tirto.id - Anak Agung Gde Agung jadi Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007 di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia adalah Raja Gianyar yang pernah jadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT), yang beribukota di Makassar.
Anak Agung merupakan perdana menteri terakhir NIT dan dianggap sebagai tokoh yang berjasa dalam penggabungan NIT ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah NIT bubar, ia pernah jadi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Waktu jadi Raja Gianyar, usia Anak Agung baru 22, setelah ayahnya dicurigai dan ditahan Kempeitai Jepang karena dituduh berkhianat.
“Hari yang bersejarah ini terjadi pada tanggal 23 Agustus 1943 sebulan setelah saya memperingati hari ulang tahun saya keduapuluh dua,” tulis Anak Agung dalam autobiografinya, Kenangan masa lampau: zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang di Bali (1993: 182).
Jebolan sekolah tinggi hukum Recht Hogeschool Batavia ini merasa kuliah hukum tata negaranya berguna juga sebagai raja lokal. Anak Agung ingat waktu Sukarno berkunjung ke Gianyar, ia diperintahkan mengumpulkan rakyat oleh pihak militer. Tak ada pilihan selain tunduk pada militer di zaman itu. "Penjilat Pantat Nederland" Setelah Indonesia merdeka, ia terlibat konflik dengan orang-orang pro-kemerdekaan. Di antaranya dengan kelompok Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan bangsawan-bangsawan dari kerajaan Bali lainnya.
Menurut Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009: 68), kala itu antara puri atau kerajaan di Bali ada yang saling bermusuhan, bahkan disertai kekerasan. “Pada bulan September 1945, Raja Gianyar, Anak Agung Gde Agung, dua kali diculik gerombolan Pemuda. Upaya penculikan ini agaknya diprakarsai oleh Puri Ubud dan Pliata, dan kemungkinan puri-puri lain dan dilaksanakan oleh anggota PRI. Anak Agung Gde Agung mengklaim bahwa tindakan terorisme ini membuatnya berbalik menentang gerakan perlawanan,” tulis Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata (2006: 157).
Beberapa buku lain seperti Bergerilya Bersama Ngurah Rai (yang disusun I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa) dan Orang-orang di sekitar Pak Rai: cerita para sahabat pahlawan nasional Brigjen TNI (anm) I Gusti Ngurah Rai, menyebut Anak Agung terkait dengan sebuah pasukan bernama Pemuda Pembela Negara (PPN) yang dibentuk pada akhir 1945.
“la membentuk Pemuda Pembela Negara (PPN) untuk mempertahankan eksistensi Puri Agung dan kepemimpinannya. PPN juga dilaporkan ke Pemerintah Pusat di Jakarta,” tulis Aco Monoarfa dalam Doktor Ide Anak Agung Gde Agung (2007: 115).
Menurut Geoffrey Robinson, PPN bertempur melawan milisi pro-Republik Indonesia. PPN ikut menindas pejuang republiken, dari 1945 hingga 1948. Setidaknya, Anak Agung sudah dicap berada di pihak pemerintah sipil Hindia Belanda alias Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) yang berusaha menduduki kembali Indonesia setelah 1945.
PPN, menurut Nyoman S. Pendit dalam Bali Berjuang (2008: 160), “tadinya bertujuan menjaga keamanan daerah Gianyar saja serta melindungi Puri Raja Gianyar, dengan mendadak sontak menyatakan bekerja sama dengan NICA, langsung di bawah pimpinan Anak Agung Gede Agung.”
Sementara dalam buku Orang-orang di sekitar Pak Rai dinyatakan, “Sudah menjadi rahasia umum di Bali, khususnya Gianyar, Anak Agung Gde Agung (Raja Gianyar) yang kemudian menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur sangat kejam prilakunya terhadap Pemuda Pejuang. Ia bernafsu mengejar dan menangkap para pemuda pejuang hingga ke desa-desa untuk kemudian dijebloskan dalam penjara” (hlm. 110). Sudah tentu, PPN bikin jengkel pemuda pejuang pro-Republik di Bali. Hingga PPN binaan Anak Agung itu kerap dipelesetkan sebagai Pemuda Pembela NICA atau Penjilat Pantat Nederland.
Di mata I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa, salah satu anak buah I Gusti Ngurah Rai yang belakangan jadi penulis, PPN tak ubahnya sebuah gerombolan pemuda. Dalam Bergerilya Bersama Ngurah Rai (1994: 11) yang ditulisnya, Tirtayasa menyebut PPN binaan Anak Agung Gde Agung, “dengan gencar menyerang pemusatan gerilya kita di pedalaman di bawah lindungan tentara Jepang. Mereka dengan sadis menembaki, menangkap, dan menyiksa pemuda-pemuda gerilya kita sebelum membunuh dengan keji. PPN itu sungguh bersemangat menumpas para gerilya kita.” Maksud “gerilya kita” versi Tirtayasa adalah pihak Republik Indonesia.
Menghancurkan Perlawanan Republiken Dalam catatan kakinya di buku Sisi Gelap Pulau Dewata, Robinson mengutip pernyataan dari orang yang tidak disebut namanya. "Secara lahir [Anak Agung Gde Agung] bertindak seolah-olah hanya berkolaborasi dengan Belanda demi mewujudkan Negara Indonesia Serikat, tapi secara batin dia menindas unsur-unsur Republikan dengan kejam.”
Menurut Robinson, meski kurang suka menjilat dibanding Sukawati, Anak Agung berjuang sekuat tenaga untuk menghancurkan perlawanan bersenjata di Bali. “Bangsawan terpelajar moderat seperti dirinya akan mendominasi sistem politik apapun yang muncul dari revolusi. Kendati Agung, pada saat yang tepat, berdamai dengan Republik pada akhir 1948, dia maupun Sukawati menuai reputasi, setidaknya di Bali, sebagai oportunis dan musuh Republik,” tulis Robinson.
Tak heran jika terjadi penolakan atas gelar Pahlawan Nasional yang disandangnya. Wayan Windia dari Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP) Bali menganggap keputusan pemerintah (10/11/2007) yang mengangkat Anak Agung Gde Agung sebagai pahlawan sangat menyinggung, meremehkan, dan melecehkan harga diri pejuang kemerdekaan Indonesia di Bali.
Sedangkan Asvi Warman Adam menyatakan, “Saya akui Anak Agung telah berjasa dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia bahkan menulis buku-buku sejarah termasuk sejarah politik luar negeri Indonesia. Karena itu, ia diangkat sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia” (hlm. 68).
Kontroversi soal Anak Agung Gde Agung memang tak bisa dihindari, sampai akhir hayatnya pada 22 April 1999, atau tepat 20 tahun lalu.
===========
Catatan: Naskah ini pernah tayang pada 28 Juni 2018 dengan judul "Penjilat Pantat Nederland dan Kontroversi Anak Agung Gde Agung", pada edisi mozaik 22 April 2019, diunggah ulang dengan minor penyuntingan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan