tirto.id - “Siapa saya?”
Demikian tanya Sacha Stevenson kepada para penonton kanal Youtube-nya.
Sacha barangkali paham betul jika hal yang muncul dalam kepala orang Indonesia saat pertama kali melihat fisiknya yang Kaukasian adalah pertanyaan eksistensial nan klasik itu. Alih-alih menjelaskan status kewarganegaraannya sembari pamer paspor, atau bercerita tentang makna di balik namanya hingga mulut berbusa-busa, Sacha justru menyahut:
“Saya adalah tukang parkir. Saya adalah tukang bakso. Saya adalah bocah laki-laki yang harus disunat. Saya adalah pencuri sandal, saya adalah seorang pegawai negeri sipil. Saya... akan pergi ke Alfamart dengan mengenakan piyama!”
Sacha Stevenson adalah seorang perempuan “bule” kelahiran Kanada. Ia lahir Halifax, Nova Scotia, pada tanggal 21 Januari 1984. Sejak beberapa tahun yang lalu, ia memiliki kanal untuk mengunggah video-video dengan konten humoris dan satire tentang kondisi masyarakat Indonesia di mata Sacha.
Namun, Sacha bukan orang asing yang sedang mengidap gegar budaya (shock culture) atau masih terkaget-kaget dengan apa yang terjadi dan orang-orang Indonesia lakukan. Proses adaptasi sudah dilakoninya sejak 15 tahun yang lalu, atau tepatnya di tahun 2001 saat pertama kali ia menginjakkan kaki di Indonesia sebagai guru bahasa Inggris.
Ia memutuskan tinggal di Indonesia karena menganggap Kanada sudah terlalu maju sebagai sebuah negara. Sementara itu segala masalah khas sebuah negara berkembang masih terjadi di Indonesia. Boleh percaya atau tidak, justru kondisi “bobrok” dan “chaos” inilah yang menjadikan Sacha betah tinggal di Indonesia.
Tengok betapa berhasilnya Sacha dalam menggambarkan perilaku-perilaku absurd masyarakat Indonesia—yang tak ia temui di Kanada. Melalui kanal bertajuk serupa namanya sendiri, sejak tahun 2013 ia memproduksi sebuah sub-kanal dengan nama “How to act like Indonesian” alias tips-tips bagaimana berperilaku ala orang Indonesia.
Demi menghindari kemarahan orang-orang Indonesia yang gampang sensi karena isi videonya dianggap menghina Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berbau “over simplifikasi” dan/atau “over generalisasi”, Sacha selalu memberi pengantar di awal video sebagai bentuk disclaimer-disclaimer yang lucu. Misal:
“Tak semua orang Indonesia berperilaku demikian. Aku cinta Indonesia dan orang-orangnya. Itu sebabnya aku tinggal di sini selama 12 tahun! Cuma mau bilang: Bro, ini tuh Indonesia banget!”
Pertanyaannya adalah atas dasar apa Sacha berani mengklaim jika kumpulan parodinya itu benar-benar merepresentasikan orang Indonesia yang “Indonesia banget”, bahkan hingga orang Indonesia sendiri mengakuinya?
Jawabannya adalah riset berdasarkan pengalaman empiris Sacha yang terpupuk dan terkumpul selama ia menetap di Indonesia.
Kepada Antara ia pernah bercerita, “Saya suka jalan dan lihat kaki lima. Saya suka jalan lihat durian di pinggir jalan, liat warna-warni buah, saya suka warkop, lihat orang duduk-duduk ngopi lalu kaki satu diangkat ke bangku, kadang-kadang mereka minum di piring. Saya senang lihatnya.”
Ia juga terbantu oleh tekadnya sendiri yang ingin menguasai berbahasa Indonesia dengan fasih. Caranya, “Saya buat aturan sendiri untuk enggak nongkrong sama teman-teman. Kalau sama bule ngobrolnya pasti pakai bahasa Inggris, sama orang Indonesia yang kantoran juga gitu. Makanya saya nongkrong sama satpam, ibu warung, dan rata-rata mereka enggak bisa bahasa Inggris.”
