Menuju konten utama

"Ada Banyak Politikus Takut Ratifikasi Anti Penghilangan Paksa"

Pemerintah masih enggan meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa, sebabnya ada ketakutan dari parpol soal pelanggaran HAM di masa lalu.

ILUSTRASI INDEPTH WAWANCARA Timbul Sinaga. (tirto.id/Lugas)

tirto.id - Rencana Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa—atau yang mudah disebut Konvensi Anti Penghilangan Paksa (ICPAPED)—memasuki babak baru. Setelah lebih dari satu dekade hanya ikut menandatangani konvensi dan gagal meratifikasinya pada 2013 lalu, tahun ini niat Pemerintah diharapkan oleh banyak keluarga korban.

Sejak 1965, Indonesia menjadi ladang subur praktik pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya penghilangan paksa—yang justru di banyak kasus orang-orang yang tak bersalah menjadi korban. Para keluarga yang ditinggalkan tak sedikit mendapat stigma dan diskriminasi, tanpa kepedulian dari negara.

Pada Juli lalu, Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Timbul Sinaga, optimis jika ratifikasi ini akan rampung jelang 10 Desember 2021—bertepatan dengan Hari HAM Internasional. Namun, ia sendiri mengaku ada banyak faktor yang bikin target itu molor. Salah satunya prinsip kehati-hatian Pemerintah dalam membentuk regulasi setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia juga sedikit banyak membeberkan alasan mengapa rencana ratifikasi pada 2013 ditunda oleh DPR RI, yang akhirnya mangkrak hingga hari ini. Salah satunya soal adanya dugaan ketakutan dari partai politik jika ratifikasi ini memungkinkan mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Kita yakinkan bahwa ratifikasi ini tidak berlaku surut. Karena kita duga, ketakutan sebagian anggota DPR itu, ini berlaku surut. Kita yakinkan bahwa ratifikasi tidak berlaku surut, artinya, tidak menyangkut dengan pelanggaran masa lalu,” kata Timbul. “Setelah mengetahui itu, ada lampu hijau [dari DPR RI].”

Kurang-lebih selama satu jam, Timbul bicara banyak soal rencana ratifikasi itu saat audiensi bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), beberapa perwakilan keluarga korban penghilangan paksa, dan sejumlah wartawan, pada Senin, 6 Desember 2021 lalu, di kompleks Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana perkembangan rencana Pemerintah untuk ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sejauh ini? Katanya ingin target selesai sebelum 10 Desember?

Waktu itu memang saya mengatakan 10 Desember, dan memang target kami seperti itu. Perkembangannya sangat luar biasa. Memang ada perubahan-perubahan sehingga agak telat sedikit. Keluar izin prakarsa di bulan Oktober dari Pak Presiden. Kan [awalnya] bulan Juli dari Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri, bulan Agustus dari Kementerian Luar Negeri ke Sekretariat Negara, setelah itu keluar izin prakarsa. Termasuk cepatlah. Kemudian setelah keluar prakarsa, yang bisa dilakukan harmonisasi, penyelarasan.

Ada perkembangan baru, yaitu dasar pembentukan peraturan perundang-undangan [dalam] UU No. 15 tahun 2019. Pemerintah, setelah kami diskusi, kami harus hati-hati. Karena terbukti uji materi UU Cipta Kerja kan bermasalah di Mahkamah Konstitusi, dalam hal pembentukan. Kami diskusi, Dirjen HAM Kemenkumham, Kemenkopolhukam, Kemenlu, KSP.

Karena awal 2013 yang mengajukan [ratifikasi konvensi] Kemenlu, bukan Kemenkumham. Ketika itu naskah akademiknya dibuat oleh Kemenlu. Sekarang sudah ganti, yang membuat izin prakarsa adalah Kemenkumham. Naskah akademik harus dari Kemenkumham, bukan lagi dari Kemenlu. Sehingga yang harus dilakukan adalah harmonisasi.

Makanya kemarin [pekan lalu] kami kebut. Senin [29 November] kita lakukan PAK [pertemuan Panitia Antar Kementerian]. Selasa dan Rabu [30 November dan 1 Desember] kita lakukan pembahasan naskah akademik di Bogor, sampai hari Kamis [2 Desember]. Itu tuntas. Hari ini keluar surat dari BPHN [Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkumham] yang menyatakan bahwa naskah akademik sudah selesai. Dan besok [7 Desember], akan dilakukan harmonisasi.

Minimal tanggal 9 Desember sudah keluar Surat Presiden ke DPR. Semoga pidato presiden tanggal 10 Desember, menyatakan dari sisi Pemerintah sudah selesai. Nanti pembahasan paling cuma dua hari di DPR, kan, cuma dua pasal itu. Ratifikasi cuma dua pasal. Dan seharusnya di DPR sudah tidak susah. Mudah-mudahan setelah besok, masuk ke Setneg, Surpres keluar, di pidato beliau [Presiden Joko Widodo] bisa disampaikan.

Saya enggak tahu di DPR itu sampai tanggal berapa mereka masa reses akhir tahun. Harapannya setelah ada Surpres dari Presiden ke DPR, kami melakukan pendekatan dengan DPR RI. Kalau tidak bisa tahun ini, setidaknya Januari atau Februari. Kenapa tidak bisa tanggal 10 Desember? Karena harus disesuaikan dan diharmonisasikan berdasarkan UU No. 15 tahun 2019. Karena pengalaman kita, itu UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional [oleh MK], itu yang kita takutkan. Sehingga harus kita lalui harmonisasi ini.

Setidaknya dari kami sudah selesai. Sekali lagi, Pemerintah sungguh-sungguh. Saya kira dari sisi yang lain tidak masalah, dari TNI tidak ada masalah, dari polisi tidak ada masalah. Yang harus kita pikirlah adalah, setelah ini diundang-undangkan, apa yang akan kita lakukan? Untuk pencarian korban. Modelnya mari kita diskusikan. Jangan sampai nanti setelah diratifikasi, kelanjutannya enggak ada.

Naskah akademik kapan bisa diakses?

Dijawab oleh staf-nya Timbul: Naskah akademik setelah selesai harmonisasi, nanti bisa diakses di website resminya Kemenkumham dan BPHN.

Ratifikasi ini akan dibahas dengan Komisi I atau Badan Legislasi DPR RI?

Kemarin juga kami diskusikan. Apakah Badan Legislasi DPR RI atau Komisi I. Nanti coba dikomunikasikan lebih mulus yang mana. Ini kan kumulatif terbuka, enggak harus di dalam prolegnas. Enggak ada masalah. Apakah lebih mulus Baleg atau Komisi I? Ini sudah kita kawal.

Surpres dari Presiden ke DPR itu bisa cepat butuh dukungan partai politik di DPR. Kalkulasi politiknya seperti apa? Ketika Supres sudah keluar, jangan sampai nanti di DPR mangkrak. Bicara UU yang sah, trennya UU yang enggak ada benefit untuk partai politik, susah suksesnya. UU untuk kepentingan masyarakat luas malah lama.

Terus terang, ketika pembahasan ini, itu kita singgung. Artinya, jangan Pemerintah capek-capek, di sana ada penolakan. Dulu ada satu diskusi antara Pemerintah dengan dewan. Waktu itu juga kita dorong KontraS untuk melakukan pendekatan kepada dewan. Semua sangat setuju, tidak ada masalah.

Kedua, kita yakinkan bahwa ratifikasi ini tidak berlaku surut. Karena kita duga, ketakutan sebagian anggota DPR itu, ini berlaku surut. Kita yakinkan bahwa ratifikasi tidak berlaku surut, artinya, tidak menyangkut dengan pelanggaran masa lalu. Setelah mengetahui itu, ada lampu hijau. Ketika nanti di DPR, mudah-mudahan tidak ada perubahan. Paling tidak dua hari itu selesai.

Saya katakan, okelah ini kita dorong supaya segera, tapi kita harus siap-siap pasca ini bagaimana? Jangan sudah diratifikasi, tapi tidak ada kelanjutannya. Percuma dong. Dari sisi hukum oke positif, tapi kan kedepannya seperti apa?

Saya pribadi, sampaikan ke teman-teman di Kemenkopolhukam dan lain-lain, bahkan saya bilang sebelum ini, membentuk tim pencarian orang. Artinya, kalau setelah ini kami buat tim, saya bilang, cukup pakai Serat Keputusan (SK) Menkopolhukam saja, enggak sudah Presiden. Kalau dari Kemenkopolhukam besok bisa dibuat.

Setelah itu, tim itu melakukan tugasnya, untuk memastikan untuk korban dipulihkan. Setelah itu, pulihkan. Dipulihkan. Pemulihan yang dilakukan adalah hak-hak dasar yang Pemerintah siap untuk memberi. Pemerintah siap untuk itu. Tapi itu setelah ada keputusannya.

Katakanlah Januari sudah diratifikasi, setelah itu membuat tim. Pastikan SK-nya dari Memenkopolhukam, kalau Presiden kan lama, kalau Menkopolhukam kan cepat. Jangan sampai setelah ratifikasi enggak ada apa-apa. Saya ini pada 1 Maret 2022 akan pensiun, kalau pengganti saya bisa melanjutkan sih oke-oke aja. Maksud saya, sebelum saya pensiun, sudah ada gambarannya.

Konvensi ini sudah ditandatangi Indonesia sejak 2010, dan baru dibahas lagi 2021. Ada jeda yang lama. Selama 11 tahun. Kendalanya apa? Pada 2013, rencana ratifikasi ditolak alasannya dianggap berlaku surut, itu aja alasannya? Dan isi konvensi yang akan diratifikasi apa saja?

2013 kan sudah dibahas, kemudian ditunda, tanpa ada alasan kenapa ditunda. Kemudian kenapa baru sekarang? Jadi ketika itu, pejabatnya berganti-ganti. Biasa itu di mana-mana begitu. Mungkin berganti dan tidak begitu aware.

Ketika 2019, ketika Pak Hadi menjadi Direktur HAM dan Kemanusiaan. Coba lagi dihidupkan pembahasan. Kita ketemu, sepakatlah. Tahun 2019, Kemenlu sudah melakukan diskusi-diskusi publik, baik akademisi, TNI, kepolisian terkait dengan naskah akademik ini. Walaupun sebenarnya naskah akademik yang tahun 2013 itu juga akan diganti. Ketika 2019 akhir, kami ketemu, Kemenlu minta, "bagaimana kalau Kemenkumham jadi kementerian pemrakarsa? Karena ini kan masalah HAM. Jadi Kemenkumham.” Saya bilang, ”Jadi silahkan aja.”

Terus Menkopolhukam membuat surat bahwa Kemenkumham menjadi kementerian pemrakarsa. Jadi kenapa sampai lama, ya gitu, pejabatnya berganti-ganti. Kemudian yang diratifikasi kalau tidak salah cuma di tahun itu. Sudah lama.

Apa yang akan dimasukkan atau dikurangkan dari konvensi itu saat ratifikasi nanti?

Oh enggak, enggak bisa, harus sama dengan semua dari aslinya gitu. Makanya diterjemahkan hukum itu harus penerjemah yang disumpah. Supaya jangan sampai ada kalimat-kalimat yang anu gitu, lho. Makanya ada dua pasal, jadi istilahnya sesuai dengan pasal sekian, konvensi bla bla bla. Itu aja. Jadi enggak ada pembahasan. Yang tadi kita katakan itu kenapa jadi seolah-olah jadi apa [agak lama dan rumit]? Karena kan ada UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, itu harus kita renungi. Dulu kita anggap bisa saja naskah akademik dari Kemenlu sampai ke DPR. Tapi di UU ini tidak bisa begitu, harus dilakukan pembahasan, kemudian harmonisasi. Kita takut seperti UU Cipta Kerja. Ini kan jadi inkonstitusional, dikasih waktu 2 tahun. Jadi kita lakukan hal itu.

Naskah akademik tahun 2013 apakah sama seperti yang sekarang?

Dijawab oleh staf-nya Timbul: Jadi tidak ada penyelarasan. Makanya 2013 pun itu juga ada perkembangan-perkembangan update di tahun 2019. Pada saat itu masih Kemenlu sebagai pemrakarsa. Karena awalnya kan Kemenlu. Per 2020, lanjut, intinya ada proses Kementerian Hukum & HAM menjadi kementerian pemrakarsa. Yang mana pada tahun ini kemudian diproses dan hasilnya ada penyelerasan kembali, pada minggu lalu kami melakukan ini. Jadi memang ada penyesuaian-penyesuaian. Karena sesuai dengan arah kebijakan Pemerintah saat ini dan juga penyesuaian kemarin pada saat kenapa DPR masih menunda pada 2013 kemarin. Memang ada perkembangan pada naskah akademiknya.

Jadi perkembangannya ada penambahan, apa saja yang ditambahkan?

Dijawab oleh staf-nya Timbul: Mungkin kita enggak bisa bicara detail, terakhirnya saja seperti apa. Yang pasti, dari setiap bab itu ada penyesuaian, bab satu sampai bab terakhirnya, seperti itu. Ada penambahan konsep teorinya, seperti itu. Dan juga upaya pemerintah dari 2013 sampai 2021 pasti ada upaya Pemerintah, walaupun kita belum meratifikasi konvensi itu sendiri, tapi ada upaya melalui tim terpadu. Upaya pemerintah kemarin sempat mungkin melakukan, membentuk rancangan Perpres tentang UKP-PKP [Unit Kerja Presiden Pemulihan Korban Pelanggaran]. Upaya Pemerintah melakukan penyusunan kembali terkait RUU KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi], seperti itu. Itu kan konsepnya ke arah pelanggaran HAM berat. Salah satunya kasus penghilangan paksa. Di situ kita tuangkan naskah akademik.

Tanggal 10 Desember, di hari HAM Internasional, ada pidato Presiden soal ratifikasi ini?

Itu harapan kita. Sudah kita bicarakan dengan KSP. Dari awal kami, Kemenlu, Kemenkopolhukam, dan KSP.

Pemerintah mengejar satu dari empat rekomendasi DPR RI tahun 2009 lalu soal penyelesaian kasus penghilangan paksa?

Iya jadi tahun 2013 lalu, ketika ini dibahas kemudian ditunda. Maka ada empat rekomendasinya, salah satu ratifikasi, yang kedua untuk pencarian orang hilang. Ketiga dan keempat saya lupa.

Catatan: empat rekomendasi itu berupa: Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Status orang hilang di administrasi negara seperti apa? Banyak keluarga korban yang dirugikan.

Itu salah satu rekomendasi dari DPR, supaya dibentuk tim pencarian orang hilang. Itu yang kita harapkan setelah ini, next-nya ini apa? Setekah ini tim itu dibentuk. Tim itu juga salah satu rekomendasi.

Seri laporan ini terbit berkat kolaborasi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) jelang peringatan Hari HAM Internasional tiap 10 Desember.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Indepth
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi