moerdani ketika jenderal didikan Ali Moertopo ini menjabat Panglima ABRI (1983-1988). Perselisihan itu membuat Prabowo dimutasi ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Di satuan baru itu Prabowo semula ditempatkan di Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 di Jawa Barat, kemudian Kepala Staf Brigade Infanteri Lintas Udara 17. Setelah Benny tak jadi orang nomor satu di Departemen Pertahanan, Prabowo kembali ke Kopasssus pada 1993. Kariernya melesat. Hanya dalam tempo 20 tahun, dia sudah berpangkat mayor jenderal.

Pos-pos militer yang pernah disinggahi Prabowo itu bisa kita amati sebagai cerminan bagaimana Prabowo menyiapkan jaringan atau lingkaran di antara yuniornya, yang masih terawat sampai hari ini dan, lebih penting lagi, masih berjalan efektif.

Saya sudah menyinggung sekilas mengenai almarhum Kolonel Adel Gustimego, yang tewas tertembak oleh rekannya sendiri saat operasi Mapenduma. Saat masih hidup, Adel sempat menjadi Komandan Yonif Linud 328 Kostrad dan Komandan Den-81, dua jabatan yang pernah dipegang Prabowo. Pada dua jabatan inilah branding Prabowo terbentuk.

Saat Adel diangkat sebagai Danden 81, yang menggantikannya sebagai Danyon 328 Kostrad adalah (dengan pangkat saat itu) Mayor Inf. Andogo Wiradi (Akmil 1981). Wakil Andogo selaku Danyon 328 adalah Musa Bangun, yang sudah saya sebut sekilas di atas.

Artinya, Prabowo mengandalkan dua nama ini. Pada paruh pertama dekade 1990-an, Prabowo memiliki semacam privilese untuk menentukan siapa yang akan menjadi Danyon 328, meski dia sudah kembali ke Kopassus.

Bagi yang sempat membuka file periode pertama Presiden Jokowi, khususnya pada sektor Kantor Staf Presiden saat masih dipimpin Luhut Pandjaitan, nama Andogo akan muncul. Nama Andogo muncul lagi ketika Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto—menteri perekonomian yang ditugaskan Jokowi buat mengawal Omnibus Law Cipta Kerja—mengumumkan susunan DPP Golkar pada awal tahun 2020. Andogo masuk dalam posisi sebagai salah satu ketua.

Andogo terbilang manusia langka di ranah politik karena bisa menjadi penjuru pada tiga figur pemuncak di negeri ini, yaitu Presiden Jokowi (Andogo sempat menjadi Danrem Solo), Luhut Pandjaitan (di KSP dan Golkar), dan Prabowo (selaku Danyon 328).

Selain Andogo, ada dua nama lain rekan segenerasinya di Akmil yang bergabung di Golkar, yaitu Lodewijk Freidrich Paulus (kini Sekjen Golkar, Akmil 1981) dan Eko Wiratmoko (sempat Waketum Golkar, Akmil 1982). Kita bisa menduga secara cepat bahwa tiga nama ini masuk dalam faksi Luhut Pandjaitan di Golkar, sementara di masa lalu ketiganya masuk dalam lingkaran Prabowo. Luhut sendiri menjabat ketua Dewan Penasihat Partai Golkar.

SIDANG KABINET PARIPURNA

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, 11 Februari 2020. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Anggapan itu berdasarkan fakta bahwa Lodewijk Paulus dan Eko Wiratmoko menjabat Danyon saat Prabowo memimpin Kopassus. Artinya, keduanya adalah perwira terpilih (oleh Prabowo) karena jumlah pos danyon di Kopassus terbatas, hanya tiga danyon dalam satu grup, sementara cukup banyak perwira menengah di Kopassus.

Keberadaan Andogo, Lodewijk, dan Wiratmoko di Golkar, salah satunya, bisa berguna untuk membuka tabir atau hubungan kompleks antara Luhut dan Prabowo. Dengan ketiga nama itu di Golkar, bahwa citra yang dibangun selama ini seolah ada konflik laten antara Luhut dan Prabowo, ternyata cuma ilusi.

Konflik itu memang benar terjadi, tapi sebatas berebut kharisma di jajaran militer atau panggung politik, bukan terkait aset-aset pribadi.

Baik Luhut maupun Prabowo, keduanya berumur 72 tahun dan 68 tahun, menikmati masa tuanya di puncak pemerintahan Jokowi, sebagai menteri maritim dan investasi serta menteri pertahanan. Jabatan ini mungkin adalah sesuatu yang tak terbayangkan oleh mereka sendiri selepas patron mereka, Soeharto, mundur oleh kekuatan gerakan rakyat, 22 tahun lalu. Kekuatan itu salah satunya menyisakan kasus penghilangan orang secara paksa. Kasusnya pernah dijanjikan Jokowi bakal diungkap. Tapi, sampai kini, ia tak menepatinya.

______

Laporan kelima dari enam artikel ini disusun berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Baca juga artikel terkait PENCULIKAN AKTIVIS atau tulisan lainnya dari Aris Santoso

tirto.id - Politik
Penulis: Aris Santoso
Editor: Fahri Salam