tirto.id - Sudah sekitar 5 tahun Pendeta Jafar Silasko bersama jemaatnya memperjuangkan izin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Rhema Sandubaya, di tempat tinggalnya, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak 2020 sampai 2025 ini, urusan izin tempat ibadah itu belum juga menyiratkan cahaya terang.
Padahal, mereka sudah mengurus izin mulai dari kelurahan, kecamatan, tingkat wali kota, hingga ke kementerian dan presiden. Gereja yang jadi rumah ibadah umat Kristiani itu sendiri merupakan hasil renovasi rumah tipe 36 yang dibeli Pendeta Jafar bersama jemaatnya secara kolektif.
“Kami 2 tahun ini keliling keliling. 2023, satu tahun ibadah di aula Kemenag [Kementerian Agama]. Tahun 2024 di aula kantor camat 6 bulan dan di kantor lurah. Desember 2024 sampai Desember 2025 disewakan pemkot [pemerintah kota] satu tahun ruko. Setelah itu kami berjuang cari tempat baru lagi,” terang Pendeta Jafar kepada Tirto, Selasa (16/9/2025).

Pada awal tahun 2025 ini, ia cerita dirinya dan jemaat sempat kembali membuat surat agar bisa kembali beribadah di GKII Rhema Sandubaya, tapi hasilnya nihil. Meski Dewan Masjid sempat mengunjungi rumah doanya yang terletak di Jalan Li Mesir Perum Arafindo Agung Lestari Blok B/9 Babakan Sandubaya, Mataram, NTB, hingga kini belum ada kabar baru lagi.
“Ya Puji Tuhan selama ini dengan jemaat, Puji Tuhan jemaat tetap kuat, tetap setia kemana-mana ikut sama-sama. Memang harapan kami sih kami bisa kembali lagi ke sini [GKII Rhema Sandubaya]. Memang sempat ada anggota Dewan Masjid mendatangi kami. Saya kasih lihat ini tempat ibadah, yang sudah ada peredam suara,” tutur Pendeta Jafar.
Alhasil, kini GKII Rhema Sandubaya tak bisa menjadi tempat ibadah Minggu dan hanya dipakai untuk hari-hari lain. Selain hari Minggu, Pendeta Jafar bilang, semua kegiatan di gereja berjalan aman.

“Sebenarnya dalam doa kami, kami tetap rindu kembali lagi ke tempat ini. Meskipun pemerintah seperti melarang, warga juga seperti itu. Pak Bimas [Bimbingan Masyarakat Kristen] juga nggak bisa berbuat apa-apa, karena beliau juga orang pemerintah, mau nggak mau ya,” terang Jafar.
Di tengah proses izin rumah ibadah yang pelik, dia memang sempat mendapat ancaman dari aparat dan warga sekitar. Pada Desember 2023, misalnya, ada sekitar 12 orang bersama Ketua RT yang mendatangi Pendeta Jafar. Mereka melarang Jafar dan jemaat beribadah di GKII Rhema Sandubaya serta mengancam jika ibadah terus dilanjutkan, maka bukan mereka yang datang, tapi masyarakat lainnya.
Diskriminasi yang dialami para pemeluk Agama Kristen di NTB itu sayangnya bukan satu-satunya. Aldo (25) ingat betul, dirinya juga pernah mengalami penyerangan saat melakukan ibadah doa Rosario bersama belasan mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) tahun lalu.
Saat itu, Aldo bersama yang lainnya tengah membaca doa di sebuah kontrakan di Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan atau Tangsel. Kemudian datang seseorang yang disebut sebagai Pak RT. Sambil teriak, pihak RT diduga melarang para mahasiswa menyelenggarakan ibadah dan meminta segera pindah ke gereja.
Para warga bahkan ikut menyerang, dan diketahui ada yang membawa senjata tajam, hingga menyebabkan dua orang terluka. Menurut pengakuan RW, banyaknya jumlah mahasiswa yang berkumpul menjadi persoalan.
“Kalau ditanya mengenai perasaan ya, saya merasa sedih [mengingatnya], merasa miris juga. Mengingat tindakan pelarangan terhadap sejumlah kelompok atau mahasiswa yang beribadah di ruang privat merupakan tindakan yang bertentangannya dengan prinsip pemenuhan pelindungan dan penghormatan atas hak kemerdekaan beragama atau berkeyakinan,” terang Aldo ketika dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (16/9/2025).

Hal yang lebih menyedihkan baginya adalah bagaimana kekerasan seperti ini dibiarkan berulang tanpa solusi yang jelas dari pemerintah dan penegak hukum. Menurut Aldo, negara selama ini tidak pernah memberikan efek jera kepada pelaku intoleransi dan diskriminasi berbasis agama.
Dia sendiri jadi sering dianggap sebelah mata. Padahal sebagai warga negara, apa pun agamanya harusnya bisa dianggap sama dan setara. Negara dan masyarakat seharusnya tak memperlakukan berbeda terhadap mereka yang “mayoritas” maupun “minoritas”.
Aldo bilang, hak beragama adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. "Tentunya setiap kita yang beragama atau setiap kita yang mempunyai keyakinan, ingin merasa bahwa setiap kali saya beribadah itu saya ingin merasa nyaman, itu sudah pasti,” tegas Aldo.
Masih Maraknya Gangguan Pendirian & Operasionalisasi Tempat Ibadah
Apa yang dialami Pendeta Jafar, Umat Kristiani di Mataram, dan Aldo adalah bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Selayaknya umat beragama dan punya keyakinan, mereka juga ingin punya rumah ibadah, ingin beribadah dengan nyaman dan aman, serta tak mengalami perlakuan diskriminatif.
Perangkat negara dan semua elemen masyarakat harus bisa bersama-sama mewujudkan ekosistem toleransi beragama yang kini jalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran. SETARA Institute bahkan mencatat kasus pelanggaran KBB selama 2024 masih di level ratusan dan mengalami peningkatan.
Secara lebih detail, pada 2024, diketahui ada sebanyak 260 peristiwa pelanggaran KBB, yang terdiri dari 402 tindakan pelanggaran. Angka itu melesat dari tahun 2023 yang berada di kisaran 217 peristiwa dengan 329 tindakan.
Lembaga penelitian yang berfokus pada isu HAM dan pluralisme itu bahkan menyoroti tiga temuan kunci Salah satunya masih maraknya gangguan terhadap pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah. Meskipun jumlah kejadian itu menurun dari 65 kasus pada 2023, menjadi 42 kasus pada 2024, angka ini masih menunjukkan bahwa permasalahan pendirian tempat ibadah belum terselesaikan secara sistemik.
“Persoalan utama yang terus berulang dalam kasus-kasus gangguan tempat ibadah adalah terkait persyaratan pendirian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,” tulis SETARA Institute dalam laporannya.
Regulasi itu mensyaratkan dukungan dari 90 calon pengguna dan 60 orang dari warga sekitar, yang dalam praktiknya seringkali menjadi alat legitimasi untuk menolak pembangunan tempat ibadah tertentu, terutama yang berasal dari kelompok agama minoritas.
Dalam banyak kasus, bahkan setelah persyaratan tersebut dipenuhi, warga setempat tetap menolak keberadaan tempat ibadah, dan otoritas lokal tidak menunjukkan keberanian untuk menegakkan keadilan. Hal ini memperlihatkan bagaimana regulasi yang seharusnya menjamin kerukunan, justru kerap dijadikan alat diskriminasi.
Jika dibedah berdasarkan aktornya, enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor negara adalah pelarangan usaha, diskriminasi, kebijakan diskriminatif, penangkapan, pendakwaan penodaan agama, dan penersangkaan penodaan agama.
Sedangkan enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor non-negara di antaranya intoleransi, pelaporan penodaan agama (29 tindakan), penolakan ceramah, penolakan pendirian tempat ibadah, pelarangan ibadah, dan pelarangan usaha.
Faktor Struktural dan Kultural yang Berkelindan
Peneliti senior The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar, menjelaskan, eskalasi perilaku intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran KBB disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama adalah faktor struktural, dan kedua faktor kultural, dan keduanya saling memengaruhi.
Faktor struktural yang dimaksud berkaitan dengan berbagai bentuk kebijakan formal oleh negara, mulai dari tingkat nasional maupun di tingkat lokal, termasuk PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang sering dijadikan landasan menolak pendirian tempat ibadah.
Sementara aspek kultural berkaitan dengan norma-norma sosial, keyakinan, bias, dan tradisi yang diskriminatif. Sebagai contoh, ada sekelompok masyarakat yang memegang nilai bahwa seharusnya orang-orang yang bukan mayoritas harus menghormati mayoritas.
“Yang lain juga sebenarnya adalah faktor di mana masyarakat kita atau sebagian masyarakat kita itu merasa terancam oleh kehadiran orang lain. Ini sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi banyak dialami oleh masyarakat atau warga di banyak negara,” kata Alamsyah kepada Tirto, Rabu (17/9/2025).

Dengan cara pikir seperti itu, maka ketika ada orang yang ingin mendirikan tempat ibadah, muncul perasaan bahwa mereka akan besar, tumbuh kuat, dan kita akan menjadi korban. Hal semacam itu juga muncul di negara-negara lain, baik di Eropa dan Amerika, lewat fenomena supremasi kulit putih.
Serupa, fenomena itu juga terjadi dipengaruhi oleh perasaan terancam terhadap kelompok kaum imigran yang dianggap mengambil pekerjaan dan membebani pembiayaan negara. Cara berpikir semacam ini harus dibenahi agar ia tak semakin tumbuh subur. Apalagi, dampak intoleransi dan diskriminasi pun tak main-main.
“Dampak intoleransi dan diskriminasi akan mempengaruhi cara pandang warga terhadap warga lainnya berdasarkan identitas, agama, dan keyakinan. Jadi, katakanlah dari sisi interaksi sosial itu mempengaruhi atau meningkatkan kecurigaan, bias, terhadap kelompok lain yang berbeda, apakah itu karena perbedaan agama, perbedaan orientasi seksual, perbedaan politik, dan lain-lain,” tutur Alamsyah.
Bias dan kecurigaan yang dipelihara tersebut bisa meningkatkan rasa benci, dan pada akhirnya akan berujung pada kekerasan.
“Tentu saya tidak mengatakan bahwa kekerasan salah satunya faktor dari kebencian, karena ada banyak faktor lain, misalnya soal politisasi kebencian oleh elit-elit untuk mendapatkan keuntungan politik, kemiskinan, tata kelola pemerintahan yang buruk, dan lain-lain,” kata Alamsyah.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id





































