tirto.id - Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan bukan berarti lepas begitu saja dari segala konflik dan permasalahan. Ada banyak sekali sektor yang harus ditata ulang. Perhatian utamanya ialah bidang keamanan yang sempat mengalami krisis akibat bentuk-bentuk anarki sporadis yang terus bergejolak sejak tahun 1942.
Pekerjaan itu tetap harus dilaksanakan di tengah silang pendapat tentang jalan memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan yang terjadi antara golongan tua yang sabar dengan golongan muda yang serba tergesa-gesa.
Guna menyatukan seluruh pihak sekaligus menertibkan keamanan di daerah-daerah, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang belakangan berubah nama menjadi Komite Nasional Indonesia kembali bersidang untuk ketiga kalinya pada 22 Agustus 1945.
Sidang yang digelar tepat pada hari ini 74 tahun silam itu menghasilkan pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu, ditetapkan pula pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berfungsi untuk mengembalikan kestabilan umum sekaligus membantu korban perang di berbagai wilayah Indonesia.
Pemuda dalam Kemelut Kemerdekaan
Sepanjang pendudukan Jepang, perlawanan golongan muda terhadap penjajah lebih banyak dilakukan dengan cara-cara yang cenderung keras. Mereka tidak segan menggertak siapa saja yang dianggap menghalangi dan mendikte kemerdekaan Republik Indonesia.
Puncaknya, pada Juli 1945, belasan pemuda yang hadir dalam sidang BPUPKI mendobrak meja lalu berlarian ke luar ruangan. Mereka keberatan atas syarat-syarat kemerdekaan yang diajukan Jepang. Sebelum menghilang di balik pintu ruang sidang, kelompok yang dipimpin Chairul Saleh itu secara dramatis mendeklarasikan perlawanan terhadap Jepang.
“Hari sekarang ada di tangan pemuda. Dan sebelum para pemuda bisa menerima suatu penasfsiran Nippon, kami akan melakukan perlawanan,” ujar Chairul lantang, seperti dikisahkan kembali oleh Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (2007: 243).
Semangat para pemuda semakin bergelora tatkala mendengar kabar Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dari jaringan radio gelap. Mereka bagai disambar api revolusi dan segera memburu pergi ke kediaman Sukarno.
Berdasarkan catatan yang terangkum dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (2005: 25) yang dikumpulkan Pramoedya Ananta Toer, dkk, tepat pukul 10 malam tanggal 15 Agustus 1945, Wikana dan Darwis tiba di kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Mereka berdua membawa pesan dari Chairul Saleh dan kelompoknya yang ingin agar pentolan golongan tua itu bersedia memproklamasikan kemerdekaan sebelum jam 12 malam.
Para pemuda berkeras bahwa kemerdekaan tidak sepatutnya menjadi hadiah Jepang, tetapi harus dicapai sendiri oleh bangsa Indonesia. Lebih jauh, jika golongan tua tidak segera memproklamasikan kemerdekaan, maka dipastikan akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.
Mendengar hal itu, Sukarno jadi naik pitam. “Ini leher saya! Seret saya ke pojok dan habisi nyawa saya malam ini, tidak perlu tunggu besok!” hardik Sukarno.
Wikana lantas menyela kemarahan Bung Karno. Katanya, para pemuda bukannya ingin melakukan putsch dengan menghabisi nyawa golongan tua. Mereka hanya memperingatkan jika kemerdekaan tidak segera diproklamirkan, maka rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam PETA akan bertindak sendiri dengan membunuhi orang-orang yang dicurigai pro-Jepang.
Ahmad Subardjo datang belakangan bersama Mohammad Hatta yang sebelumnya sedang sibuk mengetik materi rapat di rumahnya. Sayang, kedatangan Hatta tidak mampu merubah keadaan. Sebaliknya, dengan hadirnya Hatta, para pemuda semakin ngotot agar tuntutan mereka dipenuhi.
Hatta, melalui tulisan-tulisannya yang dirangkum Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (1991: 196) memang kerap mengutarakan kegusarannya terhadap gerakan pemuda anti-Jepang. Dia menilai hasrat revolusioner yang ditunjukkan kaum muda itu tidak realistis, tergesa-gesa, dan cenderung ceroboh. Barangkali karena alasan itulah, para pemuda sama sekali tidak dilibatkan dalam persiapan kemerdekaan melalui serangkaian sidang PPKI yang dimulai pada 18 Agustus 1945.
Kompromi yang Melahirkan BKR dan KNIP
Barulah pada sidang PPKI ketiga yang dilaksanakan pada 22 Agustus 1945, untuk pertama kalinya para pemuda diminta berpartisipasi. Wakil pemuda terkemuka yang diharapkan kehadirannya ketika itu, antara lain: Chairul Saleh, Sukarni, dan Wikana.
Kesediaan para pemuda untuk hadir dalam sidang ketiga tersebut nampaknya dipengaruhi beberapa kesepakatan. Sebelumnya, selepas sidang PPKI kedua pada 19 Agustus 1945, golongan muda sempat berbincang dengan Sukarno dan Hatta dalam sebuah pertemuan di Prapatan 10.
Pertemuan santai yang dipimpin oleh Adam Malik, salah satu pentolan golongan muda, tiba pada rencana pembentukan tentara Indonesia guna menggantikan fungsi PETA dan Heiho yang secara resmi dibubarkan pada 19-20 Agustus 1945. Demikian dicatat oleh St. Sularno dan D. Rini Yunarti dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (2010: 113).
Menyambung permintaan tersebut, melalui sidang PPKI ketiga, Chairul Saleh memimpin kedua rekannya melancarkan serangan gencar tentang ketidakabsahan PPKI karena masih berbau Jepang. Mereka menuntut agar PPKI segera melucuti segala bentuk hubungan dengan zaman Jepang dan beralih nama menjadi Komite Nasional Indonesia.
Tuntutan Chairul Saleh tersebut berhasil membuat Sukarno dan Hatta menjadi salah tingkah. Kendati keinginan memerdekakan bangsa Indonesia sama besarnya dengan para pemuda, mereka merasa memiliki kedudukan yang sulit di hadapan Jepang. Saat ada kesempatan, Hatta pun segera membuat pernyataan untuk menenangkan semua pihak.
“Demi alasan ini, kami sampaikan kepada Jepang bahwa ini adalah rapat PPKI, sekaligus kami menjamin rakyat bahwa ini adalah rapat pertama dari Komite Nasional Indonesia,” kata Hatta dalam biografinya (hlm. 208).
Meskipun pemuda menerima pernyataan tersebut, mereka segera bereaksi terhadap keputusan PPKI yang tidak jadi membentuk tentara Indonesia. Alasannya, pemerintah tidak ingin menimbulkan kesan hendak berperang dan memicu serangan balik dari Jepang dan Sekutu.
Untuk memuaskan para pemuda, Sukarno selaku ketua sidang PPKI mengusulkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR pada dasarnya merupakan satuan ketentaraan yang berkedok badan keamanan. Sejak awal dibentuk, badan ini sudah dibebani tugas-tugas militer meskipun tugas utamanya lebih mirip polisi.
“Saya telah memikirkan masak-masak situasi Republik kita dalam hubungan dunia internasional. Kita segera harus punya alat keamanan negara di samping Polisi Negara, akan tetapi yang bukan tentara,” kata Sukarno, seperti dicatat oleh Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 127).
Banyak kalangan yang menyebut BKR adalah satuan militer pertama setelah kemerdekaan. Widyo Nugrahanto, dkk, dalam makalah “BKR (Badan Keamanan Rakyat): Cikal Bakal Tentara Indonesia?!” bahkan menyebutnya sebagai cikal bakal TNI.
Lebih jauh menurut pemaparan Anderson, BKR semata-mata dirancang untuk memelihara wibawa pemerintah pusat di daerah-daerah. Tidak mengherankan jika pada akhirnya, BKR lebih banyak ditanggapi secara pasif oleh para eks-tentara PETA. Mereka lebih setia kepada perwira-perwira setempat ketimbang pemerintah pusat.
Dengan berakhirnya sidang PPKI ketiga, maka dengan sendirinya PPKI turut membubarkan diri. Anderson menuliskan panitia ini kemudian bereinkarnasi menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
“Pada hari itu [22 Agustus 1945] PPKI lenyap ke dalam KNIP yang baru dibentuk. Keseimbangan kekuatan dalam kepemimpinan nasional yang muncul pada waktu itu digambarkan dengan baik oleh keanggotaan KNIP,” tulis Anderson (hlm. 113).
Selayaknya sikap kompromi yang dicapai golongan tua dan golongan muda melalui BKR, kepengurusan KNIP selanjutnya dibebankan kepada kedua golongan ini. Mengutip catatan Anderson, dari total 137 anggota KNIP yang terpilih, golongan muda setidaknya mendapat sekitar 20 sampai 25 kursi. Sisanya diisi oleh politisi nasionalis, pangreh praja, dan kelompok profesional yang sejak lama duduk dalam organisasi-organisasi buatan Jepang.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti