tirto.id - Penobatan raja ke-6 Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) VI, pada pertengahan tahun 1855 berlangsung dalam suasana muram. Betapa tidak? Sebagian keluarga istana masih berduka. Raja sebelumnya, Sultan HB V, ditemukan tewas, diduga kuat telah ditikam sampai mati oleh selirnya sendiri. Peristiwa tragis itu terjadi pada 5 Juni 1855.
Idealnya, yang berhak naik tahta menggantikan sang mendiang adalah Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad. Dialah putra Sultan HB V yang dilahirkan permaisuri Kanjeng Ratu Sekar Kedaton. Namun saat itu, sang putra masih jabang bayi. Ia lahir 13 hari setelah ayahnya dibunuh.
Situasi kian pelik karena Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad dan ibundanya beserta kerabat dan para abdi dalem yang masih setia justru terusir dari kraton. Mereka dianggap membangkang karena Kanjeng Ratu Sekar Kedaton terus mempersoalkan kematian suaminya, almarhum Sultan HB V.
Seolah untuk menghapus trah Sultan HB V serta memperkecil kemungkinan terjadinya “pembalasan” di kemudian hari, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan bayinya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Keduanya diasingkan hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana (Jurnal Tabea, “Makam Sekar Kedaton”, Edisi 3, 2010, terbitan Manado).
Orang yang akhirnya menjadi penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selanjutnya adalah Gusti Raden Mas Mustojo yang tidak lain adalah adik kandung mendiang Sultan HB V. Bergelar Sultan HB VI, ia dikukuhkan sebagai raja baru Yogyakarta, menduduki singgasana setelah kematian tragis sang kakak.
Dugaan Kudeta Terencana
Gusti Raden Mas Mustojo (Sultan HB VI) dan Gusti Raden Mas Gathot Menol (Sultan HB V) merupakan saudara sekandung. Keduanya adalah putra Sultan HB IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Raden Mas Gathot Menol anak ke-6, sedangkan Raden Mas Mustojo anak ke-12. Sultan HB IV menunjuk Raden Mas Gathot Menol sebagai putra mahkota yang berhak menggantikannya.
Tanggal 6 Desember 1823, Sultan HB IV meninggal dunia secara mendadak ketika sedang berpesiar. Desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa sang raja tewas karena diracun (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:253). Sesuai aturan kerajaan, yang diangkat sebagai raja selanjutnya adalah Raden Mas Gathot Menol selaku putra mahkota.
Raden Mas Gathot Menol pun dinobatkan sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana V dan mulai bertahta sejak 19 Desember 1823 (Fredy Heryanto, Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 2004:31). Namun, periode pemerintahan Sultan HB V ternyata tidak berjalan mulus.
Sebagian keluarga istana merasa tidak puas dengan kepemimpinan Sultan HB V yang dinilai lembek, bahkan dianggap menjatuhkan wibawa Keraton Yogyakarta karena terlalu patuh terhadap Belanda. Salah satu orang yang paling keras menyuarakan kekecewaan adalah Raden Mas Mustojo yang tidak lain adalah adik kandung sang sultan.
Mulailah terjadi friksi di dalam internal kerajaan. Pelan namun pasti, dukungan kepada Raden Mas Mustojo bertambah lantaran Sultan HB V justru lebih asyik mengurusi kesenian ketimbang melawan Belanda, atau setidaknya memiliki sikap yang lebih tegas kepada Belanda.
Pada 5 Juni 1855, Sultan HB V meninggal dunia, diduga akibat ditikam istri selirnya, Kanjeng Mas Hemawati. Pihak kraton menutup rapat-rapat kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah tragedi berdarah itu, dan kemungkinan adanya upaya kudeta yang direncanakan sebelumnya.
Kematian Sultan HB V memberikan kesempatan bagi Raden Mas Mustojo untuk mengambil-alih tahta Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Terlebih setelah permaisuri almarhum Sultan HB V beserta putra mahkota dituding membangkang dan disingkirkan jauh-jauh ke Manado untuk selama-lamanya.
Kekuasaan Tahan Guncangan
Tidak lama setelah upacara pemakaman Sultan HB V, Raden Mas Mustojo ditabalkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana VI, raja Yogyakarta ke-6. Dengan demikian, terputuslah garis singgasana dari trah Sultan HB V dan beralih ke Sultan HB VI seiring diasingkannya permaisuri dan putra mahkota almarhum.
Raden Mas Mustojo alias Sultan HB VI menjadi raja pada usia yang sudah cukup matang, 34 tahun. Namun, ternyata bukan hal yang mudah baginya untuk memimpin pemerintahan dalam kunkungan penjajahan.
Posisi Belanda di Indonesia, termasuk dan terutama di Jawa, sangat kuat. Hampir setiap raja atau penguasa lokal harus mau “bekerjasama” dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda jika tidak ingin dilengserkan. Ada semacam kontrak politik antara kedua belah pihak, namun tentu saja lebih menguntungkan Belanda (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik, 1985).
Pilihan itu pula akhirnya yang diambil oleh Sultan HB VI. Ia mengingkari apa yang dulu dengan keras disuarakannya terhadap kepemimpinan sang kakak, Sultan HB V. Kini, setelah berhasil mengambil-alih singgasana istana, Sultan HB VI justru tidak lebih berani dari kakandanya.
Hal inilah yang membuat suasana istana kembali bergolak. Mulai timbul penentangan dari pihak-pihak yang kecewa dengan tak konsistennya Sultan HB VI. Raden Mas Mustojo bisa naik tahta berkat dukungan kuat dari mereka yang tidak puas dengan gaya kepemimpinan sultan sebelumnya, dan kini, Sultan HB VI justru dianggap tidak lebih berani.
Beruntunglah Sultan HB VI karena memiliki patih yang sangat tangguh, Danurejo V. Semua upaya perlawanan dan pemberontakan berhasil ditangani dengan baik oleh Patih Danurejo V sehingga singgasana Sultan HB VI tetap langgeng dan bertahan lama, bahkan hingga akhir hayatnya.
Di era Sultan HB VI terjadi gempa bumi besar di Yogyakarta pada 1867 (Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta, 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial, 2000:47). Akibatnya, banyak bangunan di istana runtuh, juga bangunan-bangunan penting lainnya termasuk Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe (masjid keraton), dan Loji Kecil (kantor residen Belanda di Yogyakarta, sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung).
Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, tepat hari ini 142 tahun lalu, atau satu dekade setelah bencana alam tersebut. Masa kekuasaan sang raja Jawa yang telah berlangsung selama 22 tahun akhirnya usai. Ini termasuk periode yang cukup lama mengingat rawannya potensi konflik di pusaran kekuasaan istana Yogyakarta saat itu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juli 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS