Menuju konten utama

Teori-Teori Paradigma Fakta Sosial dan Penjelasannya

Berikut ini adalah penjelasan soal teori dan konsep paradigma fakta sosial dalam sosiologi.

Teori-Teori Paradigma Fakta Sosial dan Penjelasannya
Ilustrasi Sosiologi. foto/Istockphoto

tirto.id - Dalam pelajaran sosiologi, istilah paradigma sosiologi dikenal sebagai dasar pemikiran yang berisi konsep-konsep atau model sosial tertentu. Salah satu dasar sub teori dari paradigma ini adalah paradigma fakta sosial.

Menurut catatan Suci Fajarni dalam JSAI (Vol. 1, No. 2, 2020, hlm. 136), paradigma fakta sosial adalah cabang sosiologi yang teorinya pertama kali disampaikan Emile Durkheim. Tokoh ini menyampaikan pendapatnya terkait fakta sosial melalui The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897).

Berdasarkan konsep Durkheim, paradigma ini menganggap masyarakat sebagai realitas sosial yang mandiri. Dengan begitu, mereka tidak dikekang oleh sikap individu-individu lain yang ada di sekitarnya.

Seluruh kenyataan ini disusun atas sistem, misalnya organisasi, aturan, pranata, nilai, pembagian kuasa, dan wewenang. Lebih lengkapnya, Wagiyo (Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya, hlm. 1.5) mengibaratkan kehidupan seorang individu yang terkena pengaruh fakta sosial sekitarnya.

Dengan begitu, fakta sosial yang berupa struktur pada akhirnya bisa membuat individu tahu apa yang harus mereka lakukan dalam realita kehidupannya. Lebih jelasnya, individu mengerti benar bahwa mereka merupaan bagian dari masyarakat.

Lantas, apa teori atau konsep yang ada dalam paradigma fakta sosial?

Teori dan Kosep Paradigma Fakta Sosial

Berikut ini adalah penjelasan soal teori dan konsep paradigma fakta sosial:

1. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori ini dikenalkan oleh Robert K. Merton. Pada teori fungsionalisme struktural, fokus diarahkan kepadada sistem keteraturan masyarakt yang tak memperlihatkan konflik serta perubahannya.

Konsep pada teori ini terdiri dari fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan. Lalu, dirancang sedemikian rupa hingga semua peristiwa atau struktur yang ada di masyarakat menghasilkan fungsi tertentu.

Dari keseimbangan yang berarti serasi, maka hal yang dirasa tak serasi akan disingkirkan begitu saja. Langkah ini dilakukan demi menormalisasi keadaan agar fungsi struktur masyarakat bisa menciptakan keserasian sosialnya kembali.

2. Teori Konflik

Berlawanan dengan teori sebelumnya, teori konflik diperkenalkan oleh Dahrendorf. Ia berpendapat bahwa ada sebuah dasar yang menjadi penyebab konflik, mulai dari wewenang atau posisi-posisi tertentu seorang individu.

Jika dirasa ada sebuah hal yang tak adil di dalam masyarakat, maka konflik berpotensi muncul. Oleh karena itu, teori ini menawarkan analisis hubungan sebab akibat dari posisi atau wewenang seseorang di dalam masyarakat hingga terjadinya konflik.

Biasanya, individu yang memotori konflik bergerak atas keinginannya untuk mengubah sesuatu yang dirasa tak adil.

Perubahan yang diinginkannya ini memang bertentangan dengan teori fungsionalisme struktural yang mengemban keserasian. Tapi, nyatanya hal ini berpotensi terjadi di masyarakat.

3. Perpaduan Fungsionalisme Struktural dan Konflik

Fakta sosial yang dituntut serasi pada fungsionalisme struktural memperoleh perlawanan dari teori konflik yang mengakibatkan ketidakserasian. Pierre van den Berghe mengungkapkan kedua hal tersebut sebagai suatu hubungan yang mengikat.

Selagi fakta sosial masih diterima, konflik tidak mungkin terjadi. Sedangkan, jika sudah dirasa tak sesuai, maka individu akan menyuarakannya sehingga terjadi konflik.

Selain itu, Berghe juga menyatakan pendapatnya terkait fungsi konflik. Di antaranya sebagai penjamin solidaritas, memunculkan ikatan persekutuan sebuah kelompok (yang menginginkan perubahan), meragamkan manusia sebagai individu, dan menjadi jembatan kelompok satu dengan kelompok lain yang sependapat.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Maria Ulfa