Menuju konten utama

Cukai Tembakau Naik, GAPPRI: Rokok Bodong Makin Marak

GAPPRI menilai kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal.

Cukai Tembakau Naik, GAPPRI: Rokok Bodong Makin Marak
Pedagang menunjukkan cukai rokok yang di jual di Jakarta, Sabtu (5/11/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/YU

tirto.id - Kementerian Keuangan resmi menaikkan tarif cukai rokok hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan tarif CHT berlaku pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) dengan besaran berbeda-beda di tiap golongan.

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menuturkan, kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal. Sebab kenaikan tarif tersebut menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal.

"Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir, pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10 persen di tahun 2023 dan 2024," tegas Henry Najoan di Jakarta, Rabu (9/11/2022).

Henry merinci salah satu pungutan langsung pemerintah berupa cukai kepada IHT, dalam tiga tahun terakhir terus naik eksesif. Pada 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5 persen. Kemudian Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen.

Sementara itu, pada 2021 tarif cukai dan HJE naik 12,5 persen. Lalu pada 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0 persen, sehingga selama tiga tahun tarif CHT telah naik 48 persen dan HJE naik 60 persen.

"Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya.

Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai. Selama ini, kata Henry, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau.

Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang diproduksi. Sisa 16,4 persen sampai 23,7 persen untuk Pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta CSR.

"Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20 persen atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal!" tegasnya.

Dia juga menyoroti alasan dibalik kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di angka 9,1 persen di 2018. Klaim itu, kata Henry, seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak tahun 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. 3,87 persen pada 2019, turun menjadi 3,81 persen pada 2020 dan turun menjadi 3,15 persen di tahun 2021.

"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ujar Henry.

Henry juga meyakini, kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan rokok ilegal. Karena, gap harga rokok legal dengan ilegal semakin lebar. Jauhnya jarak harga rokok legal dengan ilegal, membuat rokok bodong pun makin marak.

Minta Audiensi ke Presiden Jokowi

GAPPRI mengakui sudah beberapa kali meminta audiensi untuk menyampaikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tetapi belum ada tanggapan.

Dia pun berharap, Jokowi dapat meluangkan waktu untuk berdialog sehingga bisa mendengar langsung kondisi dan fakta industri hasil tembakau (IHT) legal yang banyak mengalami tekanan berbagai kebijakan sebagai rokok heritage yang kontribusinya sangat strategis bagi negara.

"Audiensi ini kami harapkan dapat mewujudkan kebijakan yang berbasis fakta, adil dan kondusif ke depan bagi kelangsungan usaha IHT legal terutama untuk mengurangi ancaman maraknya peredaran rokok ilegal," imbuh Henry.

Merujuk hasil kajian lembaga survei Indodata yang menyebutkan pada 2021 lalu, rokok ilegal telah mencapai 26,38 persen. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, maka potensi cukai yang hilang bisa mencapai Rp53,18 triliun.

"Dengan dinaikkannya kembali tarif cukai, kami berkeyakinan rokok ilegal akan semakin marak dan potential lost negara juga semakin besar dan lebih tragis, dan sumber nafkah pekerja akan hilang dalam ancaman masa resesi global," pungkas Henry.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN CUKAI ROKOK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin