tirto.id - Pada Selasa, 28 September 2010, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mewakili pemerintah Indonesia menandatangani "Convention for The Protection of All Persons from Enforced Disappearances" atau Konvensi Anti Penghilangan Paksa di New York. Marty menandatangani Konvensi tersebut di Markas Besar PBB, di sela-sela pelaksanaan Debat Umum Sidang ke-65 Majelis Umum PBB.
Konvensi yang disahkan Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 itu melarang penghilangan orang secara paksa baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik maupun keadaan darurat lainnya di suatu negara.
Dikutip Tempo, Marty mengatakan penandatanganan yang dilakukan Pemerintah Indonesia telah sesuai dengan Rancangan HAM 2010-2014. Hal tersebut juga merupakan advokasi dari berbagai kalangan masyarakat sipil di Indonesia yang sejak tahun 1988 secara aktif mengkampanyekan agar pemerintah menandatangani Konvensi.
"Tadi sudah ditandatangani, tinggal digulirkan proses ratifikasinya (oleh DPR)," kata Marty, masih dikutip Tempo. "Penghilangan secara paksa jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi kita. Jadi hari ini kita menunjukkan kepada masyarakat internasional komitmen kita," katanya.
Konvensi ini adalah satu dari sembilan instrumen HAM internasional yang ada. Delapan di antaranya sudah diratifikasi oleh pemerintah, meliputi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Perlindungan Hak Perempuan, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya, serta Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Koalisi Mendesak Pengesahan RUU Anti Penghilangan Paksa
Per September 2010, ada 19 dari 84 negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Angka itu naik menjadi 52 negara yang meratifikasi dan 96 negara menandatanganinya pada 2016.
Penandatanganan konvensi tersebut menjadi tonggak buat Indonesia, yang sejak 1965 berlumur pelanggaran HAM. Sayangnya, lebih dari satu dekade berlalu Indonesia tak kunjung meratifikasi konvensi tersebut. Tarik-ulur politik di parlemen menjadi salah satu penyebabnya.
Saat ini pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang Secara Paksa telah berada di meja DPR RI Komisi I. Sudah empat bulan berlalu sejak Presiden Joko Widodo mengirim Surat Presiden kepada DPR pada tanggal 27 April 2022. Namun hingga kini belum ada sinyal komitmen dari DPR untuk segera mengesahkan RUU Anti Penghilangan Paksa.
Dalam sebuah focus group discussion yang diselenggarakan 29 Agustus lalu, baru Partai Nasdem yang menunjukkan sikap dukungan pengesahan RUU Anti Penghilangan Paksa.
Dalam diskusi tersebut, Anggota Komisi III DPR dari Partai Nasdem, Taufik Basari mengatakan bahwa penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang sangat serius. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan ketika dilakukan secara luas dan sistematis.
“Ini adalah konvensi yang sangat penting, maka kita harapkan teman-teman di Komisi I dari Fraksi Partai Nasdem juga akan terus mendorong konvensi ini agar bisa segera disahkan dan juga tentunya dengan berdialog dan berdiskusi dengan fraksi-fraksi lainnya di Komisi I DPR RI,” kata mantan aktivis tersebut.
Padahal, pemerintah dinilai telah menunjukkan komitmen untuk mendorong ratifikasi konvensi dengan mengeluarkan Surat Amanat Presiden kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar melakukan percepatan penyusunan RUU Ratifikasi Konvensi pada 12 Oktober 2021, sebagaimana disampaikan oleh Mugiyanto, Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Presiden.
Mugiyanto juga berharap agar pengesahan ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa dilakukan sebelum Universal Periodic Review (UPR) dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2022.
Sementara itu Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa menyampaikan bahwa perlindungan yang ada dalam pengesahan Konvensi ini penting karena sesungguhnya praktik penghilangan paksa bukan hanya terjadi di masa lalu, akan tetapi masih terjadi di era sekarang.
"Sementara Indonesia tidak mempunyai peraturan yang mengatur penghilangan paksa secara spesifik,” kata Tioria Pretty dari KontraS.
Koalisi pun mendesak agar komitmen ratifikasi kali ini sungguh-sungguh diwujudkan setelah mangkrak 12 tahun dan segera mulai dibahas oleh Komisi I DPR RI periode 2019-2024 ini.
Transaksi Politik di Parlemen
Ada banyak korban penghilangan paksa yang terjadi sepanjang republik ini berdiri menanti keadilan datang. Keluarga yang ditinggalkan setia menanti, bahkan hingga ajal menjemput. Menurut Komnas HAM, total korban penghilangan paksa sejak kasus 1965 lebih dari 30.000 orang.
Sementara itu, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) punya data yang lebih spesifik soal jumlah korban penghilangan paksa. Ada 1.049 korban penghilangan paksa dengan identitas yang jelas, waktu penghilangan, hingga konteks kasus yang melatarbelakanginya.
Desember lalu, Tirto menerbitkan empat seri laporan soal penghilangan paksa yang terjadi sepanjang republik ini berdiri - dari operasi pasca DOM Aceh hingga peristiwa 1998. Kami mewawancarai beberapa keluarga korban, aktivis, politikus, dan perwakilan pemerintah soal mengapa ratifikasi ini mandek.
Tiga tahun setelah menandatangani konvensi, Pemerintah berencana untuk meratifikasi dan membawa draf RUU itu ke DPR RI. Namun, respons negatif datang dari pihak-pihak yang punya konflik kepentingan di masa lalu.
Salah satu dari pihak TNI. Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI dan Komnas HAM pada 3 Oktober 2013, mereka minta ratifikasi konvensi itu tidak berlaku surut.
“Perlu ada jaminan bahwa tersangka pelaku dalam kasus-kasus di masa lalu tidak akan dibawa ke pengadilan, bahkan setelah korban kejahatan ditemukan,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, S. Supriyatna, saat itu.
Dalam rapat yang sama, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Hanura juga memberikan respons negatif. Respons negatif tersebut bisa dipahami mengingat dalam rapat yang sama, Komnas HAM menyimpulkan bahwa Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto—yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kopassus—dan Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto—yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI—bertanggung jawab atas praktik penghilangan paksa kepada aktivis pro demokrasi sepanjang 1997-1998. Praktik itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Di rapat berikutnya, 16 Oktober 2013, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq—yang merupakan politikus PKS—juga memberikan respons serupa. Ia khawatir ratifikasi konvensi tersebut berpotensi dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk menggagalkan pencalonan presiden dari politikus yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Saat itu, PKS memang sedang ingin membangun koalisi dengan Partai Gerindra untuk Pilpres 2014. Namun, akhirnya pada 4 Desember 2013, Pemerintah dan DPR sama-sama memutuskan menunda ratifikasi konvensi tersebut sampai waktu yang tak ditentukan. Sejak saat itulah ratifikasi tersebut tak jelas nasibnya hingga kini.
Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, dalam catatannya berjudul Legislasi Sektor Keamanan 2008-2013: Sebuah Potret Involusi, mandeknya ratifikasi tersebut memang ada di DPR RI.
Dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI periode 2009-2014, hanya tiga yang memberikan respons negatif atas rencana ratifikasi itu: Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKS. Enam partai lainnya yang cenderung memberikan respons positif adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, Partai Amanat Nasional, PPP, dan PKB.
“Nuansa politis kembali mengental, rencana pengesahan konvensi ini kemudian dihubungkan dengan pelaksanaan Pemilu 2014, karena waktunya yang berdekatan. Imbasnya, sampai dengan akhir tahun 2013, rencana pengesahan Konvensi Anti-penghilangan Paksa gagal diselesaikan,” tulisnya.
Menurut Wahyudi, banyaknya partai politik di DPR RI yang elitenya merupakan petinggi militer di masa lalu, sedikit banyak mempengaruhi pula kelanjutan dan perdebatan legislasi bidang keamanan—salah duanya ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan Statuta Roma.
“Kemandekan pembahasan beberapa RUU bidang keamanan, musti diakui salah satunya dipengaruhi oleh kuatnya transaksi politik di DPR, baik antar fraksi-fraksi yang ada di DPR, maupun juga melibatkan aktor keamanan di dalamnya, sebagai pemangku kepentingan,” katanya.
Apa yang ditulis oleh Wahyudi seperti terkonfirmasi oleh Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Timbul Sinaga, yang pada Desember lalu menyebut bahwa salah satu hambatan adalah banyaknya “politikus yang takut untuk ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa”.
Redaksi Tirto mencoba meminta pandangan dari sembilan fraksi yang saat ini memiliki kursi di DPR RI periode 2019-2024 tentang upaya ratifikasi konvensi ini. Hasilnya: lima fraksi mengaku setuju dan akan mendukung ratifikasi. Mereka adalah PDIP, Partai Demokrat, PKS, PPP, dan Partai Nasdem.
Peta yang memberikan respons positif ini menarik karena ada PKS, yang pada periode 2009-2014 lalu memberi respons negatif. “Bagus. Kami akan memberikan dukungan,” kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Polhukam, Sukamta, saat dikonfirmasi 18 Januari lalu.
Sedangkan PDIP adalah salah satu partai yang konsisten mendukung ratifikasi konvensi ini sejak periode 2009-2014 lalu. “Untuk Pemerintah segera meratifikasi, hanya tinggal satu itu yang belum dituntaskan. Sikap kami sama dengan yang 2013. Kami menghormati hak asasi manusia, selama ada yang menjadi komitmen dunia, ya kita sejalan. Iya [kami mendukung],” kata anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP, Effendi Simbolon, 26 Januari lalu.
Sedangkan sisanya, empat partai lainnya—PKB, PAN, Partai Golkar, dan Partai Gerindra—belum memiliki sikap apa pun terkait rencana ratifikasi itu. Tiga orang anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra tak banyak merespons saat dihubungi. Dua di antaranya ada Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman.
Sedangkan Desmond Junaidi Mahesa, mantan aktivis yang pernah diculik pada 1998, meminta untuk menghubungi pimpinan partai lainnya sembari berkata, “mohon maaf, tidak enak saya berkomentar.”
Editor: Adi Renaldi