tirto.id - Kerja-kerja perawatan, baik dalam konteks formal maupun informal, berisiko menimbulkan lelah dan jenuh. Apabila dibiarkan, kondisi tersebut bisa berkembang menjadi stres atau bahkan burnout.
Banyak caregiver yang begitu fokus mendidikasikan sebagian besar waktunya untuk orang lain sampai lupa memerhatikan diri sendiri. Padahal, kesehatan tubuh dan ketenangan batin mereka sama-sama berharga dengan orang yang mereka rawat.
Maka dari itu, dukungan profesional dan strategi praktis sangat diperlukan.
Di samping konsultasi langsung dengan pakar kesehatan mental, ada pula beberapa cara praktis yang bisa dilakukan untuk membantu menenangkan diri di tengah padatnya aktivitas merawat. Berikut rekomendasi strategi oleh dr. Leonita Ariesta Putri, Sp.KJ, MSc dari RS AZRA Bogor dan Klinik SOS Medika.
1. Latihan Pernapasan Terarah
Latihan pernapasan sederhana bisa menjadi jalan keluar untuk membuat tubuh lebih relaks dan pikiran juga menjadi tenang.
“Salah satu cara, atur pernapasan. Tarik napas dalam lewat hidung, tahan sejenak, hembuskan perlahan lewat mulut. Ini membantu menenangkan tubuh ketika napas cenderung cepat karena panik atau justru terhambat saat tegang,” saran dr. Leonita.
“Kadang saya menyarankan pasien menggunakan alat bantu sederhana, misalnya sedotan. Bernapas lewat sedotan bisa membantu mereka yang kesulitan mengatur napas sendiri, karena latihan jadi lebih terasa konkrit,” lanjut dokter yang juga bermitra dengan Yayasan Merajut Hati ini.
2. Visualisasi Positif
Menenangkan diri bisa dilakukan dengan strategi kognitif, misalnya dengan visualisasi, membayangkan tempat aman dan nyaman, memori-memori indah yang pernah dijalani atau yang masih diharapkan.
3. Menyalurkan Emosi Melalui Gerakan
Bagi orang yang cenderung kinestetik atau suka bergerak, emosi yang intens dapat disalurkan melalui aktivitas fisik sederhana, misalnya dengan mendorong tembok. Tujuannya agar ketegangan yang menumpuk di dalam tubuh dapat dilepaskan.
4. Melakukan Teknik Grounding
Sementara bagi yang tengah merasa kosong, hampa, atau justru dipenuhi pikiran-pikiran cemas yang overwhelming, dr. Leonita menyarankan teknik grounding.
“Caranya bisa dengan merasakan pijakan kaki, mengaktifkan panca indera untuk benar-benar menyadari apa yang ada di sekitar, dan mengarahkan perhatian ke momen saat ini. Teknik grounding dapat membantu tubuh merasakan keberadaan saat ini, bahwa kita benar-benar ada di sini dan saat ini, bukan di dalam pikiran yang berlarian.”
5. Menjalin Relasi atau Koneksi
Terakhir, menenangkan diri juga bisa dilakukan dengan cara menjalin relasi atau koneksi sosial.
“Sesederhana mengirim teks WhatsApp ke teman untuk menanyakan kesediaan waktu mengobrol sebentar,” kata dr. Leonita.
“Apabila sedang tidak bisa bergantung pada kesediaan orang lain, kita tetap bisa hadir untuk diri sendiri, misalnya dengan merekam voice note, menceritakan isi hati, kemudian mendengarkannya kembali. Proses itu bisa memberi rasa bahwa kita sedang didengarkan, meski oleh diri sendiri, dan pengalaman itu pun sama pentingnya.”
Setiap orang bisa memiliki cara berbeda-beda untuk menenangkan diri, tergantung pada preferensinya masing-masing. Oleh karena itu, dr. Leonita menekankan pentingnya untuk menemukan teknik yang cocok untuk diri sendiri.
Namun begitu, tak kalah penting adalah kemauan untuk mencoba berulang kali dan melakukannya secara konsisten.
Menenangkan diri pada dasarnya adalah sebuah keterampilan, dan seperti keterampilan lain, ia perlu terus diasah agar semakin efektif.
Ketika sadar mengalami stres atau depresi sampai memerlukan bantuan medis, caregiver acap kali dihinggapi perasaan malu atau bersalah.
“Ya, rasa malu atau bersalah itu bisa jadi lahir pola pikir dan budaya yang menempatkan caregiver layaknya superhero: hanya menolong, tidak perlu ditolong. Ketika mereka butuh bantuan dan perawatan, mereka jadi merasa lemah,” kata dr. Leonita.
“Padahal, justru stigma inilah yang berbahaya, seakan-akan caregiver harus selalu kuat dan tak boleh lelah. Nyatanya, caregiver juga manusia yang berhak ditolong.”
Maka dari itu, perspektif tersebut perlu digeser.
“Mencari bantuan bukan berarti egois, lemah, atau ingin kabur dari tugas perawatan atau pengasuhan, tetapi itu adalah kewajiban moral pada diri caregiver itu sendiri sekaligus bentuk tanggung jawab pada orang yang dirawat, agar ia bisa tetap hadir untuk orang yang dirawatnya,” pungkas dr. Leonita.
Dukungan bagi caregiver sangatlah penting agar mereka tetap menjaga kesejahteraan diri. Namun, cara setiap caregiver merespons situasi dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari pendidikan, kondisi ekonomi, hingga keberadaan support system.
Tekanan mental juga sering kali tak bisa dilepaskan dari persoalan struktural yang lebih besar, seperti kemiskinan, pengangguran dan keterbatasan lapangan kerja, hingga akses pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak merata.
Salah satu tragedi memilukan baru-baru ini di Desa Kiangroke, Kabupaten Bandung menunjukkan bagaimana himpitan ekonomi, utang, dan ketiadaan dukungan pasangan dapat mendorong seorang ibu ke kondisi mental ekstrem hingga berujung pada tindakan mengakhiri hidup dan filisida.
Pada bulan Juni lalu, Kemen PPPA meluncurkan Kelompok Kerja (Pokja) Ekonomi Perawatan sebagai tindak lanjut dari Peta Jalan Ekonomi Perawatan Indonesia 2025-2045.
Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat ekosistem kerja perawatan dan perlindungan bagi semua pihak yang berkecimpung di dalamnya, terutama perempuan.
Sembari terus mengawal kinerja Pokja Ekonomi Perawatan, penting bagi kita semua untuk senantiasa mengasah empati dan belajar menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman caregiver.
Alih-alih menghakimi atau mengkritisi, pastikan selalu hadir untuk mereka dan dukunglah mereka untuk mendapatkan pertolongan dari profesional.
Dan bagi teman-teman caregiver yang tengah berjuang, ingatlah bahwa kerja kalian sungguh luar biasa. Maka, jangan pernah merasa bersalah untuk menyayangi diri sendiri dan mencari pertolongan. Kalian tidak sendirian.
Catatan: Depresi itu nyata dan bukanlah persoalan sepele, tetapi dapat diatasi. Jika kalian merasakan tendensi untuk menyakiti diri sendiri/ orang lain atau mengakhiri hidup, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
* Artikel ini merupakan bagian terakhir dari naskah berseri "Sisi Lain Kerja Perawatan" yang telah ditinjau oleh dr. Leonita Ariesti Putri, Sp.KJ, MSc.
Editor: Dhita Koesno
Masuk tirto.id










































