Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Siapa Bapak Pramuka Indonesia? Simak Sejarah & Profil Sosoknya

Siapa nama Bapak Pramuka Indonesia? Simak jawaban sekaligus profil sosoknya serta sejarahnya di artikel ini.

Siapa Bapak Pramuka Indonesia? Simak Sejarah & Profil Sosoknya
Sejumlah pelajar mengikuti sosialisasi keselamatan berlalu lintas di SMKN 29 Jakarta, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (5/1/2022).ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.

tirto.id - Siapa nama Bapak Pramuka Indonesia? Jawabannya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang sekaligus raja Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat pada masa kemerdekaan, revolusi fisik, hingga Orde Baru. Simak profil Bapak Pramuka dan Gerakan Pandu Indonesia Sultan HB IX.

Gerakan Pramuka untuk pertamakali diperkenalkan secara resmi di Jakarta pada 14 Agustus 1961. Agenda ini sekaligus menjadi momentum penetapan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional yang pertama.

Sultan HB IX adalah Raja Kasultanan Yogyakarta yang berperan besar selama perang mempertahankan kemerdekaan RI atau masa revolusi fisik (1945-1949). Saat Jakarta darurat pada 1946, Sultan menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota RI sementara. Hampir seluruh biaya selama pusat pemerintahan RI berada di Yogyakarta ditanggung oleh keraton.

Dalam sejarah kepramukaan, Sultan HB IX berperan penting. Ia adalah Wakil Ketua Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas) Pramuka yang dipimpin Presiden Sukarno. Sultan HB IX menjabat pula sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pertama sejak 1961 sampai 4 periode selanjutnya hingga 1974, lalu dikukuhkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia pada 1981.

Siapa Bapak Pramuka Indonesia? Jawabannya: Sultan HB IX

Gerakan Kepanduan merupakan cikal-bakal Pramuka dan sudah dikenal di tanah air sejak awal abad ke-20. Sultan HB IX merupakan orang yang pertama kali mencetuskan nama Pramuka, terinspirasi dari kata Poromuko atau “pasukan terdepan dalam perang” dalam istilah kerajaan.

Istilah Pramuka yang diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX kemudian diejawantahkan menjadi singkatan dari Praja Muda Karana yang berarti “Jiwa Muda yang Suka Berkarya”.

Sultan HB IX sudah aktif sebagai anggota gerakan Kepanduan sejak muda. Saat itu, cukup banyak gerakan Kepanduan di Indonesia yang biasanya dikelola oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan atau perhimpunan pemuda.

HL NGAYOGYAKARTA

Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Foto/istimewa

Beberapa laskar Kepanduan perintis yang hadir di tanah air sejak 1916 hingga pertengahan dekade 1920-an di antaranya adalah Javaansche Padvinder Organisatie (JPO), Hizbul Wahton (HW), juga Jong Java Padvinderij (JJP), Nationale Padvinders (NP), Nationaal Indonesische Padvinderij (NATIPIJ), serta Pandoe Pemoeda Sumatra (PPS).

Pada 1926, lahir Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO) sebagai peleburan dua organisasi Kepanduan yakni Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) dan Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO).

Namun, gerakan Kepanduan semakin surut lantaran dinamika yang terjadi di tanah air, dari diambil-alihnya Indonesia dari Belanda oleh Jepang pada 1942-1945, kemudian masa kemerdekaan dan revolusi fisik (1945-1949), hingga belum stabilnya situasi keamanan dalam negeri sejak tahun 1950.

Maka dari itu, pemerintah berupaya untuk membenahi organisasi kepramukaan. Tahun 1960, tingkat Kepanduan Sultan HB IX sudah mencapai Pandu Agung atau Pemimpin Kepanduan, sehingga ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas) Pramuka bersama Brigjen TNI Dr. A. Aziz Saleh. Ketua Mapinas adalah Presiden Sukarno.

Tanggal 14 Agustus 1961, Sultan HB IX dipercaya menempati posisi tertinggi sebagai Ketua Kwartir Nasional, bahkan hingga 4 periode yakni masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, dan 1970-1974.

Dikutip dari buku Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan (1996), peran Raja Yogyakarta yang nantinya menjadi Wakil Presiden RI ini dalam membangun Pramuka dari masa transisi dari Kepanduan sangat besar.

Pramuka Indonesia bahkan dikenal hingga ke luar negeri. Pada 1973, Sultan HB IX menerima penghargaan tertinggi dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) atau Organisasi Kepanduan Internasional, yakni Bronze Wolf Award.

Atas jasa dan sumbangsihnya bagi kancah Kepanduan nasional, Sultan HB IX dikukuhkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia dalam Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka 1988 yang digelar di Dili, Timor-Timur, yang kala itu menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

infografik sejarah pramuka indonesia

infografik sejarah pramuka indonesia

Profil Sultan HB IX Sebelum Jadi Raja Yogyakarta

Sebelum menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dikenal dengan nama Raden Mas Dorodjatun. Sosok kelahiran tanggal 12 April 1912 ini adalah salah seorang putra Raja Yogyakarta yang bertakhta saat itu, Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939).

Raden Mas Dorodjatun tidak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan istana meskipun ia adalah seorang pangeran. Ayahnya, Sultan HB VIII, menitipkan Dorodjatun kepada keluarga Mulder, keluarga Eropa yang tinggal di Yogyakarta pada masa kolonial Hindia Belanda kala itu.

Kepada keluarga Mulder, Sultan HB VIII meminta agar tidak mengistimewakan Dorodjatun. Anggota keluarga Mulder menerima kehadiran Dorodjatun di tengah-tengah mereka, bahkan punya panggilan kesayangan, yakni Henkie.

Tujuan Sultan HB VIII melakukan hal ini adalah supaya anaknya mengenal budaya keseharian dari bangsa lain. Tak hanya itu, Sultan HB VIII juga ingin agar Dorodjatun terbiasa hidup mandiri meskipun sebenarnya ia adalah anggota keluarga inti kerajaan, bahkan calon penerus takhta.

Dorodjatun menempuh pendidikan awal di Yogyakarta, dari Frobel School (Taman Kanak-kanak), Eerste Europe Lagere School B, lalu ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan menengah di Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang dan Bandung.

Belum sempat lulus dari Bandung, Dorodjatun dikirim ayahnya ke Belanda untuk beralih pendidikan ke Universitas Leiden. Dorodjatun mengambil jurusan ilmu hukum tata negara di perguruan tinggi ini. Ia juga bersahabat dengan Putri Juliana yang nantinya menjadi Ratu Belanda.

Presiden Sukarno dan Sultan Hamengkubuwono IX

Presiden Sukarno dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. (FOTO/http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/)

Kendati sangat mengenal budaya Barat dan mengenyam pendidikan Eropa, namun Dorodjatun tetap tidak kehilangan akarnya sebagai orang Jawa.

“Saya memang berpendidikan Barat, tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa,” kata Dorodjatun atau Sultan HB IX, dikutip dari Pisowanan Ageng Sri Sultan Hamengku Buwono X: Sebuah Percakapan (1996) karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto.

Dorodjatun pulang ke Jawa pada 1939 lantaran tanda-tanda bakal meletusnya Perang Dunia II mulai terlihat. Setibanya di tanah air, Sultan HB VIII menyerahkan Keris Kyai Joko Piturun kepada Dorodjatun. Itu artinya, Dorodjatun telah dipilih oleh ayahnya sebagai putra mahkota, calon penerus takhta Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sultan HB VIII wafat pada 22 Oktober 1939. Dorodjatun selaku putra mahkota pun naik takhta, meskipun sempat terjadi tarik-ulur yang alot dengan pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tanggal 18 Maret 1940, Dorodjatun dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono IX.

Baca juga artikel terkait PRAMUKA atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Iswara N Raditya