tirto.id - Pada mulanya adalah celotehan Ahok di Pulau Seribu.
"Bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya. Ya, kan, dibohongi pakai surat Al-Maidah: 51—macam-macam itu," kata Ahok, disambut tawa hadirin. "Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi, Bapak-Ibu, perasaan enggak bisa pilih, nih, karena 'saya takut masuk neraka'—dibodohin itu—enggak apa-apa."
Ucapan itu disebut sebagai penistaan agama, sampai akhirnya ribuan massa berdemonstrasi tanggal 14 Oktober lalu. Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, terjun ke lapangan untuk memimpin langsung aksi di depan Balai Kota Jakarta ini.
"Kalau Ahok tidak diperiksa minggu depan, kami akan balik lagi ke Balai Kota. Kalau perlu kami ke Istana," kata Rizieq dalam orasinya, seperti dikutip Antara.
Ia juga mengancam akan datang dengan jumlah massa lebih besar bila tuntutan pendemo tak dipenuhi. "Kami akan datangkan 10 kali lipat dari ini. Kami tadi sudah komitmen, siap tempur. Kami damai dengan aparat, dengan tentara, tidak boleh ada anarkistis."
Dan ditentukanlah titimangsa untuk mobilisasi massa besar-besaran itu: 4 November.
Sejak jauh-jauh hari, aksi ini digadang-gadang akan menjadi demonstrasi terbesar yang terjadi setelah demonstrasi saat Reformasi 1998. Ajakan datang ke Jakarta beredar lewat pesan-pesan berantai di grup Whatsapp dan media-media sosial. Poster yang bisa diset sebagai foto profil dibuat dengan latar berwarna hijau: AKSI BELA ISLAM 4 NOV 2016. Tak lupa tagar #PenjarakanAhok.
Bahkan, beberapa pihak menyamakannya dengan fenomena “Arab Spring” dan gerakan “Rabia” yang berlangsung di Timur Tengah.
Saat diwawancara Tirto.id pada H-3, Munarman, juru bicara FPI, mengaku sudah ada 130.000 umat muslim dari luar Jakarta yang akan ikut dalam demonstrasi. Jika benar, itu tentu angka yang luar biasa. Jika benar, itu artinya FPI sebagai pencetus demonstrasi berhasil mengamplifikasi isu dan memobilisasi massa. Tapi bagaimana mulanya sampai FPI bisa sampai seperti yang sekarang ini?
Peran Sentral Habib Rizieq
Front Pembela Islam bukanlah organisasi kemarin sore. FPI sudah berkiprah selama 18 tahun di negara ini. Seperti terpacak pada situs resminya fpi.or.id, FPI dideklarasikan secara terbuka di Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, pada 25 Robi’uts Tsani 1419 Hijriyyah atau tanggal 17 Agustus 1998.
FPI didirikan oleh sejumlah ulama, haba’ib, serta aktivis muslim dipelopori seorang tokoh keturunan Hadrami bernama Rizieq Shihab. Meskipun secara formal baru terbentuk pada 17 Agustus 1998, tetapi FPI sebelumnya telah merintis kemunculannya di publik lewat pengajian, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintahan, serta silaturahmi dengan tokoh-tokoh agama terkemuka.
Peran sang habib dalam pembentukan FPI sangatlah sentral. Ia adalah tokoh yang berhasil mengumpulkan 20 sesepuh pendiri FPI, di antaranya KH Fathoni, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail. Tokoh-tokoh ini dikenal sebagai mubalig yang keras sejak jaman Orde Baru.
Habib Idrus Jamalullail dan K.H. Cecep Bustomi pernah meringkuk di penjara Orde Baru pada dekade 1980-an karena dianggap mengkritik kemaksiatan pemerintah Soeharto, seperti dikutip riset SETARA Institute "Wajah Para 'Pembela' Islam."
Rizieq Shihab adalah tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan keturunan Hadrami di Indonesia. Ayahnya, Sayyid Husein, adalah pendiri Gerakan Pandu Arab Indonesia sekaligus seorang agitator perlawanan terhadap Belanda yang terkemuka.
Ia sendiri awalnya dikenal sebagai intelektual Islam yang sempat mengenyam pendidikan di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab). Ia kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan Dirasah Islamiyah, Fakultas Tarbiyah, King Saud University Arab Saudi.
Rizieq sempat pulang dan menjadi mubalig di Jakarta pada 1992. Kemudian, ia mencoba melanjutkan studi di Universitas Antar Bangsa Malaysia, namun tidak selesai karena permasalahan biaya. Akhirnya Rizieq pulang ke Indonesia dan diangkat menjadi Kepala Madrasah Aliyah Jami’at Khair pada 1994. Posisinya di Jami’at Khair itu mulai menandai kiprahnya sebagai mubalig yang keras mengkritik segala perilaku maksiat dan kemungkaran rezim Orde Baru. Reputasi ini dipertahankan Rizieq Shihab sekaligus membantunya mendirikan FPI.
Saat ini, Habib Rizieq Shihab menyandang gelar sebagai Imam Besar FPI. Posisi tersebut disandangnya sejak Musyawarah Nasional FPI III pada 2013 lalu. Sementara itu, pimpinan FPI sekarang dijabat K.H. Ahmad Shabri Lubis, dibantu K.H. Jafar Shidiq selaku Wakil Ketua Umum. Rizieq sendiri saat ini lebih banyak berada di Bogor untuk mengurus Pesantren Agrokultural Markaz Syariah Mega Mendung yang didirikannya beberapa tahun terakhir ini.
Reformasi 1998 dan Pam Swakarsa
FPI adalah salah satu organisasi muslim yang hadir dengan memanfaatkan ruang gerak politik yang lebih luas setelah keruntuhan rezim Orde Baru Soeharto. Secara umum, setelah Reformasi 1998, Indonesia diwarnai maraknya perkembangan berbagai partai, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, dan lain sebagainya. FPI adalah salah satu kelompok yang turut menunggangi gelombang demokratisasi ini.
Dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, disebutkan tujuan awal pembentukan FPI adalah sebagai berikut: (1) adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam Indonesia akibat adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa, (2) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam, serta (3) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di sisi lain, riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik (2000) mengungkapkan pembentukan FPI tak dapat dilepaskan dari tiga peristiwa: Kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa. Ketiga peristiwa ini merupakan lanjutan gelombang demonstrasi Reformasi 1998 yang bergulir sejak Mei 1998.
Studi ISAI menyebut Kerusuhan Ketapang pada November 1998 merupakan debut FPI di Indonesia. Bentrokan di Ketapang diawali intimidasi puluhan preman asal Ambon yang diduga membekingi perjudian di sekitar wilayah Ketapang, Jakarta Pusat. Warga Ketapang yang berang dengan perilaku arogan tersebut langsung memburu para preman tersebut bahkan membunuh beberapa orang.
Rizieq Shihab sendiri sempat hadir saat kerusuhan berlangsung untuk menenangkan massa. Beberapa saat sebelumnya, ia sempat berceramah di salah satu masjid di dekat lokasi, namun acara itu berlangsung aman. Dalam kerusuhan itu, sejumlah anggota FPI turut berada di tengah-tengah massa.
ISAI mencatat FPI juga turut aktif terlibat dalam penggalangan Pam Swakarsa menjelang Sidang Istimewa 10-13 November 1998 yang melantik B.J Habibie sebagai presiden; mengamankan Sidang Umum MPR pada Oktober 1999; serta membantu aparat membendung demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Saat itu, FPI masih bernaung dalam Pam Swakarsa, sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa.
Momentum yang menjadi ajang unjuk kekuatan pertama FPI terjadi pada pertengahan Desember 1999. Saat itu, ribuan anggota FPI datang menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur Sutiyoso. Tuntutan mereka tegas: Sutiyoso harus menutup semua tempat "maksiat" seperti kelab malam, panti pijat, bar, dan diskotek, selama bulan puasa.
Peristiwa penggrudukan FPI sukses membuat Sutiyoso meninjau ulang kebijakan jam operasi tempat-tempat “maksiat” tersebut. Dalam aksi ini, kelompok pimpinan Rizieq telah resmi memanggul nama FPI, lengkap dengan atribut jubah putih, menggunakan ikat kepala atau sorban putih, berselempang kain hijau, dan beberapa di antaranya membawa pentungan atau kayu. Sebuah citra yang hingga saat ini melekat kuat dalam benak masyarakat.
Kedekatan dengan Berbagai Tokoh Politik
FPI kerapkali dituding sebagai kelompok yang mendapatkan perlindungan politik dari beberapa tokoh terkemuka atau bahkan dari aparat keamanan. Kecurigaan ini seringkali muncul karena FPI seakan-akan kebal dari hukum atas aksi-aksi main hakim sendiri yang pernah mereka lakukan.
Terkait hal ini, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004) mencatat FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.
Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998. Sementara kedekatan dengan ABRI/TNI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999.
Beberapa tokoh yang diduga turut memberikan dukungannya terhadap FPI adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman. Riset ISAI mencatat FPI sempat mendatangi Polda Metro Jaya untuk meminta aparat Polda tidak ragu memberantas narkoba.
FPI juga kerap mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi militer, seperti yang pernah dilakukan dengan Mayjen Djaja Suparman di Hotel Milenium Jakarta, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Para petinggi militer dan kepolisian, khususnya di tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa kali menghadiri apel siaga yang dilakukan FPI maupun ormas-ormas lain yang menyandang nama “PAM Swakarsa”.
Dukungan-dukungan kepada kubu-kubu tertentu yang memiliki pengaruh politik merupakan salah satu metode yang digunakan FPI untuk masuk ke dalam politik praktis. Meskipun FPI atau tokoh-tokohnya tidak terjun langsung menjadi politikus, namun kedekatan dengan aktor-aktor politik sangat berguna khususnya untuk melindungi sepak-terjang FPI yang seringkali melanggar hukum.
Contoh dukungan FPI kepada aktor-aktor politik terlihat saat FPI masuk ke dalam unsur-unsur milisi sipil yang dimobilisasi untuk mendukung presiden B.J Habibie menjelang Sidang Umum MPR pada tanggal 14-21 Oktober 1999.
Dalam peristiwa ini, FPI bergabung dengan ormas-ormas Islam seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan lain sebagainya untuk mendukung presiden B.J. Habibie yang dianggap memiliki kesamaan ideologis dengan mereka.
Dukungan FPI terhadap figur politik nasional juga ditunjukkan saat pemilu 2004. Saat itu FPI kembali mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto.
Wiranto kala itu memang tak berhasil menang melawan Yudhoyono, tapi FPI sendiri terus berkembang. Mereka mampu menjadi amplifier isu sekaligus mengerahkan massa. Termasuk pada hari ini, 4 November 2016 ini.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani