Menuju konten utama
Mozaik

Si Doel, Novel Karya Sastrawan Sumbar yang Jadi Sinetron Populer

Tokoh Si Doel mula-mula muncul dalam novel berjudul Si Doel Anak Betawi (1932) karya Aman Datuk Madjoindo, pengarang asal Minangkabau.

Si Doel, Novel Karya Sastrawan Sumbar yang Jadi Sinetron Populer
Header Mozaik Si Doel. tirto.id/Fuad

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta memberikan izin kepada Rano Karno untuk menggunakan nama “Si Doel” dalam Pilkada 2024. Keputusan tersebut disampaikan Dody Wijaya selaku Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU DKI Jakarta pada Minggu, 22 September 2024.

Rano Karno memang sosok yang lekat dengan karakter si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Selain menjadi pemeran utama dalam sinetron yang tayang perdana pada 16 Januari 1994 di RCTI itu, ia juga bertindak sebagai produser, penulis naskah, dan sutradara.

Bermula dari Anak Betawi

Sinetron Si Doel Anak Sekolahan tidak bisa dilepaskan dari novel klasik bertajuk Si Doel Anak Betawi, terbit perdana pada 1932. Pada masanya, novel itu terbilang unik karena menggunakan logat Betawi dalam dialognya. Lebih unik lagi, penulisnya bukan orang Betawi tapi Minangkabau. Ia adalah Aman Datuk Madjoindo.

Berdasarkan Ensiklopedia Sastra Indonesia, Aman lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat, pada 1896. Setelah menempuh pendidikan di Inlandsche School (Sekolah Bumiputra) sejak 1906 hingga 1911, ia menjadi guru di Solok (1912-1914) dan Padang (1914-1919). Pada 1919, ia merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah toko buku sebelum menjadi kuli di Tanjung Priok.

Sembari bekerja, Aman melanjutkan pendidikan dengan mengambil kursus bahasa Belanda di kawasan Meester Cornelis atau Jatinegara. Pada 1920, ia mulai bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur. Rekan-rekannya saat itu antara lain Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Sutan Muhammad Zein, dan Sutan Pamuntjak.

Aman bekerja di Balai Pustaka hingga 1958. Pada tahun yang sama, ia memulai karier di Penerbit Djambatan, bergabung dengan Sutan Pamuntjak yang lebih dulu keluar dari Balai Pustaka dan sudah menjadi salah satu pimpinan di sana.

Si Doel Anak Betawi ditulis dalam waktu tiga bulan. Menurut Aman, digunakannya dialek Betawi dalam novel tersebut karena ia ingin pembaca non-Betawi baik yang tinggal di Jakarta maupun di daerah lain mengenalnya.

Selain Si Doel Anak Betawi, Aman juga menulis sederet novel anak yang lain, di antaranya Srigoenting, Pak Djanggut, Boedjang Bingoeng, Koentoem Melati, Poetri Larangan, dan Tjita-tjita Moestapa. Pada 1935, Tjita-tjita Moestapa yang semula berjudul Anak Desa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda dengan judul Desa Jongen.

Sejumlah novel berbahasa asing tak ketinggalan ia terjemahkan, di antaranya Kembar Enam karya C.J. Kieviet dan Setangkai Daoen Soerga karya Cor Bruijn. Lain itu, ia banyak menyadur cerita lama, antara lain Tjerita Malim Deman, Poetri Boengsoe, Goel Bakawali, Tjindoer Mata, Sjair Silindoeng Delima, Sjair Anis Aldjalis, dan Sjair Siti Noeriah Memboenoeh Diri.

Aman juga memiliki sejumlah karya dalam bidang agama. Ia menulis cerita nabi-nabi, mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Karya tersebut terbit dalam 13 jilid dan diberi judul Rangkaian Manikam. Tak kurang menarik, Aman juga menulis tafsir Alquran sebanyak enam jilid. Masing-masing jilid berisi tafsir terhadap lima juz Alquran.

Tafsir Alquran merupakan karya Aman yang terakhir, yang ia rampungkan selepas menunaikan haji ke Tanah Suci. Setelah kesehatan matanya menurun, ia tidak lagi menghasilkan karya baru. Pada 6 Desember 1969, Aman Datuk Madjoindo mengembuskan napas terakhirnya di Surukan, Solok, Sumatra Barat.

Naik ke Layar Lebar

Novel Si Doel Anak Betawi diangkat ke layar lebar oleh Sjuman Djaja pada 1972. Doel (Abdoel Hamid) diperankan oleh Rano Karno, saat itu berusia 12 tahun. Ia beradu akting dengan Tutie Kirana (Ibu), Benyamin Sueb (Bapak), dan Sjuman Djaja (Asmad).

Dalam film yang berdurasi 85 menit itu, Doel digambarkan sebagai anak yang tumbuh dengan kebiasaan, nilai-nilai, dan budaya masyarakat Betawi. Ibunya tak kurang dalam melimpahkan kasih sayang, dan ayahnya yang bekerja sebagai sopir angkutan umum selalu bangga tiap mendengar cerita tentang keberaniannya.

Berbeda dengan banyak temannya yang merasa cukup hanya dengan mengaji, Doel punya keinginan kuat untuk bersekolah. Ia memang terpaksa melupakan impian itu menyusul kematian bapaknya, yang mengharuskannya berjualan demi membantu ibunya, tapi beruntung ada sang paman, Asmad, yang mewujudkan keinginannya untuk bersekolah.

Si Doel Anak Betawi merupakan film yang tergolong sukses. Popularitasnya turut menandai periode kebangkitan industri perfilman Indonesia yang berlangsung antara 1970 hingga 1980, ketika jumlah produksi film nasional mencapai 100 judul per tahun.

Sukses dengan Si Doel Anak Betawi menjadi alasan Sjuman Djaja menggarap sekuelnya yang berjudul Si Doel Anak Modern (1976). Kali ini, tokoh Doel diperankan oleh Benyamin Sueb. Bintang lain yang turut bermain adalah Tutie Kirana (Ibu), Christine Hakim (Kristin), Achmad Albar (Achmad), dan Farouk Afero (Sapi’i).

Eric Sasono dalam “Sketches of Jakarta in Indonesian Films” (2008:2) menyatakan bahwa Si Doel Anak Modern menggambarkan ironi ketidakmampuan orang-orang seperti Doel dalam mempertahankan identitas dirinya saat berupaya memenuhi kriteria modernitas. Celakanya, kriteria modernitas tersebut adalah sesuatu yang artifisial, seperti gaya rambut kribo dan busana formal lengkap dengan dasi dan pantofel.

Sebagai sutradara, Sjuman Djaja juga ingin menyampaikan keprihatinannya atas ketidakmampuan Doel, atau penduduk asli Jakarta secara umum, dalam beradaptasi secara substansial dengan gelombang modernitas yang berjalan seiring dengan perubahan Jakarta sebagai kota metropolitan.

Si Doel Anak Modern berdurasi 107 menit. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 1977, film tersebut meraih banyak apresiasi. Sjuman Djaja meraih penghargaan untuk kategori Sutradara Terbaik sekaligus Penulis Skenario Asli Terbaik. Demikian pula Benyamin Sueb yang meraih penghargaan untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik.

Tontonan Berjuta Umat

Setelah 18 tahun, si Doel hadir dalam format sinetron berjudul Si Doel Anak Sekolahan. Dalam hitungan bulan sejak pertama kali tayang, serial garapan Rano Karno itu menjadi tontonan paling digemari rakyat Indonesia.

Survey Research Indonesia (SRI) mencatat pada akhir 1994 sinetron tersebut mendapatkan rating 53 poin, yang artinya Si Doel Anak Sekolahan ditonton kurang lebih 8,5 juta pemirsa. Implikasi dari capaian rating yang sangat tinggi itu adalah pendapatan iklan yang mencapai miliaran rupiah.

Harga iklan untuk Si Doel Anak Sekolahan adalah Rp14 juta per spot per 30 detik. Jika dalam satu episode jumlah iklannya mencapai 40 spot, pendapatan kotor sinetron tersebut diperkirakan mencapai Rp560 juta per episode.

Sejumlah aktor dan aktris yang bermain dalam Si Doel Anak Sekolahan di antaranya Rano Karno (Doel atau Kasdullah), Benyamin Sueb (Babe Sabeni), Aminah Cendrakasih (Nyak atau Mpok Lela), Tile (Engkong Ali), Cornelia Agatha (Sarah), Maudy Koesnaedy (Zainab), Mandra (Mandra), Suti Karno (Atun atau Zaitun), dan Basuki (Karyo).

Infografik Mozaik Si Doel

Infografik Mozaik Si Doel. tirto.id/Fuad

Meski karakter yang dimainkan Rano Karno dan Benyamin Sueb dalam sinetron ini sepintas sama dengan karakter yang mereka perankan dalam Si Doel Anak Betawi, perbedaan di antara keduanya jelas. Dalam sinetron ini, Doel bernama lengkap Kasdullah dan ayahnya Sabeni. Dalam Si Doel Anak Betawi, Doel bernama lengkap Abdoel Hamid dan ayahnya Asman.

Dibanding dua film pendahulunya, muatan budaya Betawi dalam Si Doel Anak Sekolahan terkesan lebih kuat. Ini tampak misalnya dalam panggilan para tokohnya, seperti Babe Sabeni, Nyak atau Mpok Lela, dan Engkong Ali, juga dialog di antara mereka yang lebih sering menggunakan dialek Betawi.

Totalitas para pemain dalam menjalankan peran, juga improvisasi mereka, membuat sinetron ini terkesan hidup. Dalam sebuah wawancara, Rano Karno mengungkapkan bahwa Mandra kerap menyampaikan dialog dalam bahasa Betawi yang tidak ada dalam skrip. Demikian pula Tile (Engkong Ali), Bendot (Pak Bendot, mertua Karyo), dan Nacih (Nyak Rodiah, istri Engkong Ali), sebab ketiganya buta huruf.

Secara tersirat, sinetron ini mengingatkan tentang pentingnya masyarakat dalam merawat budayanya di tengah gempuran modernitas yang terus berlangsung, meski mereka tidak bisa mengelak atau bahkan menjadi bagian darinya, seperti terlihat dari tokoh Doel yang menempuh pendidikan tinggi dan kemudian menjadi karyawan sebuah perusahaan.

Si Doel Anak Sekolahan dilanjutkan dengan sejumlah sekuel, yaitu Si Doel Anak Gedongan (2005), Si Doel Anak Pinggiran (2011), trilogi Si Doel (Si Doel The Movie, Si Doel The Movie 2, dan Akhir Kisah Cinta Si Doel), juga Si Doel the Series (2022-2023). Namun, tidak satu pun dari film dan serial tersebut yang berhasil menandingi kesuksesan Si Doel Anak Sekolahan.

Sejumlah penghargaan berhasil diraih sinetron ini, antara lain Panasonic Award untuk kategori Acara Sinetron Latar Belakang Kebudayaan dan RCTI + Indonesian Digital Awards untuk kategori Most Favorite Legendary Sinetron. Rano Karno juga meraih penghargaan Panasonic Award untuk kategori Sutradara Sinetron Latar Belakang Kebudayaan dan Bintang Drama Pria.

Baca juga artikel terkait SI DOEL atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - News
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi