Menuju konten utama

Tekan Rokok Ilegal Agar Tak Risau PHK Industri Tembakau

Pemberantasan rokok ilegal dinilai akan atasi persoalan ketenagakerjaan sekaligus mengurangi prevalensi perokok.

Tekan Rokok Ilegal Agar Tak Risau PHK Industri Tembakau
Petugas Bea dan Cukai Aceh membakar barang hasil penindakan berupa rokok impor ilegal saat pemusnahan di Banda Aceh, Aceh, Selasa (22/7/2025). ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.

tirto.id - Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri hasil tembakau (IHT) belakangan kembali menjadi sorotan. Meskipun informasi yang beredar belum semuanya dapat diverifikasi secara detail, tekanan yang dialami sektor ini kian memperlihatkan bahwa industri rokok di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan.

PT Gudang Garam Tbk, yang sempat disebut-sebut melakukan PHK massal, membantah kabar tersebut melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Selasa (9/9/2025). Manajemen menegaskan bahwa yang terjadi bukanlah PHK massal, melainkan pelepasan 309 karyawan secara normal melalui mekanisme pensiun, pensiun dini sukarela, serta berakhirnya kontrak kerja sesuai batas waktu. Perusahaan juga menyampaikan bahwa kegiatan operasional dan distribusi tetap berjalan normal.

Meski demikian, gejolak di industri rokok tidak bisa diabaikan. Bukan hanya dari kabar pengurangan karyawan di sejumlah pabrikan, tekanan juga tercermin dari kinerja pasar modal. Pada perdagangan Selasa (9/9/2025), saham-saham emiten rokok berguguran setelah sempat melambung pada momen pelantikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menggantikan Sri Mulyani. Bahkan hingga sore harinya, saham emiten rokok masih ditutup di zona merah.

Tercatat, harga saham PT HM Sampoerna Tbk anjlok 10,32 persen ke level Rp565 per lembar, sementara PT Wismilak Inti Makmur Tbk atau WIIM turun lebih dalam sebesar 12,43 persen ke posisi Rp810 per lembar. Kondisi itu sangat kontras dengan perdagangan sehari sebelumnya, ketika harga saham HMSP, WIIM, dan emiten lain melonjak tajam masing-masing 17,76 persen, 16,35 persen, dan belasan persen lainnya.

Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menjelaskan bahwa kenaikan harga yang sempat terjadi lebih dipicu oleh euforia pergantian Menteri Keuangan. Namun secara teknikal, harga saham sudah jenuh beli (overbought) dan bergerak di atas nilai wajar. Akibatnya, pasar melakukan aksi ambil untung (profit taking) sehingga harga saham terkoreksi kembali.

“Risiko penurunan kinerja masih sangat terbuka, seiring mahalnya cukai rokok maupun adanya peredaran rokok ilegal,” ujar Nafan, Selasa (9/9/2025).

Pandangan serupa disampaikan Economist NH Korindo Sekuritas, Ezaridho Ibnutama. Menurutnya, lonjakan harga saham rokok sehari sebelumnya dipengaruhi oleh harapan bahwa kebijakan Purbaya akan lebih longgar dibandingkan Sri Mulyani, yang dikenal agresif dalam menekan konsumsi rokok melalui kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Di tahun terakhir masa jabatannya, Sri Mulyani memang memutuskan tidak menaikkan tarif CHT. Namun, Harga Jual Eceran (HJE) tetap naik rata-rata 9,5 persen. Karena sifat adiktif rokok, konsumsi rokok relatif stabil. “Bahwa kemungkinan pemerintah melihat industri rokok sebagai semacam ATM. Mereka tahu orang tidak akan berhenti merokok meskipun harganya dinaikkan. Karena rokok itu adiktif dan sudah dianggap kebutuhan sehari-hari,” kata Ezaridho.

Meski begitu, kenaikan harga justru mendorong sebagian perokok beralih ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah. Maraknya rokok ilegal inilah yang kemudian memberi tekanan ganda terhadap produsen resmi. “Kalau kita bandingkan dengan makanan atau minuman, orang tidak mungkin berhenti makan atau minum. Yang terjadi adalah mereka rela keluar lebih banyak uang. Tapi di rokok, ada substitusinya, yaitu rokok ilegal,” tambahnya.

Upaya pemberantasan rokok ilegal selama masa kepemimpinan Sri Mulyani dinilai belum maksimal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat penyitaan 285,81 juta batang rokok ilegal sepanjang 2024, jumlah yang tumbuh 32 persen pada periode Januari–Mei 2025. Artinya, pasar rokok ilegal masih subur meski aparat gencar melakukan penindakan.

Situasi ini membuat investor berharap Menteri Keuangan yang baru dapat mengubah pendekatan fiskal. “Euforia sempat muncul dengan harapan akan ada perubahan 180 derajat dari kebijakan sebelumnya. Tapi apakah benar-benar akan terjadi? Itu yang masih dipertanyakan,” jelas Ezaridho.

Dengan tekanan yang datang dari berbagai arah, proyeksi harga saham emiten rokok pun masih abu-abu. Menurut Ezaridho, terlalu banyak sentimen negatif yang menekan sektor ini, mulai dari penurunan kinerja keuangan hingga persaingan ketat dengan rokok ilegal.

“Kalau kita lihat pendapatannya, seperti HMSP, itu top line-nya turun lebih dari 50 persen. Jadi sulit menemukan sentimen positif. Bisa dibilang undervalued, tapi untuk target harga kami tidak bisa memastikan. We do not recommend and we do not look at those stocks for now,” tegasnya.

Untuk mengembalikan optimisme, Ezaridho menilai pemerintah dan industri harus memperbaiki fundamental sektor IHT. Salah satu caranya adalah menurunkan tarif CHT agar produsen resmi lebih kompetitif dibanding produsen ilegal. “Biaya cukai harus diturunkan, sehingga perusahaan tembakau resmi bisa bersaing dengan yang tidak resmi,” ujarnya.

Senada, pakar perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebut PHK di industri rokok tidak semata-mata disebabkan pelemahan ekonomi. Faktor terbesar justru datang dari kebijakan fiskal, khususnya kenaikan tarif CHT yang cenderung terjadi tiap tahun.

Harga produk yang tinggi akibat beban fiskal membuat sebagian masyarakat beralih ke rokok ilegal. Akibatnya, pabrikan resmi kehilangan pangsa pasar dan harus memangkas produksi. Konsekuensi paling nyata dari situasi ini adalah pengurangan tenaga kerja. “Tarif CHT yang terus naik menyebabkan pabrikan kesulitan mempertahankan produksi dan akhirnya harus mengurangi jumlah karyawan,” jelas Fajry.

Menurutnya, efektivitas CHT sebagai instrumen pengendalian konsumsi rokok juga patut dipertanyakan. Alih-alih menekan jumlah perokok, kebijakan ini justru mendorong peralihan konsumsi ke rokok ilegal. “Ini realita yang perlu pemerintah akui. Bagaimana mengimbangi kebutuhan penerimaan negara dengan tujuan pengendalian konsumsi?” tambahnya.

Fajry menilai, ketimbang menaikkan tarif CHT, pemerintah sebaiknya lebih serius memberantas peredaran rokok ilegal. Jika peredaran rokok ilegal berhasil ditekan, jumlah konsumsi rokok secara keseluruhan justru akan berkurang karena harga rokok legal sulit dijangkau kelompok berpendapatan rendah. “Bagi masyarakat yang masih mampu membeli rokok legal, itu akan meningkatkan permintaan produk resmi. Dampaknya, penerimaan cukai juga ikut naik,” katanya.

Meski demikian, langkah konkret pemerintah masih terbatas pada penindakan. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menegaskan bahwa keputusan soal tarif maupun target penerimaan CHT tetap menunggu pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 bersama DPR RI. “Biasanya tarif rokok baru ketahuan setelah UU APBN diketok. Di situ baru jelas tarif dan targetnya,” ujar Nirwala.

Baca juga artikel terkait TEMBAKAU atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana