tirto.id - "Saya itu sebenarnya enggak suka disamakan dengan bapak karena saya memang enggak kenal bapak.”
Sepotong kalimat itu meluncur dari mulut Fajar Merah saat konferensi pers film dokumenter Nyanyian Akar Rumput pada9 Januari 2020 di kantor Amnesty International Indonesia. Fajar adalah putra bungsu Wiji Thukul, aktivis-cum-seniman yang diyakini dihilangkan oleh negara, kemungkinan pada akhir Mei 1998 setelah Presiden Soeharto lengser.
Orang-orang sering berkata perawakan Fajar mirip ayahnya. Badan ceking. Rambut ikal. Gigi sedikit tonggos. Ditambah lagi Fajar seniman, sama seperti sang ayah. Bedanya, Fajar seorang musisi, Thukul seorang penyair.
Namun, cara orang melihat persamaan itu yang membuatnya jengah. Bukan karena Fajar membenci sang ayah, tapi ia memang tak punya memori apa pun tentang Thukul yang bisa membuatnya berkata “aku mirip bapak” atau kalimat serupa.
Saat ayahnya hilang, Fajar masih balita; sehingga, ketika tumbuh dewasa, nyaris kosong ingatan tentang sang bapak di kepalanya.
Raharja Waluyo Jati, yang duduk di sebelah Fajar, manggut-manggut ketika Fajar bicara. Jati adalah satu dari sembilan aktivis yang diculik menjelang kejatuhan Soeharto. Ia diculik pada 12 Maret 1998 oleh satuan tugas Komando Pasukan Khusus (Kopassus), unit elite khusus Angkatan Darat, bernama Tim Mawar. Sementara beberapa rekannya, termasuk Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, hilang atau dihilangkan.
Usai konferensi pers, Jati mengajak kami makan di warung Aceh di dekat Stasiun Cikini. Ada beberapa orang yang ikut nongkrong sore itu.
Beberapa yang saya kenali, di sebelah kiri saya, ada Nezar Patria, aktivis Partai Rakyat Demokratik yang diculik Tim Mawar pada 13 Maret 1998, kini pemimpin redaksi media berbahasa Inggris The Jakarta Post. Di sebelah Nezar ada Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia; Amirrudin, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan Mugiyanto, yang diculik pada tanggal sama dengan Nezar.
Saya bertanya kepada Jati tentang Petrus Bima Anugerah alias Bimpet. Seberapa penting Bimpet sehingga, mohon maaf, harus dihilangkan?
"Bimpet ini penting banget. Dia itu kurir nasional. Penghubung komunikasi kami," kata Jati, lalu mencolek Nezar memberi kode agar ikut dalam perbincangan. Nezar membenarkan omongan Jati. [Catatan redaksi: peran Petrus Bima Anugerah dan Herman Hendrawan dibahas dalam artikel terpisah.]
Bimpet diketahui terakhir kali terlihat pada 1 April 1998. Anehnya, ia hilang ketika teman-temannya yang diculik dilepas dari markas Kopassus dan diserahkan ke Polda Metro Jaya. Bimpet sempat tinggal bersama Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria di sebuah unit Rusun Klender, Jakarta Timur. Namun, pada malam teman-temannya diculik, Bimpet tidak di rumah.
“Bimpet ini yang masih kami belum tahu juga, sama kayak Wiji Thukul,” ujar Jati.
Operasi Tim Mawar
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menggelar operasi Mantap Brata jelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Operasi ini “langkah preventif” ABRI untuk menjaga “stabilitas nasional.”
Sejak peristiwa 27 Juli 1996, ketika para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, ABRI memburu kelompok yang mereka sebut “radikal”, yakni “PRD Bawah Tanah”—istilah terbatas pemerintah saat itu untuk jaringan kolektif Komite Pimpinan Pusat-PRD. Informasi intelijen di kalangan ABRI: kelompok itu berencana menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR. [Catatan redaksi: Persaingan para jenderal di masa terakhir kekuasaan Soeharto dibahas dalam artikel terpisah.]
Hal itulah yang membuat Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto menugaskan secara khusus melalui perintah lisan kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42 di bawah Grup 4/Sandi Yudha Kopassus, untuk menjabat Komandan Satgas Merpati. Tugas tim adalah mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan kelompok radikal. Atasan Mayor Bambang adalah Komandan Grup 4 Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan. (Bambang Kristiono kini anggota DPR dari Fraksi Gerindra. Chairawan diangkat asisten khusus Menhan Prabowo pada Desember 2019.)
Mayor Bambang memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha untuk menganalisis informasi dan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1997, menurut putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999.
Ada tiga tim yang dibentuk oleh Mayor Bambang: Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung. Tim Mawar bertugas mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan dan teror; Tim Garda Muda bertugas menggalang organisasi kelompok muda di daerah tertentu; tim pendukung membantu satuan bawah kendali operasi (BKO) dalam tiap-tiap komando daerah militer.
Bambang memerintahkan Kapten Fauzani memilih para komandan detasemen dan beberapa nama dan bintara anggota Yon-42 untuk terlibat dalam Tim Mawar. Mereka adalah Kapten Untung Budi Harto, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi.
Total, Tim Mawar terdiri atas Komandan Mayor Bambang Kristiono, Wakil Komandan Kapten Fauzani, dan Pa Intel Tim Kapten Nugroho. Tim dibagi ke dalam dua unit: Unit I dikomandani Kapten Dadang dengan wakilnya Kapten Untung Budi Harto dan anggota Serka Sunaryo dan Sertu Sukadi; Unit II dikomandani Kapten Yulius Selvanus dengan wakilnya Kapten Djaka Budi Utama dan anggota Kapten Fauka dan Serka Sigit.
Dana operasional Tim Mawar, menurut Mayor Bambang dalam persidangan Mahkamah Militer II Jakarta pada 23 Februari 1999, bersumber dari antara lain dana operasional dan bunga tabungan abadi Batalyon 42. [Catatan redaksi: kiprah orang-orang di Tim Mawar dan Kopassus di bawah Danjen Prabowo akan diulas dalam artikel terpisah.]
Rencana dan Operasi Penculikan
Peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998, membuat Tim Mawar mengintensifkan kerjanya. Mereka menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat bom yang tak sengaja meledak tersebut.
Mayor Bambang mendapatkan data intelijen yang berisi sembilan nama diprioritaskan untuk ditangkap oleh Tim Mawar. Mereka adalah Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Riza, Raharja Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Andi Arief. (Dalam wawancara dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999, Prabowo berkata penculikan terhadap Pius, Desmond, dan Taslam adalah "kecelakaan" dan "kesalahan." "Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka,” katanya.)
Ia sudah menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas Tim Mawar di Pos Komando Taktis (Poskotis) di Markas Kopassus, Cijatung. Markas itu terdiri dari ruang briefing, ruang interogasi, dan enam sel.
Target pertama mereka adalah Desmond, aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).
Pada 3 Februari 1998, sekitar pukul 9.30, Kapten Fauzani menginstruksikan Kapten Dadang, Kapten Nugroho, dan Kapten Djaka untuk menculik Desmond.
Ketiga kapten itu meluncur dengan Jeep Vitara warna abu-abu ke kantor LBHN di Jalan Cililitan Kecil, Jakarta Timur, kantor sekaligus tempat tinggal Desmond. Setiba di sana, mereka menunggu Desmond keluar.
Menjelang siang, Desmond ke luar kantor. Sekitar pukul 12.00, ia naik mikrolet jurusan Kampung Melayu. Di tengah jalan, Desmond turun, lalu berganti mikrolet jurusan Senen.
Melihat itu, Kapten Dadang turun dari mobil, menyusul Desmond naik mikrolet, duduk di sebelahnya.
Desmond turun saat mikrolet tiba di depan kantor Departemen Pertanian. Dadang ikut turun. Begitu sampai di dekat sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Desmond ditodong senjata.
“Jangan bergerak!”
Dadang memiting kepala Desmond, lalu mendorongnya ke mobil jip sampai-sampai kacamata Desmond jatuh.
Di dalam mobil, mata Desmond dibebat kain hitam, kedua tangannya diikat ke belakang. Musik mobil disetel dengan suara keras. Kapten Djaka memacu jip ke Poskotis Cijantung.
Sesampainya di Poskotis, Desmond diinterogasi sambil dipukul, ditendang, disetrum, ditelanjangi dan ditenggelamkan ke dalam bak mandi, dibawa ke sel bawah tanah.
Sebelum Tim Mawar Dibentuk
Pada 26 April 1997 sekitar pukul 20.00, Dedi, Sonny, Surya, dan Yanni Afri—keempatnya simpatisaan PDI pro-Megawati—berada di mal Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka menunggu seorang kawan untuk bersama-sama ke rumah Naryo, pengurus PDI pro-Mega.
Tiba-tiba sebuah truk mendatangi mereka dan sekitar sepuluh aparat bersenjata laras panjang menangkap mereka.
"Awas kalau kalian lari!" teriak seorang tentara.
Seorang lain memuntahkan tiga tembakan ke badan aspal. Tanpa perlawanan, mereka digelandang ke dalam truk lalu dibawa ke Kodim Jakarta Utara.
Lalu mereka dibawa ke ruang gelap dan dipukuli, kemudian diinterogasi di ruangan berbeda.
Surya saat itu mendengar teriakan Yani, "Tolong, saya tidak niat ngebom."
Usai diinterogasi, mereka kembali dikumpulkan dalam satu ruangan. Surya melihat tubuh teman-temannya babak belur.
“Jika kita disiksa terus begini,” kata Yani Afri, "kita semua bisa mati."
Penyiksaan itu berakhir. Setelah menginap semalam di Kodim, sekitar pukul 20:30, mereka dibebaskan. Namun, begitu sampai di depan pintu, seorang anggota Kodim meneriaki Sonny dan Yani.
"Hei, dua orang itu jangan pergi!"
Sementara Dedi dan Surya dibiarkan keluar, Sonny dan Yani ditangkap lagi.
Penyergapan di Rusun Klender
Sehari setelah penangkapan Raharja Waluyo Jati dan Faisol Riza pada 12 Maret 1998, Kapten Fauzani Syahril Multhazar memerintahkan Kapten Yulius Selvanus, Kapten Djaka Budi Utama, Serka Sunaryo, dan Serka Sigit Sugianto untuk menangkap aktivis Partai Rakyat Demokratik di Rusun Klender unit 7 blok 39 lantai 2, Jakarta Timur. Para penculik bergegas setelah magrib.
Kapten Yulius dan Serka Sunaryo menemui Sutjipto Hadinoto, ketua RT Rusun Klender Blok 39, sementara Kapten Djaka memantau rusun. Begitu melihat lampu di kamar itu menyala, Kapten Djaka memberitahu Kapten Yulius agar segera menyergap.
"Selamat malam, saya Pak RT," kata Kapten Yulius usai mengetuk pintu.
Aan Rusdianto membuka pintu, Kapten Yulius menyalaminya, lalu menarik Aan dan membekuknya, menyerahkan kepada Kapten Djaka. Yulius memasuki kamar, menciduk Nezar Patria yang mengupas jeruk. Keduanya dibawa ke mobil Kijang ke bawah rusun.
Kapten Yulius memerintahkan Kapten Djaka untuk tetap di Rusun Klender, barangkali masih ada orang yang akan datang.
Kapten Yulius dan Serka Sunaryo membawa Aan dan Nezar ke Markas Kopassus, Cijantung, tiba sekitar pukul 20.30. Keduanya diinterogasi oleh Kapten Nugroho Sulistyo Budi dan Kapten Dadang Hendra Yudha.
Sementara rekan-rekannya menuju Cijantung, Kapten Djaka ketiban sial di Rusun Klender. Sekitar pukul 20.00, ia berinisiatif memasuki unit yang disewa aktivis PRD itu.
Saat itu, rombongan petugas Koramil Duren Sawit sudah datang lebih dulu. Mugiyanto, berada dalam kamar, ditangkap oleh aparat keamanan bernama Serka Sutamo dan petugas Koramil Duren Sawit. Kapten Djaka, yang salah langkah, ikut ditangkap dan dikira bagian dari penghuni rusun.
Kapten Djaka dan Mugiyanto dibawa ke Koramil Duren Sawit. Kepada petugas Koramil, Kapten Djaka mengaku sebagai warga yang tinggal di dekat LP Cipinang dan tengah main ke rumah teman, yang kebetulan dekat dengan unit kontrakan aktivis PRD.
Namun, petugas Koramil ragu, sehingga membawa Kapten Djaka dan Mugiyanto ke Kodim 0505 Jakarta Timur.
Kabar penangkapan Kapten Djaka didengar oleh Kapten Yulius Selvanus. Ia dan Kapten Fauzani menjemputnya. Mereka juga mengambil Mugiyanto lantas membawanya ke Poskotis Cijantung.
Hampir semua orang yang diculik Tim Mawar mengalami penyiksaan. Diinterogasi dengan dipukul, ditendang, ditelanjangi, disuruh tidur telentang di atas velbed, tangan diborgol, kaki diikat dengan kabel listrik.
Nezar Patria dalam kesaksian kepada tim penyelidik Komnas HAM menggambarkan dia disetrum selama 3-4 jam dengan tongkat listrik ditempel ke kaki, jempol kaki, paha belakang, lama-kelamaan voltasenya semakin tinggi yang ditempel ke betis dan paha sampai-sampai alas velbed bergetar akibat arus listrik itu.
Seseorang yang berkesan menyandang pangkat lebih tinggi menyuruh menghentikan dan meminta interogator tidak menyetrum di bagian dada, demikian pengakuan Nezar. Setelahnya, Nezar dibiarkan selama 3 jam.
"Saya hampir lewat," kata Nezar kepada kami.
Mereka yang Disekap
Di hari pertama disekap di Cijantung pada 3 Februari 1998, Desmond J. Mahesa bertemu dua orang yang sudah menghilang nyaris setahun. Mereka adalah Yani Afri dan Sonny. Saat itu Yani menempati sel 1 dan Sonny di sel 6, sementara Desmond di sel 4.
Kamar sel itu berukuran 2x3 meter persegi. Dindingnya dari jaring besi beton, pintu dari jeruji besi. Di dalam sel ada bak mandi, kakus, dan dipan kayu. Total ada 6 sel yang dibagi dua blok.
Pius Lustrilanang menyusul sehari berikutnya, 4 Februari. Pius, aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), diciduk oleh Tim Mawar di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Operasi penculikannya dipimpin oleh Kapten Dadang Hendra Yudha, Kapten Fauka Noor Farid, dan Serka Sigit Sugianto. Pius dibawa ke Poskotis dan disekap di sel 6, yang sebelumnya ditempati Sonny.
Setelah Pius, menyusul Haryanto Taslam yang diculik pada 8 Maret 1998. Taslam adalah salah satu aktivis PDI pro-Megawati yang menonjol dan dekat dengan aktivis-aktivis mahasiswa dan pemimpin gerakan massa.
Taslam diculik oleh Kapten Fauzani, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius, Kapten Dadang Hendra Yudha, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, dan Sertu Sukadi. Saat mengendarai Mitsubishi Lancer biru, Taslam dikuntit oleh Kijang biru dan Kijang cokelat yang dikendarai Tim mawar, lalu mobilnya disenggol di Pintu Utama TMII Jakarta Timur. Taslam disekap di sel 4 setelah Desmond dipindahkan.
Penculikan selanjutnya terhadap Faisol Riza dan Raharja Waluyo Jati di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 12 Maret 1998. Mereka diinterogasi secara terpisah dan disiksa. Setelah itu, mereka disekap di sel bawah tanah. Jati di sel 5. Faisal di sel 3.
Setelah gelombang penculikan dan penyekapan dari Februari hingga Maret 1998, Tim Mawar bergerak menangkap Andi Arief, ketua umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.
Pada 27 Maret, atas perintah Mayor Bambang Kristiono kepada Kapten Fauzani Syahril Multhazar, mobil Kijang biru dan Kijang cokelat yang dikendarai lima anggota Tim Mawar bergerak dari Jakarta menuju Bandar Lampung ke rumah orangtua Andi Arief. Esoknya, Andi Arief diculik di rumah kakaknya, lalu dibawa ke Jakarta dengan mobil Kijang melalui Pelabuhan Bakauheni. Di dalam mobil, kedua mata Andi Arief ditutup dengan sapu tangan warna gelap. Setiba di Poskotis Markas Kopassus Cijantung, ia disekap di sel bawah tanah.
Kehidupan di sel bawah tanah markas Cijantung nyaris tak pernah sunyi. Penjaga selalu memutar lagu dari tape dengan suara bising. Pada satu kesempatan, tape itu rusak dan penjaga menggantinya dengan siaran radio.
Desmond J. Mahesa menandai siaran radio yang biasa diputar dari stasiun Mustang, Pelita Kasih, Remaco, Radio Bisnis, dan Kiss FM. Saat tak ada siaran, pada tengah malam sampai subuh hari, orang-orang yang disekap dalam sel menjalin komunikasi satu sama lain.
Dari percakapan itu mereka mengetahui siapa-siapa saja yang disekap. Mereka juga tahu siapa saja yang menghilang atau sudah meninggalkan sel.
Mereka yang Hilang
Saat Mugiyanto disekap pada 13 Maret 1998, Yani Afri sudah tidak ada di sel. Sel nomor 2 yang sempat ditempati Yani digantikan oleh Faisol Riza.
Sebelum hilang tanpa jejak hingga sekarang, 22 tahun lalu, Yani Afri meninggalkan cerita tentang orang-orang yang pernah disekap di sel bawah tanah Cijantung. Yani berkata kepada Faisol dan Pius Lustrilanang bahwa ia pernah bertemu dengan Deddy Umar Hamdun dan Noval Alkatiri—keduanya simpatisan Partai Persatuan Pembangunan.
Kelahiran 1955, pengusaha Ambon-muslim, suami Eva Arnaz, Deddy pernah diperingatkan sebagai daftar yang akan diambil oleh “aparat baju hijau” karena aktivitas politiknya mendukung Mega-Bintang, menurut laporan penyelidikan Komnas HAM 2006. Keluarganya pernah bertemu dengan Soesilo Soedarman, saat itu Menkopolhukam (1993-1997), dan diberitahu bahwa “korban masih ada dan dalam pembinaan.” Seorang sumber TNI dari Kopassus berkata Deddy ditahan di Cijantung, lalu dipindah ke Rumah Tahanan Militer Ragunan. Informasi lain: ia sempat ditahan di Rindam Condet dan di belakang TMII.
Bersama Deddy dan Noval Alkatiri, ikut hilang juga Ismail, sopir mereka. Ketiganya menghilang pada hari Pemilu 29 Mei 1997.
Andi Arief, saat di sel penyekapan Cijantung, bersaksi pernah diancam akan “di-Deddy Hamdun-kan” jika tidak menjawab pertanyaan interogator dengan benar.
Keberadaan Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Sonny, dan Yani Afri setidak-tidaknya menunjukkan penculikan orang sudah dilakukan sebelum Tim Mawar dibentuk. Poskotis sudah digunakan untuk lokasi penyekapan sebelum Mayor Bambang menyiapkannya sebagai markas interogasi Tim Mawar.
Herman Hendrawan juga hilang. Aktvis PRD yang kuliah di FISIP Universitas Airlangga angkatan 1990 ini menjadi target penangkapan sejak 1996. Pada 29 Juli 1996, Herman pindah dari Surabaya ke Jakarta, berperan menjadi penghubung PRD dan PDI lewat Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD). Teman-temannya berkata Herman dekat dengan Soetjipto Soedjono, politikus gaek Jawa Timur yang kelak memotori PDI Perjuangan. (Soetjipto meninggal pada 24 November 2011.)
Herman dibawa ke Poskotis Markas Kopassus di Cijantung setelah ditangkap pada 12 Maret 1998. Waluyo Jati dan Faisol Riza di lokasi penyekapan bersaksi mengenali suaranya dari lagu “Widuri” dan “Camelia” yang biasa dinyanyikan Herman.
Keberadaan Herman di sel diamini oleh Pius, yang mengaku sempat mengobrol dengan Herman. Andi Arief pernah diberitahu oleh interogator bahwa ada orang bernama Herman.
Foto polaroid Herman diperlihatkan interogator ke teman-temannya yang disekap di lokasi yang sama. Korban-korban lain sebelum dilepas juga difoto.
Teman satu lokasi penyekapan pernah diberitahu Herman akan dibawa ke Polda Metro Jaya. Sampai sekarang, negara tak pernah menjelaskan ke mana Herman.
Mereka yang Kembali
Paling tidak ada 14 orang yang pernah disekap di Markas Kopassus Cijantung, tetapi hanya sembilan orang yang kembali dengan selamat.
Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Raharja Waluyo Jati, dan Faisol Riza—yang disekap antara 1,5 bulan sampai 2 bulan oleh Tim Mawar—langsung dipulangkan ke kampung halamannya.
Desmond diantar para penculiknya ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, dengan mata tertutup kain, diberi tas berisi tiket ke Banjarmasin dan uang Rp800 ribu (pengganti kacamata yang rusak), pada 3 April 1998. Proses sama dialami Pius Lustrilanang; ia diantar ke Bandara Soetta untuk pulang ke Palembang pada 2 April 1998.
Haryanto Taslam mendekam di sel penyekapan selama 40 hari dan dilepaskan pada 17 April 1998.
Penculiknya membawa Taslam ke Bandung dengan mobil; di mobil ada dua orang yang mengapitnya dan di depannya seorang duduk di jok sebelah sopir. Tiba terlalu pagi di Bandara Husein Sastranegara, penculik mengajaknya berputar-putar lebih dulu. Kemudian, sebelum turun di lokasi beberapa ratus meter dari bandara, para penculik mengecek tekanan darahnya, membuka kunci borgol dan penutup matanya, memberinya tiket pesawat Merpati dan uang kemudian menyuruhnya jalan lurus; tak boleh menengok ke belakang.
Taslam sempat berjalan sempoyongan setelah matanya dihantam cahaya, menyetop taksi yang pertama dilihatnya menuju bandara, pulang ke Surabaya.
Penculiknya mengancam tak segan melukai dia dan keluarganya jika Taslam buka mulut; meracuni anak bungsunya yang bisa sewaktu-waktu dijalankan—seminggu, sebulan, setahun kemudian; kapan pun.
Katakan saja, ujar penculik kepada Taslam, selama kamu menghilang, biaya hidupmu dari hasil menjual mobil.
Sebelum bersaksi kepada tim penyelidik Komnas HAM pada Desember 2005, Taslam diteror lima kali lewat telepon. (Haryanto Taslam meninggal pada 14 Maret 2015.)
Raharja Waluyo Jati disekap selama 43 hari. Pada 25 April, ia dilepas ke Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, diberi vitamin dan baju ganti. Selama di kereta, Jati diawasi oleh seseorang yang tidak dikenalinya, pulang ke rumah orangtuanya di Jepara.
Faisol Riza disekap selama 1,5 bulan dan dilepaskan pada 26 April. Penculik membawa Faisol ke Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, memberikan baju, celana dan sepatu baru, menyuruhnya bersalin cepat selama 10 menit di kamar mandi di bawah ancaman todongan pistol.
Ia dikawal oleh seseorang tak dikenalinya, diminta diam selama perjalanan dengan kereta Argo Bromo jurusan Surabaya. Kemudian, setiba di Stasiun Pasar Turi, Faisol naik taksi ke Terminal Bungurasih, lalu naik bus menuju rumah orangtuanya di Probolinggo.
Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama 3 hari di Cijantung, diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret dan baru dibebaskan pada 5 Juni 1998.
Andi Arief diserahkan oleh Tim Mawar ke Mabes Polri pada 16 April, diketahui oleh Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim, yang meminta Kapolri Jenderal Dibyo Widodo menerima tahanan. Pada 24 April, Andi Arief dipindahkan ke Polda Metro Jaya. Keluarga Andi Arief baru mengetahuinya ditahan polisi pada 23 April 1998. Andi Arief dibebaskan pada 14 Juli 1998.
Mereka yang pulang dalam keadaan hidup, 22 tahun kemudian, masih bertanya-tanya tentang nasib kawan-kawan mereka yang hilang. Di mana Herman Hendrawan? Di mana Suyat, Petrus Bima Anugerah? Di mana Wiji Thukul?
Waluyo Jati menolak menyebut kawan-kawannya yang hilang itu dengan sebutan “almarhum.”
Faktanya, tidak ada yang tahu nasib mereka. Apakah masih hidup atau sudah mati? Jika masih hidup, di mana mereka sekarang? Jika sudah mati, di mana kuburan mereka?
"Kalau orang punya bapak sudah meninggal, masih bisa ziarah. Saya bingung kalau bapak dibilang sudah mati. Saya bahkan enggak tahu harus ziarah ke mana?” kata Fajar Merah di hadapan orang-orang yang mengenal Wiji Thukul.
_____
Laporan ini disusun berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras.
Artikel ini berbasis dokumen laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006 tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa. Basis materi primer lain adalah dokumen berita acara pemeriksaan Polda Metro Jaya tentang kasus penculikan aktivis 1998. Juga BAP Pusat Polisi Militer Mabes TNI terhadap para korban penculikan. Dokumen lain adalah putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999.
Laporan ini adalah bagian dua dari enam artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan berikutnya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam