tirto.id - Tanggal 20 Juni 1985, usai menunaikan Salat Id di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Daan Jahja tiba-tiba tersentak kesakitan lalu terkulai. Rupanya ia terkena serangan jantung. Tepat pada usia 60, di hari pertama Lebaran atau Idul Fitri 1405 Hijriah, mantan Gubernur Militer Jakarta dan Pangdam Siliwangi itu berpulang ke Rahmatullah.
Daan Jahja punya rekam-jejak yang heroik sejak pra-kemerdekaan Indonesia dan era-era setelahnya, terutama selama masa kepemimpinan Presiden Sukarno. Karier politik dan militernya pun berjalan cukup mulus sebelum ia memutuskan berhenti dari panggung nasional seiring pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto.
Putra Minang, Berjuang di Ibukota
Daan Jahja dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat, tanggal 5 Januari 1925. Ayahnya, Jahja Datoek Kajo, adalah tokoh terkemuka pada era pergerakan nasional dan pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat atau semacam DPR di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang dibentuk pada 1917) mewakili masyarakat Minangkabau.
Jahja Datoek Kajo adalah seorang anggota Volksraad yang sangat vokal dan selalu lantang berbicara di forum dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahkan sebelum Sumpah Pemuda dicetuskan pada 1928. Orasinya disampaikan dengan berapi-api dan tak jarang membuat panas kuping orang Belanda (Azizah Etek, dkk., Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volkstraad, 2008).
Perjuangan Jahja Datoek Kajo dilanjutkan oleh sang putra, Daan Jahja, kendati berkiprah di masa yang berbeda. Daan Jahja mulai terlibat dalam pergerakan kebangsaan saat Belanda sudah hengkang dari bumi Indonesia karena kalah perang dan digantikan oleh Jepang sejak tahun 1942.
Ketika giliran Jepang mulai menunjukkan sinyal kekalahan dalam perseteruan melawan pasukan Sekutu di Perang Asia Timur Raya yang menjadi rangkaian Perang Dunia II, Daan Jahja semakin aktif terlibat dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Daan Jahja yang kala itu masih muda, baru memasuki umur 20 tahun-an, bergabung dengan salah satu laskar pemuda di Jakarta yang dikenal dengan nama Kelompok Prapatan 10. Ini adalah satu dari dua barisan pejuang muda yang paling menonjol selain Kelompok Menteng 31.
Jika Kelompok Menteng 31 diawaki oleh para pemuda didikan Tan Malaka, Kelompok Prapatan 10 beranggotakan mereka yang dibina oleh Sutan Sjahrir (Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir, True Democrat, Fighter for Humanity, 1909-1966, 2010:49). Dua laskar ini sama-sama menuntut kepada Sukarno dan Mohammad Hatta untuk segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanpa harus menunggu persetujuan dari Jepang.
Anak Muda Pengawal Kemerdekaan
Sebagai pengagum Sjahir, Daan Jahja kerap disebut-sebut sebagai simpatisan Partai Sosialis Indonesia atau PSI (David T. Hill, Jurnalisme dan Politik di Indonesia, 2011:47). PSI adalah partai politik beraliran kiri yang dibentuk Sjahir pada 1948 atau ketika Daan Jahja menjabat sebagai Gubernur Militer Jakarta sekaligus Pangdam Siliwangi.
Daan Jahja yang ditunjuk sebagai pemimpin Kelompok Prapatan 10 berperan cukup krusial dalam upaya persiapan kemerdekaan Indonesia, termasuk ketika peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada 16 Agustus 1945 dini hari. Peristiwa monumental inilah yang menjadi pemicu terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia lebih cepat tanpa seizin Jepang.
Kelompok Prapatan 10 ditugaskan untuk menjemput Hatta, sedangkan Kelompok Menteng 31 bertugas membawa Sukarno. Dua tokoh berpengaruh itu selanjutnya dibawa ke Rengasdengklok, suatu daerah di Karawang yang berlokasi di luar ibukota (Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito, Badan Perwakilan Peladjar-Peladjar Indonesia: Cikini 71, 1990:12).
Berkat andil para pemuda dengan nyali tinggi itu, termasuk Daan Jahja, Sukarno dan Hatta akhirnya menyatakan kemerdekaan atas nama seluruh rakyat Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Daan Jahja juga turut ambil bagian dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, sebagai peringatan sebulan kemerdekaan. Ia adalah orang yang mengemudikan mobil penjemput Presiden Sukarno dari Jalan Pegangsaan Timur 56 menuju Lapangan Ikada di selatan Gambir (Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia, 2008: 88).
Pemimpin Darurat Jakarta
Tahun 1948, Presiden Sukarno menunjuk Daan Jahja untuk menempati posisi penting di ibukota, yaitu sebagai Gubernur Militer Jakarta. Disebut gubernur militer karena pada saat itu Jakarta sedang dalam kondisi darurat seiring kembalinya Belanda, dengan wajah baru bernama NICA, ke Indonesia bersama pasukan Sekutu sejak 1946.
Daan Jahja adalah satu-satunya orang yang mengampu jabatan sebagai gubernur militer dalam sejarah pemerintahan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia. Ia menjalani amanah tersebut hingga tahun 1950 setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara penuh pada akhir Desember 1949.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda menjadi salah satu hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilangsungkan di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Daan Jahja turut hadir langsung dalam perundingan yang sangat menentukan nasib Indonesia tersebut (K.M.L. Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Persetujuan Roem-Royen dan KMB, 1987:250).
Semasa menjabat sebagai Gubernur Militer Jakarta meskipun hanya dalam tempo kurang dari 3 tahun, Daan Jahja berhasil menyelesaikan masalah administratif pemerintahan di wilayah ibukota tersebut yang sebelumnya diatur oleh Belanda.
Daan Jahja punya peran sentral pula dalam penumpasan aksi Kapten Westerling. Orang ini adalah komandan pasukan Belanda yang memimpin kekacauan di beberapa wilayah karena menolak penyerahan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda (Rosihan Anwar, In Memoriam: Mengenang yang Wafat, 2002: 97).
Sejak menjabat gubernur itulah, Daan Jahja juga bertindak sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Siliwangi dengan pangkat Letnan Kolonel. Dalam perannya itu, seperti yang dikisahkan Julius Pour (2009:33) melalui buku Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer, Daan Jahja pernah tertangkap tentara Belanda.
Pengiring Runtuhnya Orde Lama
Daan Jahja juga terlibat penting ketika jelang terjadinya Agresi Militer Belanda II yang dimulai sejak 19 Desember 1948. Kepada Hatta yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan, ia mengusulkan agar pemerintah segera menyiapkan pangkalan cadangan di tempat yang lebih luas.
Menurut Daan Jahja, pangkalan cadangan sangat diperlukan manakala Belanda benar-benar melancarkan agresi militernya. Dengan adanya pangkalan cadangan dengan tempat yang lebih luas tersebut, pemerintah dan pasukan republik bisa lebih leluasa bergerak untuk menghadapi Belanda dengan taktik perang gerilya.
Lokasi yang diusulkan oleh Daan Jahja adalah Bukit Tinggi, Sumatera Barat, karena ruang gerak di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, semakin terbatas. Saran Daan Jahja tersebut diterima oleh Hatta (Dewi A. Rais Abin, Hidayat: Father, Friend, and a Gentlemen, 2017: 149).
Prediksi Daan Jahja ternyata tidak meleset. Nantinya, Bukit Tinggi menjadi lokasi didirikannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika para pemimpin pemerintah pusat, termasuk Sukarno dan Hatta, ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948.
Setelah jabatannya sebagai Gubernur Militer berakhir pada 1950, Daan Jahja diangkat sebagai Sekretaris Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang RI. Ia juga sempat menjadi atase militer Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo, Mesir.
Setelah pensiun dari ketentaraan sejak 1966, Daan Jahja beralih terjun ke ranah politik. Mengikuti jejak ayahnya yang pernah menjadi anggota Volksraad pada era kolonial, ia duduk sebagai anggota DPR pada periode 1967-1969 (Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia, 1970:476).
Menjadi wakil rakyat di DPR rupanya merupakan karier politiknya yang terakhir. Daan Jahja memutuskan mundur dari pentas perpolitikan nasional seiring runtuhnya rezim Orde Lama yang ternyata tidak kekal di bawah pimpinan Presiden Soekarno, digusur oleh Soeharto yang membawa rezim anyar bernama Orde Baru.
Hingga akhirnya, Daan Jahja, Gubernur Militer Jakarta pertama dan satu-satunya itu, menutup mata untuk selama-lamanya pada 20 Juni 1985, tepat hari ini 34 tahun lalu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 Juni 2017 dengan judul "Heroisme Gubernur Jakarta yang Wafat Usai Salat Idul Fitri". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Ivan Aulia Ahsan