tirto.id - Abdul Haris Nasution tak hanya dikenal sebagai ahli militer. Faktanya, dia juga lebih dari sekadar ahli politik. Waktu diskors usai Peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution nyebur ke politik. Waktu tentara masih boleh memilih dalam Pemilu 1955, Nasution yang sedang diskors itu sempat berpartai. Bersama Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Azis Saleh, Nasution ikut mendirikan partai bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Partai ini seolah berharap akan dicoblos oleh para bekas pejuang dan prajurit TNI. Ternyata IPKI tidak jaya pada 1955, kalah oleh Nahdatul Ulama (NU)—yang pemenang nomor 3—dan Partai Komunis Indonesia (PKI)—yang nomor 4.Meski begitu IPKI masih punya wakil di Parlemen, salah satunya HC Princen.
Setelah masa skors Nasution selesai dan dipanggil kembali oleh Presiden Sukarno pada akhir 1955, Nasution menduduki jabatannya yang semula: Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). IPKI masih eksis sewaktu Nasution jadi perwira aktif lagi di staf umum Angkatan Darat (SUAD).
Nasution, menurut Loren Ryter dalam makalahnya di jurnal Indonesia (nomor 66, Oktober 1998), "Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s New Order", disebut-sebut sebagai orang yang sukses melobi Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa-masa itu, kaum sayap kiri yang sedari awal revolusi sudah jadi musuh Nasution sedang kuat-kuatnya. PKI juga punya underbow Pemuda Rakyat (PR). Namun tentu bukan Nasution kalau hanya diam dan sekadar menggerutu.
Masih di tahun 1959, seperti dicatat Ryter, Nasution ikut mendirikan organisasi pemuda untuk mengimbangi PR. Organisasi pemuda yang berada di bawah IPKI itu diberi nama Pemuda Pancasila (PP). Hari lahirnya pun bukan sembarang tanggal, yakni 28 Oktober 1959, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-31.
Banyak anak tentara yang ikut masuk ke Pemuda Pancasila, sebab IPKI juga berisi banyak mantan pejuang atau tentara. Tak hanya anak kolong yang masuk ke PP, kawan-kawan mereka pun juga ikut serta. Makin banyak tentu makin baik. Sebab sebelum 1965, PR cukup ditakuti, maka Pemuda Pancasila harus kuat.
Sebelum 1965, Pemuda Pancasila belum begitu banyak disebut dalam buku-buku sejarah. Namun setelah G30S 1965, Pemuda Pancasila mulai disebut-sebut. Bahkan harum namanya bagi Orde Baru. Pemuda Pancasila, bahkan lebih kuat pamornya ketimbang lawannya di era Sukarno, Pemuda Rakyat.
Padahal, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia1945-1950 (2016:122), Pemuda Rakyat punya ikatan sejarah dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), kelompok pemuda yang punya andil besar dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Wakil Presiden Sudharmono konon pernah ikut Pesindo waktu masih muda.
Di Sumatra utara, seperti ditulis Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia1945-1967 (1986:383), Pemuda Pancasila bersama kelompok Islam dan Kristen, juga SOKSI yang dikontrol tentara “melancarkan pembantaian” terhadap orang-orang yang disebut komunis. Anwar Congo, laki-laki yang mengaku pembantai dalam film Senyap dan Jagal yang dibuat Joshua Oppenheimer, juga terkait dengan Pemuda Pancasila.
Ian Douglas Wilson, dalam buku terbarunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018:97-98), menyebut Pemuda Pancasila sebagai organisasi besar dengan jangkauan nasional. Di masa-masa ada operasi Penembakan Misterius (Petrus), preman yang ada di dalamnya “nyaris tak tersentuh.” Wilson juga menyebut banyak preman berbondong masuk ke Pemuda Pancasila maupun Pemuda Panca Marga—yang dianggap organisasi pemuda nasionalis dan: (yang bikin menarik) disokong tentara.
Pemuda Pancasila selalu diingat dengan seragam mereka merah loreng. Beberapa dekade terakhir, Pemuda Pancasila identik juga dengan Yapto Soerjosoemarno. Dia adik dari aktris Marini dan anak dari Mayor Jenderal Soerjosoemarno (keraton Mangkunegara) dan Dolly Zegerius (Belanda-Yahudi). Sedari muda, Yapto adalah sosok yang cukup disegani pemuda—termasuk anak kolong—dan para jago.
Loren Ryter, dalam tulisannya, "Geng dan Negara Orde Baru 1: Preman dari Markas Tentara" mencatat: Yapto sering terlibat perkelahian, bahkan dia pernah dituduh membunuh orang di Jalan Surabaya. Di masa muda dia adalah pemimpin geng Siliwangi Boys Club yang ditakuti dan dikenal sebagai Geng 234-SC, karena mereka para perokok Djie Sam Soe.
“Para ketua dan anggota Pemuda Pancasila menganggapnya pintar karena ia adalah keturunan Yahudi,” tulis Ryter..
Di masa orde baru masih jaya, menurut Wilson (2018:100) Pemuda Pancasila bersama Pemuda Panca Marga (PPM) dan Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) “dikontrak untuk mengintimidasi dan menyerang lawan-lawan dan pengkritik pemerintah.” Setelah pengunduran diri daripada Presiden Soeharto, ada anggota-anggota Pemuda Pancasila yang terlibat dalam Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) menjelang Sidang Istimewa MPR pada November 1998.
Wilson juga mencatat, baik PPM dan PP, "bertahan kuat dalam industri kehidupan malam di Jakarta.” Mereka juga bergerak dalam masalah kepemilikan tanah. “Pemuda Pancasila secara reguler bekerja atas nama taipan properti seperti Tommy Winata untuk mengosongkan tanah warga secara paksa dan kerjasama serupa juga berlanjut pasca orde baru,” tulis Wilson (2018:221-222).
Pemuda Pancasila yang tumbuh di zaman Yapto ini tentu tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Nasution. Seperti mau Nasution, organisasi ini tetaplah organisasi yang didirikan Nasution pada hari Pemuda ke-31 1959, masih tetap dan selalu anti-komunis.
Editor: Nuran Wibisono