Parodi Satire yang Menggigit
Di “How to act like Indonesian”, Sacha dengan konsisten mampu memberikan “cubitan” melalui parodi atas perilaku-perilaku absurd yang secara sadar maupun tidak sadar sering dilakukan oleh manusia-manusia Indonesia.
Misal, dalam sebuah episode Sacha ingin mencontohkan betapa komunalnya masyarakat kita sampai-sampai sering melupakan tanggung jawab. Sacha memparodikan hobi masyarakat Indonesia yang suka memakai sandal orang lain tanpa izin, lalu dikembalikan ke si pemilik dalam kondisi tak seperti semula.
Dalam video-video lainnya, orang Indonesia di mata Sacha adalah golongan yang amat sangat suka menggosipkan orang lain, bahkan dengan orang yang tak dikenal baik. Orang Indonesia juga kecanduan bisnis Multi Level Marketing (MLM) tanpa paham risiko-risikonya sebab hanya menuruti nafsu ingin cepat kaya.
Orang Indonesia suka buang sampah sembarangan. Orang Indonesia lebih memilih pergi ke dukun ketimbang mencari pertolongan medis (meskipun sakit yang dideritanya teramat parah). Orang miskin di Indonesia bahkan lebih memprioritaskan untuk memiliki smartphone atau Blackberry meskipun sehari-hari kesusahan cari makan atau sekedar tempat berteduh yang layak.
Orang Indonesia lebih memilih orang berpenampilan menarik walaupun bodoh (ditambah uang titipan dari sang ayah) untuk diterima di sebuah perusahaan, ketimbang secara rasional memilih orang berpenampilan buruk dengan latar belakang pendidikan yang baik. Orang Indonesia juga kecanduan sinetron meski yang ditawarkan hanyalah adegan-adegan klise dan drama yang tak mengandung kebaruan.
Orang Indonesia juga suka percaya hal-hal tahayul dan sering menggunakannya sebagai alasan untuk menjinakkan kerewelan sang anak. Alhasil, orang Indonesia terbiasa memakai siasat menakut-nakuti agar si anak patuh, meski alasan atas perintah tersebut tak masuk akal. Tak mengherankan jika tindak pelamahan ini membuat anak-anak Indonesia juga tumbuh menjadi orang dewasa dengan karakter yang lemah.
Tak lupa, Sacha juga menyindir absurditas politisi Indonesia yang membiarkan biaya pengobatan mahal, sampai-sampi masyarakat kecil terbiasa cuek dengan apa yang sedang dideritanya. Politisi Indonesia kerjaannya kongkalikong dengan pengusaha yang memiliki kepentingan untuk mengubah peraturan formal demi keuntungan pribadi. Politisi Indonesia juga bisanya hanya tebar janji saat kampanye pilkada.
Menjadi Indonesia ala Mochtar Lubis
Apakah penilaian Sacha akurat? Orang boleh berbeda pendapat, tetapi setidaknya yang ia parodikan memiliki banyak keselarasan dengan sifat-sifat manusia Indonesia yang pernah dipaparkan oleh Mochtar Lubis 39 tahun silam. Penilaian wartawan plus budayawan yang kontroversial itu terangkum dalam pidato kebudayaan yang ia bacakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 6 April 1977.
Bagi Mochtar, orang Indonesia itu (1) hipokrit alias munafik, (2) segan dan enggan bertanggung jawab, (3) berjiwa feodal, (4) percaya pada takhyul, (5) artistik, dan (6) berwatak/karakter lemah.
Konon, penilaiannya itu dikecam banyak orang, salah satunya oleh Margono Djojohadikusumo, begawan ekonomi nasional dan pendiri Bank Indonesia. Namun, di sisi lain banyak juga pihak yang sepakat dengan Mochtar. Pandangannya dianggap visioner karena hingga hari ini sifat-sifat tersebut dinilai masih melekat dalam perilaku sehari-hari manusia Indonesia.
Video parodi Sacha adalah kompilasi atas contoh-contoh yang representatif. Interpretasi Sacha soal kemunafikan para penganut agama di Indonesia maupun para politisinya, misal, secara substansial pernah Mochtar uraikan dalam pidatonya.
“Manusia Indonesia karena semua ini (agama), juga penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York, dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan perempuan pada pelayan atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi, tetapi dia sendiri seorang koruptor.” Katanya.
“Akibat dari kemunafikan manusia Indonesia, yang berakar jauh ke masa kita sebelum dijajah bangsa asing, maka manusia Indonesia masa kini terkenal dengan sikap ABS-nya (Asal Bapak Senang),”
Mochtar kemudian menyinggung manusia Indonesia yang enggan mempertanggungjawabkan perbuatan dan keputusannya. “Drama” pemecatan menteri ESDM baru-baru ini adalah bukti yang gamblang. Presiden Jokowi tak meminta maaf ke publik terkait kesalahannya, lalu membiarkan orang-orang di bawahnya, terutama para menteri, memberikan pernyataan-pernyataan bernada pembelaan kepada sang menteri yang akhirnya diberhentikan itu.
Untuk menggambarkan masalah seperti itu, dulu Mochtar pernah mengatakan, “'Bukan saya' adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia. Dalam sejarah kita dapat hitung dengan jari pemimpin-pemimpin yang punya keberanian dan moralitas untuk tampil ke depan memikul tanggung jawab terhadap sesuatu keburukan yang terjadi di dalam lingkungan tanggung jawabnya.”
Membaca analisa Mochtar secara utuh tentu tak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi masyarakat Indonesia kala itu. Ironisnya, apa yang diilustrasikan Mochtar masih tersirat secara mendalam pada video-video Sacha di hari ini: saat usia Indonesia sudah berumur lebih dari 70 tahun.
Sebab memutuskan untuk menggeluti dunia sindir-menyindir dan kritik-mengritik, Sacha tentu pernah mendapat respons negatif dari para pembencinya. Uniknya, yang Sacha terima di kolom komentar itu terasa lebih kompleks dibanding yang diterima Mochtar.
Sacha adalah perpaduan unik: warga asal Kanada beragama Islam yang cerewet dengan kondisi tempat tinggalnya “baru-baru ini”. Otomatis, ia bukan pribumi. Orang-orang yang tak bijak kadang muncul dan kebanyakan gagal mencerna pesan yang ingin disampaikan oleh Sacha. Dan reaksi tersebut justru semakin menegaskan apa yang sedang disindir oleh Sacha.
Baik Mochtar maupun Sacha adalah orang-orang yang mencintai negara ini dengan proses pemelukan identitasnya masing-masing. Ada yang kebetulan terlahir di Indonesia, ada juga yang sempat hidup beberapa lama di negara lain. Namun, keduanya sama-sama mampu melihat kondisi sekitar dengan jeli, mengolahnya, lalu membahasakannya ke khalayak luas dengan gaya dan medianya masing-masing.
Maka untuk menerka kadar keberhasilan atas penilaian kritis itu juga bukan bergantung kepada Sacha ataupun Mochtar, melainkan kembali kepada khalayak itu sendiri: manusia-manusia Indonesia. Lagipula, jika memang bukan pelaku, mengapa mesti kebakaran jenggot?
Mengutip kalimat seorang bijak, “Terkadang kita membutuhkan pihak lain untuk mendefinisikan siapa dan bagaimana diri kita sesungguhnya.”
Dirgahayu Ibu Pertiwi. Selamat berproses menjadi manusia Indonesia seutuhnya: dalam makna yang seluas-luanya, dalam semangat yang sebebas-bebasnya. Merdeka!
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti