tirto.id - Mewujudkan ekosistem toleransi beragama di Indonesia rasanya bagaikan itik pulang petang. Berjalan lamban, bahkan bisa dibilang kian lama kian suram. Puluhan, bahkan ratusan, kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih terus terjadi dari waktu ke waktu.
Lembaga yang mengawasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Imparsial, dalam laporan tahunan teranyarnya, mengungkap ada setidaknya 13 kasus pelanggaran HAM dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terjadi selama 8 bulan saja, alias dalam rentang waktu Desember 2024 sampai Juli 2025.
Kasus-kasus ini dihimpun lewat pemantauan berbagai sumber media dan sangat mungkin hanya mewakili sebagian kecil dari realitas di lapangan. Dengan kata lain, angka ini seperti puncak dari “gunung es” yang lebih besar.
Sebab, menurut Imparsial, banyak kasus pelanggaran yang tidak terdokumentasi atau luput dari pemberitaan, baik karena adanya normalisasi praktik diskriminatif di masyarakat, keterbatasan akses informasi, maupun potensi tekanan, rasa takut, atau kekhawatiran di kalangan korban.
Apalagi, jika menilik tahun 2024 sendiri, kasus pelanggaran KBB mencapai ratusan dan semakin memburuk. SETARA Institute mencatat, sepanjang tahun lalu, ada sebanyak 260 peristiwa pelanggaran KBB, yang terdiri dari 402 tindakan pelanggaran. Angka itu melesat dari tahun sebelumnya yang berada di kisaran 217 peristiwa dengan 329 tindakan.
Peristiwa berarti suatu kejadian yang di satu hari yang sama. Sedangkan tindakan adalah variasi aktor pelanggar KBB dan variasi kategori perilaku yang terjadi dalam satu peristiwa pelanggaran KBB. Singkatnya, setiap peristiwa pelanggaran KBB bisa memuat lebih dari satu tindakan.
SETARA Institute menaksir, faktor yang turut mendorong kenaikan jumlah pelanggaran KBB selama tahun 2024 adalah dinamika politik nasional, khususnya pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak, baik pada 14 Februari untuk memilih presiden dan anggota legislatif, serta juga pemilu kepala daerah/pilkada serentak pada 27 November.

“Meskipun penggunaan politik identitas berbasis agama tidak terjadi secara masif seperti pada tahun-tahun sebelumnya (2014 dan 2019), temuan SETARA menunjukkan bahwa politisasi agama tetap muncul di sejumlah daerah,” begitu bunyi laporannya.
Fokus pemerintah yang lebih tertuju pada agenda transisi kekuasaan juga dinilai menyebabkan isu pemajuan KBB menjadi kurang mendapat perhatian. Kondisi ini mencerminkan lemahnya peran simpul-simpul sosial yang seharusnya mendukung kepemimpinan masyarakat (societal leadership) dalam menjaga ekosistem toleransi.
Pemda dan Ormas Agama adalah Aktor Kunci
Apabila menelisik lebih jauh pada sisi aktor pelaku pelanggaran KBB, aktor non-negara ternyata mendominasi. Meski begitu, ini bukan berarti negara bisa lepas tanggung jawab. Sebab, dengan masih langgengnya aktor non-negara, artinya, selama ini, negara diam dan abai.
Masih dari laporan SETARA Institute, sebanyak 244 tindakan (60,45 persen) dari 402 tindakan yang tercatat selama 2024, pelakunya berasal dari sektor non-negara, sementara sisanya merupakan aktor negara.
Pelanggaran terbanyak oleh aktor non-negara berasal dari organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan (49 tindakan), disusul kelompok warga (40 tindakan), warga (28 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (MUI), individu, dan tokoh masyarakat.
Ironis, ketika ormas keagamaan. yang khitahnya memelihara dan memperdalam penghayatan iman umatnya yang bermuara pada menjunjung tinggi HAM, justru menjadi pelaku signifikan dalam pelanggaran kebebasan beragama.
“Hal ini menunjukkan kecenderungan menguatnya konservatisme dalam ruang keagamaan, yang kerap kali ditandai oleh penyempitan cara pandang terhadap keberagaman agama dan keyakinan,” tulis SETARA Institute dalam laporannya.
Meningkatnya peran ormas keagamaan sebagai pelaku pelanggaran KBB pun tak bisa dilepaskan dari meningkatnya mobilisasi sentimen keagamaan dalam merespons dinamika sosial dan politik. Menurut SETARA Institute, banyak ormas, khususnya yang berbasis Islam konservatif, aktif menyuarakan sikap eksklusif terhadap kelompok keagamaan maupun sosial yang dianggap berbeda.

Seperti contoh, keberadaan bangunan yang diduga “ilegal” dan beralih fungsi jadi tempat peribadatan umar Kristen di kawasan Leuweung Seureuh, Desa Cibalongsari, Kecamatan Klari, Karawang, mendapat penolakan keras dari Front Persaudaraan Islam (FPI) Karawang dan Forum Aktivis Islam (FAIS).
Peneliti KBB SETARA Institute, Achmad Fanani Rosyidi, menjelaskan, dalam kelompok ormas keagamaan ini, memang mayoritasnya merupakan ormas keagamaan Islam. Kendati demikian, ada pula ormas keagamaan dari agama-agama minoritas, seperti Kristen dan Buddha.
“Biasanya mereka [pelaku dari agama minoritas] itu dari sisi edukasi soal kebebasan beragama masih minim. Jadi kayak misalnya, peristiwa yang juga pernah terjadi adalah pelaporan penodaan agama ke individu. Bukan ke tokoh, ya. Biasanya mereka nggak berani ke tokoh-tokoh keagamaan Islam,” kata Fanani kepada Tirto, Selasa (16/9/2025).
Sementara dari sisi aktor negara, sebagian besar pelanggaran KBB berasal dari institusi pemerintah daerah (pemda). Membuntut di belakangnya kepolisian, Satpol PP, TNI, Kejaksaan, serta forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda).
Penting diketahui, jumlah tindakan pemda bahkan sedikit lebih banyak dari ormas keagamaan, yakni mencapai 50 tindakan. Itu artinya, ormas keagamaan dan pemda menjadi aktor kunci dalam pelanggaran KBB di Tanah Air.
Jabar yang Terus Jadi Lahan Subur Intoleransi
Harus digarisbawahi, persoalan intoleransi dan diskriminasi agama yang makin merajalela ini adalah masalah nasional. Imparsial mengungkap, kasus pelanggaran KBB bukan hanya terkonsentrasi di satu wilayah, melainkan menyebar di sedikitnya lima provinsi berbeda, meski ada proporsi daerah tertentu yang lebih dominan.
Namun, berdasarkan provinsi, Jawa Barat membukukan kasus tertinggi, dengan jumlah kejadian mencapai 9 kasus pelanggaran selama Desember 2024 - Juli 2025. Sementara empat kasus lainnya masing-masing terjadi di Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
Dominasi Jawa Barat dalam catatan pelanggaran KBB memang bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, provinsi ini berulang kali menempati posisi teratas dalam laporan tahunan Imparsial dan berbagai organisasi HAM.
SETARA Institute misalnya, merekam, baik pada 2023 maupun 2024, Provinsi Jawa Barat menduduki posisi tertinggi dengan kasus pelanggaran KBB paling banyak. Peristiwa pelanggaran KBB di Jawa Barat 2024 lalu tercatat sebanyak 38 peristiwa, sedikit turun ketimbang 2023 yang berada di level 47 peristiwa.
Namun, belum habis tahun 2025, kejadian pelanggaran KBB di Tanah Pasundan pun sudah berulang. Pada penghujung Juni lalu, pembubaran retret pelajar pemeluk agama Kristen terjadi di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Sukabumi, Jawa Barat. Tak cuman membubarkan, ratusan warga setempat juga ramai-ramai merusak fasilitas vila yang dijadikan tempat retret tersebut.
Sedangkan pada awal Juni, di Kota Banjar, Jawa Barat, terjadi penyegelan kembali terhadap tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Tim penanganan JAI dari Pemerintah Kota Banjar mendatangi tempat peribadatan JAI di lingkungan Tanjungsukur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Tim tersebut memperingatkan JAI untuk tidak melakukan kegiatan peribadatan di bangunan yang telah disegel sebelumnya.
Menurut SETARA Institute, peristiwa intoleransi yang terus menerus terjadi di Jawa Barat ini dipicu oleh kebijakan diskriminatif. Salah satunya tercermin dari Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.
Selain Pergub 12/2011, maraknya pelanggaran KBB juga tidak lepas dari dampak Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Aturan ini juga menjadi dasar perusakan vila dan pembubaran retret pelajar Kristen di Sukabumi.
Beleid itu memuat persyaratan pendirian rumah ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara. Pasal 18 PBM menyebut, pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota.
Namun, isinya banyak ditafsirkan masyarakat sampai pada level izin melakukan kegiatan keagamaan, khususnya bagi kelompok minoritas. Padahal, dalam konstitusi kita, tidak ada aturan-aturan untuk masyarakat izin terlebih dahulu kepada pihak berwenang.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id





































