Menuju konten utama

Tepatkah Padel hingga Futsal di Jakarta Dikenai Pajak Hiburan?

Perluasan objek pajak ke sejumlah jenis olahraga seperti padel hingga futsal bisa tingkatkan PAD Jakarta, tapi Pemda tak boleh abai untuk sosialisasi.

Tepatkah Padel hingga Futsal di Jakarta Dikenai Pajak Hiburan?
Olahraga Padel. foto/istockphoto

tirto.id - Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperluas daftar objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk kategori jasa kesenian dan hiburan mendapat sorotan. Pasalnya, kebijakan yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tersebut menyasar pengenaan tarif 10 persen pada berbagai jenis olahraga permainan yang selama ini populer di kalangan masyarakat perkotaan, seperti padel, biliar, yoga, hingga panjat tebing.

Dampaknya tak hanya dirasakan oleh kelas menengah yang selama ini menggunakan fasilitas berbayar untuk berolahraga, melainkan juga pelaku bisnis yang memiliki lini usaha pada jenis-jenis olahraga tersebut.

Ketua Perhimpunan Pengusaha Hotel dan Restoran (PHRI) Jakarta Sutrisno Iwantono, misalnya, mewanti-wanti Pemprov untuk memitigasi imbas kebijakan terhadap bisnis wisata kesehatan atau wellness tourism.

“Kalau itu bagian dari kesehatan dan pariwisata kita kan ingin menawarkan wellnes sebagai salah satu alternatif. Kalau dipajaki tinggi nanti jadi kurang menarik dari pariwisata. Dan ini memang harus dibedakan antara hiburan mewah dengan kesehatan bagi rakyat biasa,” tuturnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/7/2025).

Meski demikian, keputusan daerah untuk menerapkan pajak untuk jenis olahraga tertentu sejatinya bukan hal baru. Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menekankan bahwa dasar hukum atas keputusan ini sudah diputuskan oleh pemerintah pusat sejak lama, khususnya melalui UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Menurutnya, dasar pemajakan olahraga permainan ini berasal dari semangat desentralisasi fiskal, di mana beberapa objek pajak yang sebelumnya menjadi domain pusat, seperti PPN atas persewaan sarana olahraga, dialihkan ke ranah pajak daerah melalui PBJT.

“Dulunya objek-objek tersebut merupakan objek PPN. Tapi kemudian dialihkan menjadi pajak daerah. Agar tidak kena pajak berganda, objek itu dikecualikan dari PPN,” jelasnya saat dihubungi Tirto, Senin (7/7/2025).

Namun, ia juga mengingatkan bahwa dalam implementasinya, kebijakan fiskal seperti ini tetap harus memperhatikan asas keadilan dan proporsionalitas. Artinya, tarif atau cakupan pajak sebaiknya tidak menimbulkan beban berlebihan bagi kelompok masyarakat yang seharusnya didorong untuk aktif berolahraga, bukan dibatasi oleh beban fiskal.

“Kalau konteksnya adalah ruang sewa dan alat olahraga, maka perlu juga dikaji siapa penggunanya, siapa penyedianya, dan berapa besar daya beli mereka. Jangan sampai niat cari penerimaan justru memukul sektor yang potensial tumbuh,” ujarnya.

Hal senada disampaikan pengamat perpajakan Bawono Kristiajie. Ia menilai bahwa langkah Pemprov DKI masih berada dalam koridor kebijakan fiskal daerah yang sah. Ia bahkan menyebut pengenaan pajak atas olahraga hiburan sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan secara normatif.

“Dengan kata lain, sepertinya tidak pas jika disebut perluasan objek pajak. Selama ini juga sudah dipajaki. Ini juga mandat dari UU HKPD tahun 2022 yang jadi rujukan perda di berbagai daerah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bawono menyebut bahwa dalam konteks otonomi daerah dan penguatan kemandirian fiskal, kebijakan ini bisa dilihat sebagai langkah mencari sumber penerimaan baru tanpa mengandalkan transfer pusat.

Sementara itu, pakar perpajakan dari Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menekankan bahwa sosialisasi kepada pelaku usaha dan pengguna fasilitas olahraga harus dilakukan secara masif agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Terlebih, penyedia jasa sewa lapangan padel, studio yoga, kolam renang, atau bahkan lapangan futsal yang mengenakan tarif kepada penggunanya memang sudah termasuk dalam objek PBJT. Sementara regulasi yang diteken pada Mei lalu hanya bersifat afirmatif terhadap dasar hukum yang sudah lebih dulu eksis sejak awal 2024.

Data dari Pergub DKI Jakarta Nomor 56 Tahun 2024 menunjukkan bahwa target penerimaan PBJT dari sektor olahraga permainan pada APBD 2025 mencapai Rp34,46 miliar. Angka ini mencakup seluruh jenis olahraga permainan yang memerlukan sewa alat atau tempat, bukan hanya padel.

Namun demikian, respons publik yang cenderung negatif atas beleid tersebut tak bisa diabaikan. Sebagian masyarakat menilai bahwa pemberlakuan pajak hiburan terhadap aktivitas olahraga justru menyulitkan akses terhadap gaya hidup sehat, terutama bagi kelas menengah yang menjadi pengguna utama fasilitas seperti studio yoga atau lapangan mini soccer.

“Intinya adalah bahwa pajak olahraga padel bukan kebijakan yang muncul tiba-tiba. Acuannya sudah ada sejak UU HKPD dan Perda DKI No. 1/2024. Tapi pelaku usaha harus diberi pemahaman supaya bisa mematuhi dan menyesuaikan harga jasa mereka dengan transparan,” tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa secara hukum, regulasi ini masih bisa dikaji ulang. Peninjauan terhadap Perda dapat dilakukan jika ada desakan publik yang cukup besar dan direspons oleh DPRD.

“Peraturan apapun dapat ditinjau kembali. Keberatan pelaku usaha bisa disampaikan ke Pemprov agar ada diskusi bersama untuk solusi yang win-win,” tambah Prianto.

Masukan Prianto soal pentingnya sosialisasi yang masif kepada masyarakat cukup beralasan. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung sendiri sempat mengaku tak mengetahui pengenaan padel dan olahraga populer lainnya sebagai objek pajak daerah baru.

Kendati begitu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Lusiana Herawati memastikan bahwa pengenaan pajak tersebut bukan bermaksud untuk memberatkan masyarakat dan melemahkan aktivitas usaha di bidang olahraga, melainkan menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat lantaran olahraga permainan telah sejak lama dikenakan Pajak Hiburan.

Adapun hingga saat ini sudah ada tujuh objek lapangan padel yang telah terdaftar menjadi wajib pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan dari tahun 2024.

"Dengan demikian masyarakat tak perlu khawatir. Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong royong membayar pajak untuk kebaikan bersama. Sebuah investasi kebaikan yang sempurna, sehat jiwa raga," kata Lusiana dalam keterangan resminya.

Baca juga artikel terkait JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra & Nanda Aria
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra