tirto.id - Usai ontran-ontran di Bawaslu pada 22 Mei lalu, media-media kita diramaikan berita-berita soal penangkapan aktor-aktor di balik kericuhan itu. Salah satu yang bikin khalayak heboh adalah reportase majalah Tempo edisi 10-16 Juni 2019. Dengan gamblang awak Tempo membeber nama-nama yang diketahui punya hubungan dengan Prabowo Subianto.
Nama pertama yang terungkap adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus, Soenarko. Majalah Tempo edisi 3-9 Juni menyebut ia ditangkap pada 20 Mei, sehari sebelum demonstrasi di Bawaslu. Mulanya atas sangkaan makar, kemudian kepemilikan senjata api ilegal.
Mengutip Moeldoko, Tempo menyebut soal adanya skenario penembakan terhadap demonstran dan pengerahan massa bayaran. “Skenarionya hampir mirip seperti peristiwa Mei 1998,” katanya.
Kericuhan yang terjadi hampir selama dua hari itu disebutnya dikomando dengan rapi. Ada koordinator lapangan yang memantau dan mengarahkan massa. Ada pula ambulans yang digunakan untuk menyusupkan massa, menyediakan senjata, juga menyembunyikan duit bayaran bagi perusuh.
“Setelah berhasil masuk, mereka langsung memprovokasi massa,” terang Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo sebagaimana dikutip Tempo.
Untuk urusan ini yang tersangkut adalah Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerindra Fauka Noor Farid. Mantan anggota Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis pada 1998 itu diduga sebagai pengatur demonstrasi yang akhirnya ricuh di Bawaslu. Tempo menyebut bahwa orang-orang Fauka terlibat dalam kericuhan itu.
Tentu saja Fauka tak bermain sendirian. Ia disebut mengerahkan sumber daya dari Garda Prabowo—organisasi yang dibikin untuk mendukung Prabowo. Salah satu yang membantu Fauka adalah Abdul Gani Ngabalin, bekas anak buah gembong preman Tanah Abang Rozario Marshal alias Hercules. Sudah jadi rahasia umum bahwa Hercules adalah “binaan” Prabowo.
“Beberapa hari sebelum unjuk rasa, ia ditengarai diperintahkan Fauka bersiap-siap mengikuti demonstrasi, yang kemudian berujung ricuh. [...] Menjelang 22 Mei, Abdul Gani diduga ikut mengerahkan massa dari berbagai daerah, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Maluku. Sebagian diinapkan di daerah sekitar Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur,” tulis Tempo edisi 10-16 Juni 2019.
Sejauh mana keterlibatan dan peran nama-nama itu dalam kerusuhan 22 Mei hingga kini masih didalami polisi. Hubungan antara para mantan tentara itu atau juga politikus dengan ormas dan preman pun masih spekulatif. Tapi jika menilik sejarah politik Indonesia, hubungan macam itu sebenarnya bukanlah isapan jempol belaka.
Hubungan itu bersifat mutualistis. Para politikus pengejar kekuasaan butuh massa sebagai modal politik. Sementara para pentolan ormas dan dedengkot preman memang mediator efektif untuk mengumpulkan dukungan dari beragam kelompok sosial. Mereka juga memanfaatkan hubungan itu untuk memperoleh konsesi dari politikus atau partai yang mereka dukung.
Preseden dari simbiosis ini dapat dirunut sejak Republik Indonesia baru lahir.
Malam Jahanam di Tenabang: Momen-Momen Menentukan Menuju Kerusuhan
Sisa-Sisa Zaman Revolusi
Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, gerombolan jago dan geng-geng kota punya peran penting dalam perang melawan Belanda. Umumnya mereka tergabung dalam laskar-laskar dan berjuang bersama tentara Republik.
Di Jakarta, pentolan preman terkenal yang ikut perang adalah Imam Syafe’i si penguasa Senen. Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009) menyebut Syafe’i bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR—cikal bakal TNI). Ia juga berhasil mengajak pengikutnya yang kebanyakan pencuri dan pencopet jadi tentara dengan membentuk Resimen Perjuangan (hlm. 238).
Setelah perang berakhir Syafe’i jadi tentara profesional berpangkat kapten. Meski begitu ia tetap mempertahankan hubungannya dengan dunia preman dengan membikin geng Cobra. Jaringannya luas, meliputi Senen, Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Rebo, hingga Kebayoran Lama.
Selama masa Sukarno berkuasa, ia terkenal karena keahliannya memobilisasi massa untuk kepentingan politik. Pada 1966 ia bahkan diangkat Sukarno jadi Menteri Urusan Keamanan. Selain memastikan keamanan ibu kota, menghambat demonstrasi mahasiswa masuk pula dalam deskripsi tugasnya.
“Ia ditangkap pada 18 Maret [1966] sebagai komunis, padahal ia bukan komunis, maka dibebaskan beberapa bulan kemudian. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu saksi zaman itu: dia tidak tahu apa-apa tentang politik. Dia hanya setia pada Soekarno,” tulis Tadie (hlm. 244).
Tentara yang sadar politik dan paham benar potensi jejaring preman tentu saja adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. Potensi massa mereka itu dihimpun Nasution dalam Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan terkhusus sayap pemudanya, Pemuda Pancasila.
“Dengan dukungan kalangan jago dan kriminal sebagai basis sosialnya, Nasution dan IPKI turut menciptakan tekanan yang memuncak pada pembubaran Konstituante oleh Sukarno dan mengawali periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965),” tulis indonesianis Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2019: 28).
Bertahan hingga Reformasi
Bentuk simbiosis macam itu terus dipakai hingga Soeharto melengserkan Sukarno. Di masa Orde Baru, aktornya adalah Jenderal Ali Moertopo yang membina para preman dengan membentuk serbaneka organisasi.
Semasa menjabat Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, Ali membentuk Yayasan Fajar Menyingsing yang kemudian jadi organ preman terbesar di Jawa Tengah. Lain itu, ada The Prems di Jakarta dan Massa 33 di Jawa Timur.
Ormas-ormas macam inilah yang kerap ia manfaatkan untuk memuluskan kepentingan politik Orde Baru. Salah satunya adalah dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi Golkar dan menekan oposannya.
“Tugas saya adalah menghancurkan organisasi massa para buruh yang menjadi onderbouw partai agar buruh hanya setia kepada Golongan Karya,” tutur Bathi Mulyono, mantan anggota Fajar Menyingsing, sebagaimana dikutip Tempo edisi 6-12 Oktober 2014.
Jejak ormas dan preman binaan Ali Moertopo juga tercium dalam Peristiwa Malari 1974. Majalah Historia nomor 9/2013 menyebut Ali diduga menunggangi aksi mahasiswa yang kemudian berujung rusuh melalui Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Sebelumnya, pada 1971, organisasi yang diisi beberapa eks-DI/TII rekrutan Ali itu terlibat dalam kampanye Golkar.
Dalam Peristiwa Malari, GUPPI ditengarai menggalang massa dari luar Jakarta untuk ikut berdemo. Ali juga tak segan membayar preman dan tukang becak untuk melakukan perusakan dan penjarahan. Kerusuhan yang terjadi di Senen hingga Harmoni adalah kreasi kelompok Ali ini.
Hubungan tentara dan para binaannya itu nyatanya tak selalu erat. Ada pula masa-masa ketika para preman itu digebuk ABRI. Aktivis eks-DI/TII dan preman-preman itu ganti diburu ketika Jenderal Benny Moerdani naik jadi Panglima ABRI pada 1983. Tapi, toh itu tak menghentikan pembinaan preman generasi baru.
Di masa akhir Orde Baru ada Prabowo dan Wiranto yang diketahui punya hubungan dengan preman atau ormas. Seturut penelusuran Wilson, Prabowo sudah membina Hercules sejak ia berdinas di Timor Timur pada akhir 1980-an. Hercules sendiri mulanya adalah pemuda Timor yang direkrut tentara dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO).
Koneksi inilah yang di kemudian hari dimanfaatkan Hercules untuk menguasai dunia gelap Tanah Abang. Tak hanya itu, Hercules dan gengnya juga kerap dikontrak untuk menekan kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di Jakarta. Meski di hadapan publik Prabowo sempat menyangkal koneksi itu, Hercules nyatanya selalu berada dalam lingkaran Prabowo hingga Reformasi.
Ketika Prabowo menyorongkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama dalam Pilkada Jakarta 2012, Hercules diketahui ikut mendukung kampanyenya.
“Hercules juga muncul dalam pada beberapa acara kampanye Jokowi, dan organisasinya, Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB), dikerahkan untuk mengawasi TPS-TPS atas permintaan Gerindra, partai milik bekas beking militernya, Prabowo Subianto,” tulis Wilson (hlm. 261).
Sementara itu, Wiranto diketahui punya koneksi dengan Rizieq Shihab dan FPI. Pada 2017, di hadapan para wartawan, Wiranto mengaku telah mengenal dekat Rizieq sejak sebelum 2000. Lebih dari sekadar kenal, keduanya mengaku pernah berjuang bersama menjaga negara saat reformasi terjadi.
“Saya kira waktu itu secara faktual kita bersama-sama ikut mengamankan negeri ini supaya tetap selamat menghadapi satu gelombang memburuknya ekonomi dunia disusul satu gerakan reformasi luar biasa,” ujar Wiranto.
Di masa itu Rizieq juga diketahui punya koneksi dengan Kapolda Metro Jaya Mayjen Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya Mayjen Djaja Suparman. Keduanya disebut Robert W. Hefner dalam artikel "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia" sebagai orang yang ikut terlibat mendirikan FPI.
Meski dibantah, Hefner menunjukkan beberapa indikasi. Misalnya atas undangan Wiranto pada November 1999, FPI membantu melakukan mobilisasi masa hingga 100.000 orang yang disebut sebagai Pam Swakarsa untuk melindungi DPR dan pemerintah dari para demonstran yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.
FPI kerap dituding sebagai kelompok yang mendapatkan perlindungan politik dari beberapa elite seperti Wiranto. Kecurigaan ini sering kali muncul karena FPI seakan-akan kebal hukum atas aksi-aksi main hakim sendiri yang pernah mereka lakukan.
Dukungan FPI terhadap Wiranto juga ditunjukkan saat pemilu 2004. Saat itu FPI mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto.
Seperti yang sudah-sudah, para elite politik bekas tentara itu bisa membantah mutualisme tersebut. Tapi peran komplotan ormas dan preman nyatanya tak pernah surut.
Karena itu, tepat belaka jika Ian Wilson menyebut, “Mereka menjadi tantangan bagi demokrasi sekaligus pihak yang paling berhasil memanfaatkan demokrasi” (hlm. xix).
Editor: Ivan Aulia Ahsan