tirto.id - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Pambudy, meminta pengusaha dan komunitas kelapa sawit untuk berhati-hati dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Dia menyebut, ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia terlalu cepat selama beberapa dekade terakhir. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menggeser aspek keberlanjutan (sustainability) lahan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik yang dimiliki Bappenas, luas perkebunan sawit hanya 0,1 juta hektare pada tahun 1950. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi lebih dari 4 juta hektare pada tahun 2000-an awal.
Setelah 20 tahun berselang, luas perkebunan sawit telah mencapai 17 juta hektare. Sementara itu, sejak awal kemerdekaan, total luas daratan Indonesia hanya sekitar kurang lebih 100 juta hektare.
"Jika kita menggunakan data statistik lahan 23,5 juta hektare untuk lahan perkotaan, sementara lahan padi mencapai 70 juta hektare, maka tidak ada lagi lahan tersisa untuk dikembangkan, bahkan untuk mendirikan rumah sekali pun," ungkap Rachmat dalam sambutannya di 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2026 Price Outlook, Nusa Dua, Kamis (13/11/2025).
Rachmat menjelaskan, sawit memang menyediakan pangan sehat, pakan ternak, serat produktif, sumber energi, dan mata pencaharian. Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan, pengelolaan kelapa sawit harus dilakukan secara bijak, bertanggung jawab, serta seimbang antara produktivitas dan keberlanjutan.
"Kami ingin menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengelola sumber daya alamnya berdasarkan prinsip SDGs (Sustainable Development Goals). Tujuan-tujuan ini adalah kompas moral bagi pembangunan masa kini dan masa depan," ucapnya.
Di sisi lain, Kementerian PPN/Bappenas juga meminta komunitas agribisnis kelapa sawit agar lebih adil terhadap petani kecil, pekerja perkebunan, dan keluarga dari pekerja-pekerja tersebut. Rachmat menilai, mereka yang menopang pasokan minyak sawit dunia melalui kerja kerasnya.
Rachmat mengatakan minyak sawit adalah jenis minyak nabati yang paling efisien secara lahan di dunia karena membutuhkan lebih sedikit tanah dan air dibandingkan minyak lainnya. Oleh sebab itu, apabila dikelola secara bertanggung jawab, sawit merupakan solusi komprehensif bagi ketahanan pangan dunia.
Namun, perkebunan sawit di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan, seperti dari aspek pengelolaan lingkungan, keadilan sosial, hingga hambatan perdagangan dan diskriminasi.
"Kita tidak dapat menutup mata bahwa minyak sawit masih menghadapi diskriminasi dan kampanye hitam dari beberapa organisasi dan negara. Narasi ini sering kali mengabaikan fakta ilmiah serta kemajuan nyata yang telah dicapai Indonesia," tegas Rachmat.
Dalam langkah menghadapi tantangan di industri kelapa sawit, Bappenas melakukan beberapa langkah, seperti memperluas jejak digital (traceability), memperbaiki program peremajaan, memperkuat sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), serta mendorong pertumbuhan industri hilir sawit dari bahan bakar penerbangan berkelanjutan hingga bahan biodegradable.
"Pemberdayaan petani kecil adalah inti dari strategi nasional kami. Kami harus membantu mereka memodernisasi akses pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan meningkatkan hasil panen, agar mereka bisa bersaing dan berkembang dalam rantai nilai global," jelasnya.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI), industri sawit di Indonesia memiliki angka yang cukup baik. Pada September 2025, produksi melonjak lebih dari 43 juta ton atau 11 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, di sisi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) dan turunannya, oleokimia, dan biodiesel telah mencapai lebih dari 25 juta ton. Dari sawit, negara mendapatkan devisa sebesar 27,3 miliar Dolar AS atau 40 persen lebih tinggi daripada tahun lalu.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Siti Fatimah
Masuk tirto.id






































