tirto.id - Dalam peristiwa agresi militer Belanda II, ibukota RI dipindahkan dari Yogyakarta ke Bukittinggi, berikut sejarah selengkapnya.
Sejarah mencatat, ibu kota RI pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946. Pusat pemerintahan negara juga sempat dialihkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat, lantaran Agresi Militer Belanda II yang menyasar Yogyakarta pada 1948.
Saat ini, sebagian kalangan menganggap Jakarta sudah kurang layak untuk dijadikan pusat pemerintahan. Berbagai masalah akut macam banjir, kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, transportasi, tata kota, dan lain-lain menjadi alasan mengapa sebaiknya Jakarta dipensiunkan dari status ibu kota.
Ada beberapa tempat di Kalimantan yang menjadi kandidat terkuat calon ibu kota baru RI nanti, dari Pontianak, Kayong Utara, Palangkaraya, Gunung Mas, Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, hingga Penajem Paser Utara.
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, bahkan sudah memastikan bahwa ibu kota baru RI nanti memang direncanakan di Borneo, demi pemerataan, kendati belum diungkapkan lebih rinci.
“Pulaunya Kalimantan, provinsinya nanti,” ujar Bambang dalam acara Penyusunan Langkah Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Jawa-Bali 2020-2024 di Surabaya, Senin, (29/7/2019) lalu.
“Kami ingin rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga pusat (ibu) kota baiknya di tengah. Jakarta ke Jayapura terbang lima jam, karenanya kalau kita ingin perhatikan Indonesia timur, salah satunya dengan menengahkan ibukotanya,” imbuhnya.
Jakarta Warisan Kolonial
Status Jakarta sebagai ibu kota RI sejatinya karena peninggalan kolonial semata. Hal ini diungkapkan peneliti Pusat Studi Bencana UGM, Sutikno, dalam makalah bertajuk “Perpindahan Ibu Kota Negara: Suatu Keharusan Atau Wacana?” (2007) yang tersedia di website Kemendikbud.
Menurut Sutikno, para pemimpin bangsa saat itu memilih Jakarta sebagai ibu kota RI karena tersedianya banyak sekali fasilitas warisan Belanda, termasuk Gedung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kemudian dijadikan sebagai Istana Negara. Maklum, pada masa kolonial, kota ini juga menjadi pusat pemerintahan, bernama Batavia.
Sutikno berpendapat, hal ini masuk akal karena setelah dijajah selama lebih dari tiga abad, Indonesia yang tiba-tiba memproklamirkan kemerdekaan belum memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun bangunan-bangunan penting dan fasilitas penunjang lainnya.
Meskipun begitu, Jakarta justru sempat tak lama menyandang status sebagai ibu kota RI sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Hanya beberapa pekan setelah Indonesia merdeka, Belanda datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu setelah mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Pada 29 September 1945, tentara Belanda alias NICA bahkan sudah memasuki Jakarta. Di sisi lain, masih ada sisa-sisa tentara Jepang yang belum ditarik. Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah petinggi pemerintahan RI lainnya mencoba bertahan sebisa mungkin di ibu kota.
Ibu Kota RI Pindah
Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkubuwana IX, pada 2 Januari 1946 mengirimkan kurir ke Jakarta untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Sukarno. Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, pemimpin kerajaan lainnya di Yogyakarta yakni Kadipaten Pakualaman, menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara RI.
Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Baru II (2009) karya Wiharyanto A.K., tawaran ini disambut baik oleh Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi negara. Persiapan kepindahan ibu kota pun langsung dirembuk dalam sidang kabinet tertutup.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak,” ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Rencana pun disusun dengan cermat mengingat Jakarta sangat rawan. Malam hari tanggal 3 Januari 1946, di jalur kereta api yang terletak di belakang kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta Pusat, tiba sebuah gerbong dengan ditarik lokomotif secara perlahan. Lampu kereta itu dimatikan agar tidak memantik curiga.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kenang Bung Karno.
Dimulailah perjalanan menegangkan itu. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu tiba di Yogyakarta dengan selamat. Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta.
Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Sukarno dan kawan-kawan. Dan, sejak saat itu, ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Kraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
Yogyakarta Darurat Perang
Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 membuat Yogyakarta terguncang. Sukarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.
Ibu kota Indonesia pun pindah lagi, kali ini ke Bukittinggi, berkat peran Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan yang membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Jadi dalam peristiwa agresi militer Belanda II, ibukota RI dipindahkan dari Yogyakarta ke Bukittinggi.
Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menyebut bahwa PDRI memainkan peranan penting dan menjamin perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan sah yang diakui oleh kaum republik di seluruh Indonesia.
Angkatan perang RI membalas lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk merebut Yogyakarta demi membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. PBB dan beberapa negara pun mendesak kepada Belanda untuk berdamai.
Atas desakan itu, Sukarno dan kawan-kawan akhirnya dibebaskan dan dipulangkan Yogyakarta. Demikian pula PDRI yang kemudian dibubarkan karena pusat pemerintahan RI di Yogyakarta sudah mulai pulih sejak 6 Juli 1949.
Kedudukan ibu kota di Yogyakarta berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949 sesuai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu, terhitung tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota Indonesia dikembalikan ke Jakarta hingga saat ini.
Dampak Agresi Militer Belanda II
Dikutip dari Mohamad Roem dalam Tahta untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan HB IX (1982: 87-88), Soekarno melakukan sidang darurat dan menghasilkan keputusan yaitu Presiden bersama kabinet tetap berada di Yogyakarta.
Apabila Presiden ditangkap maka Menteri Kemakmuran Syafuddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat, terakhir bagi seluruh rakyat yang berada di Yogyakarta agar tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan.
Setelah sidang selesai, Syafruddin pun dikirimi telegram dari Yogyakarta. Berikut isi telegram kepada Syafruddin:
“Mandat Presiden kepada Sjafruddin Prawiranegara. Kami, Presiden Republik Indonesia, dengan ini menerangkan, Ibu Kota Yogyakarta telah diserang pada tanggal 19-12-1948 pukul enam pagi. Seandainya Pemerintah tidak dapat lagi melakukan fungsinya, kami memberikan kekuasaan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk mendirikan PemerintahanDarurat di Sumatra.”
Situasi yang mendesak dan ditawannya pemerintah RI di Yogyakarta langsung disikapi Syafruddin dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Pemerintahan tersebut diketuai oleh dirinya dan dilengkapi dengan kabinet-kabinetnya.
Terbentuknya pemerintah darurat ini secara resmi menjadi penanggungjawab atas jalannya pemerintahan untuk sementara waktu hingga kondisi kembali kondusif.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz
Penyelaras: Yulaika Ramadhani