tirto.id - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto baru saja merampungkan susunan pengurus DPP periode 2019-2024. Dalam struktur ini, Airlangga memiliki 11 orang wakil ketua umum, salah satunya Bambang Soesatyo (Bamsoet), rival dia saat Musyawarah Nasional Golkar awal Desember 2019.
Selain Bamsoet, Airlangga juga memasukkan 10 nama lain, antara lain: Kahar Muzakkir, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Azis Syamsuddin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Hetifah Sjaifudian, Rizal Mallarangeng, Melchias Markus Mekeng, Roem Kono, Nurul Arifin, dan Nurdin Halid.
Airlangga juga memilih kembali Lodewijk F. Paulus sebagai sekretaris jenderal. Sementara posisi bendahara umum yang tadinya ditempati Robert J. Kardinal saat ini diisi Dito Ganinduto.
Sementara Robert yang merupakan salah satu loyalis Bamsoet ditunjuk sebagai ketua DPP.
Dalam keterangan pers yang diterima reporter Tirto, Rabu (15/1/2020), Airlangga mengklaim telah memperhitungkan berbagai macam aspek, mulai dari aspek fungsional, profesionalisme, dan asas meritrokrasi saat menyusun kepengurusan Golkar saat ini.
Menurut Airlangga, kepengurusan ini sudah memperhatikan Undang-Undang Partai Politik dengan ketentuan pengurus perempuan sebesar minimal 30 persen.
“Kepengurusan ini juga inklusif, sudah mengakomodir semua elemen baik perempuan, milenial dan dari unsur-unsur yang lain,” kata Airlangga.
Dari Luhut hingga Loyalis Bamsoet
Tak hanya loyalis rival politiknya, Airlangga juga menggandeng sejumlah politikus senior untuk masuk dalam kepengurusan. Ia menempatkan Aburizal Bakrie sebagai ketua Dewan Pembina. Dia akan dibantu Zainudin Amali sebagai wakil ketua Dewan Pembina.
Sementara politikus senior Golkar, Akbar Tandjung ditempatkan di posisi ketua Dewan Kehormatan. Begitu pula dengan Agung Laksono yang dipercaya kembali menjadi ketua Dewan Pakar dan Muhammad Hatta sebagai ketua Dewan Etik.
Senior Golkar yang kini menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan juga menerima jabatan ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Padahal, pada kepengurusan sebelumnya, Luhut menolak jabatan wakil ketua Dewan Kehormatan.
Saat itu, tepatnya pada Mei 2016, Luhut lebih memilih fokus menjalankan pekerjaannya sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) kabinet kerja Jokowi-JK.
Sikap Luhut ini juga bisa dipahami mengingat ia punya peran besar dalam "mendamaikan" Bamsoet dan Airlangga saat kompetisi memanas tahun lalu. Bamsoet "takluk" dan mundur dari pencalonan ketua umum.
Akan tetapi, nama Jusuf Kalla tak tercantum dalam susunan dewan Golkar. Padahal, Airlangga berjanji menawarkan posisi Dewan Kehormatan kepada senior Golkar itu yang pernah menjabat dua kali sebagai wakil presiden.
Airlangga pun lebih memilih Luhut daripada Jusuf Kalla.
Hal menarik lainnya adalah tak semua loyalis Bamsoet diakomodir oleh Airlangga dalam struktur kepengurusan.
Hanya ada beberapa nama dari kubu Bamsoet yang masuk ke dalam struktur kepengurusan baru, seperti Mukhamad Misbakhun sebagai Ketua DPP, Robert J. Kardinal sebagai Ketua DPP, Nusron Wahid sebagai Ketua DPP, dan Elvis Junaidi sebagai Wakil Bendahara Umum.
Sementara beberapa nama loyalis Bamsoet lainnya, seperti Viktus Murin dan Andi Sinulingga tak masuk dalam struktur kepengurusan.
Respons Bamsoet soal Susunan Pengurus Golkar
Bamsoet mengaku belum melihat jelas nama-nama detailnya, namun menurut dia, semua pihak harus menjaga kondusivitas partai sehingga tak ada lagi kubu-kubuan.
"Dan semua harus dirangkul sehingga kekuatan yang ada di Partai Golkar tetap tumbuh dan menjaga sampai 2024. Kita saling bergandengan tangan bekerja sama membesarkan Partai Golkar," kata Bamsoet saat ditemui di kompleks DPR-MPR RI, Kamis (16/1/2020).
Kendati baru nama-nama seperti Nusron, Elvis, dan Robert yang masuk dalam struktur, Bamsoet menilai itu hal yang "lumayan."
"Lumayan ada, tapi saya belum pastikan, saya kira semangat kita bukan lagi kubu-kubuan. Yang penting semua kekuatan yang ada dirangkul. Kalau saya jadi ketua umum pasti akan saya rangkul, enggak ada satu pun yang saya tinggalkan. Tinggal nanti dalam perjalanannya seleksi alam yang berlaku dan yang tidak aktif mengundurkan diri," kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, “Saya sendiri belum bertemu dengan Pak Airlangga untuk membahas personil detail daripada itu. Terkait kepengurusan ini saya harap kepengurusan ini kepengurusan akomodatif dan rekonsiliatif.”
Terapkan Politik Akomodatif ala Jokowi
Direktur Puskapol Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menilai wajar jika Airlangg menerapkan politik akomodatif yang merangkul semua kubu dalam struktur kepengurusan partai yang baru.
Apalagi, kata Aditya, Partai Golkar memiliki sejarah yang panjang ketika siapa pun pemimpinnya mengakomodir semua pihak dan memastikan saling berkontribusi membangun partai.
"Ketika ada satu kelompok yang menang, negosiasi politiknya adalah saling mengakomodir satu sama lain. Hal itu tradisi yang diterapkan oleh Golkar dan salah satu cara untuk bisa bertahan dalam kondisi politik seperti itu. Mengakomodir yang berkonflik dan kemudian lanjut 5 tahun yang akan datang,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (16/1/2020).
Menurut dia, posisi Luhut juga yang bisa menjadi representasi pemerintah masuk ke dalam struktur partai.
"Luhut dimasukkan Golkar karena orientasi Golkar selalu dekat dengan pemerintah. Luhut adalah representasi pemerintah. Dan Golkar tidak pernah bersikap oposisi terhadap pemerintah," kata dia.
Pengajar ilmu politik di Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, membaca langkah akomodatif Airlangga merangkul semua pihak adalah meniru Presiden Joko Widodo dalam merangkul semua pihak, termasuk lawan politiknya di Pilpres 2019 saat membentuk kabinet.
"Airlangga memang sudah mengakomodir Bamsoet dan pendukungnya. Cara seperti itu [politik akomodatif ala Jokowi] adalah agar Partai Golkar terlihat adem dan antar-kubu tak cakar-cakaran," kata Ujang, Kamis sore.
Namun, Ujang menilai Airlangga perlu hati-hati dengan tidak memasukkan Jusuf Kalla ke dalam struktur. Sebab, kata dia, langkah ini bisa memunculkan kekecewaan para pendukung JK dan berpotensi menjadi pemantik kubu baru di internal Golkar.
“Jika Airlangga tak bisa mengatur dengan baik, maka bisa saja konflik di kemudian hari akan muncul," kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz