Menuju konten utama

Dunia Magis Para Jago: Jimat dan Kesaktian untuk Tegakkan Kuasa

Kekuatan magis adalah penopang legitimasi kekuasaan para jago. Banyak laku yang harus ditempuh untuk mendapatkannya.

Dunia Magis Para Jago: Jimat dan Kesaktian untuk Tegakkan Kuasa
Rumah si Pitung di Marunda, Jakarta Utara yang kini menjadi bangunan cagar budaya. Pitung adalah jago Betawi abad ke-19 yang dianggap sakti dan memiliki ilmu magis yang mumpuni. Tirto/Andrey Gromico.

tirto.id - Pada dekade 1950-an kawasan Pasar Senen adalah jantungnya kota Jakarta. Kehidupan di sana terus berdenyut selama 24 jam. Di masa itu, Pasar Senen dikenal pula sebagai rendezvous-nya seniman-seniman muda yang sedang membangun karier.

Salah satu seniman yang sering nongkrong di sana kala itu adalah Misbach Yusa Biran. Misbach, yang belakangan dikenal sebagai sineas dan dokumentator film, sangat akrab dengan Pasar Senen sejak remaja. Di sana ia bergaul dengan kalangan seniman muda yang penuh semangat dan idealisme. Banyak kisah-kisah konyol dan haru mengalir dari pergaulannya dengan Anak Senen itu.

Di Pasar Senen pula Misbach berkenalan dengan kawan-kawan dari kalangan preman. Yang ia tahu mereka adalah anggota Geng Cobra dan pengikut dari Imam Sjafei, jagoan Senen yang sangat terkenal. Mereka yang tahu bahwa Misbach bekerja di bidang film lalu memintanya membuat film tentang si bos.

Misbach, sebagaimana Anak Senen lainnya, tahu benar kisah-kisah hebat tentang Bang Pi’i. Karena potensial, Misbach menyanggupi untuk menulis skenarionya.

“Saya coba yakinkan beliau. Banyak alasan kenapa sejarahnya yang unik itu diabadikan,” kenangnya dalam memoar Kenang-kenangan Orang Bandel (2008: 134).

Jago kelahiran Kampung Bangka, Kebayoran Baru itu seakan-akan sudah ditakdirkan jadi orang hebat sejak kecil. Kisah hidupnya semasa kecil hingga jadi jago memang unik. Ayahnya yang bernama Mugeni adalah jago Senen semasa kolonial dan disebut-sebut menguasai ilmu rawa rontek.

Sayang, sang ayah tewas saat Bang Pi’i masih berumur empat tahun. Oleh keluarganya, Bang Pi’i lalu dititipkan kepada Habib Qodir Al-Hadad yang lalu mengajarinya ilmu agama dan bela diri. Selepas itu, Bang Pi’i berkelana untuk memperdalam ilmunya. Edi Syafei, salah satu putra Bang Pi’i, sebagaimana dilaporkan jurnalis Arbi Sumandoyo dari Merdeka, menyebut Bang Pi’i pernah pula nyantri di pesantren Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Dari sang kiai, Bang Pi’i memperoleh ilmu tapak srigunting.

Di umur 16, Bang Pi’i berkelana sampai Kalimantan untuk berguru bela diri. Sepulang dari Kalimantan itulah nama Bang Pi’i mulai dikenal orang sebagai jagoan pilih tanding. Ia kembali ke Senen dan mengalahkan Muhayar, penguasa Senen kala itu, sekaligus murid pembunuh ayahnya. Sejak itu jago-jago Senen dan kalangan preman tunduk padanya.

Tak hanya terkenal sebagai jagoan, Bang Pi’i juga seorang pejuang. Ia memimpin laskar-laskar rakyat bertempur melawan Belanda di front Jakarta pada akhir 1945. Kisah perjuangannya juga banyak dilambari hal-hal ajaib.

Suatu kali, misalnya, ia bisa kabur meski sudah dibelenggu di truk tahanan Belanda. Atau suatu kali ia mengejar jip tentara Belanda dengan menunggang kuda. Selama pengejaran itu ia ditembaki tapi tak terluka sedikit pun.

“Ketika dia dikepung Belanda di sekitar Stasiun Senen pada malam hari, Pi’i hanya molos saja dari pagar kawat, Belanda tidak bisa melihat,” tulis Misbach (hlm. 135).

Cerita-cerita demikian tentu menarik untuk difilmkan. Pada awal 1960-an Misbach berhasil menemui Bang Pi’i dibantu anak buahnya. Kepada Bang Pi’i, Misbach menuturkan hendak mewawancarainya sebagai bahan menyusun skenario. Tapi bukannya senang, Bang Pi’i malah menolak.

“Tapi, siapa sekarang ini orang yang mau percaya. Dia bilang ane ngibul,” kata Bang Pi’i kepada Misbach (hlm. 135).

Di zaman serba modern, orang-orang memang sulit percaya pada cerita-cerita berbau gaib macam itu. Tahu begitu, Bang Pi’i pun ogah dibilang pendusta. Gara-gara itulah film tentang dirinya tak pernah terwujud dan cerita-cerita ajaibnya tenggelam dilamun waktu.

Entah benar entah tidak, hal-hal ajaib yang melingkupi perjalanan hidup jagoan macam Bang Pi’i memang selalu ada. Bahkan ia jadi aspek penting yang selalu mewarnai pribadi seorang jagoan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari kekebalan, tak kasat mata, kemampuan meloloskan diri, atau juga dalam bentuk jimat keberuntungan.

Hal-hal magis seperti dalam kisah Bang Pi’i pun telah terjadi pada kisah-kisah bandit besar sebelum dia. Sebutlah misalnya kisah Ken Angrok yang selalu lolos dari penangkapan berkat bisikan dewata atau si Pitung yang kebal peluru. Sejarawan Eric Hobsbawm bahkan menyebut jagoan atau bandit di belahan dunia mana pun selalu dekat dengan hal-hal magis.

“Para perampok Italia memiliki jimat yang direstui oleh Paus atau Raja, dan menganggap diri mereka di bawah perlindungan perawan suci. [...] Mereka yang berasal dari dari Timur Laut Brazil meminta kepada orang suci lokal. Di dalam beberapa masyarakat dengan perampokan yang terlembagakan secara kuat, seperti di Asia selatan dan tenggara, elemen sihir malah dikembangkan secara lebih tinggi dan signifikansinya mungkin terlihat lebih jelas,” tulis Hobsbawm dalam Bandit Sosial (2000: 44).

Legitimasi Jagoan

Hobsbawm menyebut pula bahwa kesaktian seorang jagoan atau bandit bisa juga berarti simbolik. Ilmu menghilang, misalnya, bisa berarti sebuah ikatan yang kuat antara si jagoan dengan masyarakatnya. Seorang jagoan dianggap berbahaya hanya oleh otoritas negara, sementara di kalangan rakyat biasa ia tak jarang dianggap pahlawan. Si Pitung misalnya.

Di zaman kolonial, markas-markas jagoan atau bandit biasanya terdapat di daerah rural yang agak sulit dijangkau aparat. Motif pakaian yang sederhana dan cara mereka berpakaian sama belaka dengan petani kebanyakan. Maka itu mereka dengan mudah sembunyi atau membaur dengan warga usai beraksi.

“Dan karena tidak ada orang yang mau menyerahkan mereka, serta karena mereka tidak dapat dibedakan dari orang biasa, maka mereka adalah sama dengan tidak kelihatan,” tulis Hobsbawm (hlm. 43).

Selain ilmu tak kasat mata dan kekebalan, seorang jago di Jawa biasa mengenakan jimat atau primbon untuk memperlancar aksinya. Fungsi jimat bisa beragam, mulai dari meningkatkan kekuatan hingga menidurkan penghuni rumah yang akan dirampok. Penggunaan jimat ini sangat biasa di kalangan jago-jago Ommelanden Batavia di akhir abad ke-19. Bahkan saat tertangkap pun mereka tetap percaya jimatnya masih mampu memberi perlindungan.

“Kepemilikan sebuah jimat membuat perampok seringkali berani, begitu pula saat di pengadilan. Sebuah jimat dapat membebaskan pemiliknya dari akibat-akibat sumpah palsu—setidaknya begitulah niatnya. Oleh karena itu, jimat-jimat tersebut tidak diharapkan pihak otoritas,” tulis Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018: 112).

Selain bergantung pada jimat, para jago dan bandit di masa lalu melakukan perhitungan dengan primbon. Fungsinya untuk menentukan waktu dan tempat mana yang sebaiknya dituju untuk datang dan melarikan diri.

Tapi, di atas kegunaan-kegunaan praktis itu, ilmu-ilmu mistik itu adalah sokoguru dari wibawa dan legitimasi kepemimpinan seorang jago. Gampangnya, semakin kuat dan sakti seorang jago, maka dialah yang jadi pemimpin di antara jago-jago lain. Karena itu, selain menguasai silat atau cara-cara bertarung, seorang jago juga wajib memiliki ilmu spiritual.

Hal macam ini misalnya dapat kita lihat dari benggol—sebutan untuk jagoan di daerah Surakarta—bernama Suradi Bledeg. Ia adalah pimpinan benggol terkenal semasa Revolusi yang menguasai daerah lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Ia jadi orang penting di kelompok pemberontak Merapi Merbabu Complex yang menentang kebijakan rasionalisasi dan reorganisasi TNI ala Mohammad Hatta pada akhir 1948.

Julianto Ibrahim dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan (2004) menyebut Suradi Bledeg semasa remaja sudah berkelana untuk belajar bela diri. Ia berguru ke Gunung Kidul, Madiun, hingga Kediri. Selain kekuatan fisik, ia juga menempa kekuatan spiritualnya dengan menjalani semedi di sejumlah makam keramat.

Selain berbekal ilmu-ilmu itu, Suradi memperoleh reputasinya dengan menolong warga perdesaan. Karena dianggap berilmu tinggi, ia menjadi rujukan orang-orang desa untuk berbagai masalah. Dari situlah mula-mula Suradi Bledeg membangun citra dan mengumpulkan pengikut.

“Pesona Suradi tidak hanya pada ilmu yang tinggi, tampang dan suara yang menakutkan tetapi ditambah pula kemampuannya berpidato. ‘Pesona’ Suradi tersebut membuat simpati teman-temannya, sehingga ia dipercaya untuk menjadi benggol atau pemimpin bandit,” tulis Julianto (hlm. 228).

Infografik Jimat Seorang Jagoan

Infografik Jimat Seorang Jagoan. tirto.id/Sabit

Pentingnya Laku

Banyak cara yang ditempuh seorang jago untuk memperoleh kekuatan magis. Dalam kisah Ken Angrok kita mendapati kekuatan magis itu sebagai anugerah dewata. Bisa juga seperti Suradi Bledeg yang rajin bersemedi atau si Pitung dan Bang Pi’i yang mendalaminya di pesantren.

Di Jawa, secara general cara-cara seorang jago memperoleh kesaktian disebut sebagai “laku”. Julianto menyebut puasa selama waktu tertentu atau bersemedi adalah cara yang umum dilakukan. Tapi kekuatan magis sekuat apapun punya batasan dan seorang jago harus tahu cara-cara mengatasinya.

“Seorang bandit harus mengetahui kelemahan-kelemahan ilmunya. Ilmu tersebut dapat hilang kesaktiannya apabila seseorang bandit terkena sabetan benda tertentu, seperti daun pepaya, daun kelapa yang kering (blarak) atau daun kelor,” tulis Julianto (hlm. 225).

Cara lain yang bisa ditempuh seorang jagoan untuk memperoleh kesaktian adalah mendatangi seorang dukun. Sejarawan Robert Cribb bahkan mendapati seorang jago yang merangkap sebagai dukun. Jika seseorang menjadi dukun, ia nantinya bisa membimbing para jago untuk memperoleh kesaktian.

“Adalah hal yang umum, misalnya, seorang jago dan pengikutnya mengunjungi Gunung Jatibening di Banten untuk melakukan ritual demi memperoleh kekebalan. Si pemohon berendam dalam air suci, lalu dibakarlah kemenyan dan dibacakan ayat-ayat Qur’an. Ritual ini dianggap berhasil jika dukun yang memimpin ritual gagal mencincang si pemohon dengan pedang tajam,” tulis Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta (2010: 225).

Tapi urusan jago pergi ke dukun sebenarnya tak terbatas pada soal-soal sihir. Mantra pemikat dan penguat gairah seksual adalah hal lain yang biasa diminta seorang jago dari dukun. Melalui dukun pula seorang jago bisa meminta kekuatan gaib untuk menghancurkan saingannya.

Hal-hal yang berkaitan dengan kemachoan dan kekuatan seksual memang penting untuk menjaga citra dan kesetiaan pengikut. Dan yang tak kalah penting pula bagi seorang jago adalah perhitungan primbon sebelum beraksi.

“Dengan perhitungan yang rumit, seorang jagoan tidak hanya dapat memperkirakan apakah aksinya akan berhasil, namun ia juga tahu kapan dirinya harus berangkat dan dari arah mana ia harus mendatangi sasarannya,” tulis Cribb (hlm. 25).

Sejauh mana signifikansi kekuatan magis itu bagi keberhasilan aksi seorang jago memang sumir. Begitu pula dengan nyata atau tidaknya pengaruh kekuatan macam itu. Tapi, sebagaimana kisah Bang Pi'i, hal-hal magis adalah elemen tak terpisahkan dari kisah para jagoan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan