tirto.id - Menurut seorang sahibul hikayat, di sebuah kampung hiduplah seorang penjaga surau yang oleh orang-orang setempat dipanggil Kakek. Ia dikenal sangat taat dalam ibadah. Hampir-hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengagungkan nama Allah.
Kakek diketahui pandai mengasah pisau, tetapi itu bukanlah pekerjaannya. Ia hidup dari sedekah jemaah dan panen ikan mas yang dipelihara di kolam depan surau. Sepenuh hidupnya ia baktikan untuk beribadah dan merawat surau. Tiada ia beranak-istri. Rumah pun tidak.
“Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala [...] Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya,” demikian menurut kata-kata Kakek sendiri.
Kakek begitu yakin dengan iman dan ibadahnya sampai Ajo Sidi datang dengan sebuah cerita yang menggoyahkan semua itu. Ajo Sidi memang tukang cerita. Pembual lebih tepatnya. Tetapi bualannya selalu memikat orang dan sering jadi pameo.
Kepada Kakek, Ajo Sidi bercerita tentang seorang bernama Haji Saleh saat dihisab Tuhan di akhirat. Hanya satu pertanyaan Tuhan kepadanya, “Apa kerjamu di dunia?” Dan bagi Haji Saleh itu adalah pertanyaan mudah.
Dijawabnya pertanyaan Allah itu dengan rincian amal ibadah yang telah dilakukannya semasa hidup. Setiap Haji Saleh selesai menyebut amal ibadahnya, selalu Allah bertanya, “Lain lagi?” Hingga ia kehabisan kata. Tetapi, bukan surga yang akhirnya ia masuki, melainkan neraka.
Di neraka ia bertemu dengan orang-orang yang diketahuinya tak kalah darinya soal ibadah. Maka itu, mereka merasa Allah berlaku tak adil. Lalu proteslah Haji Saleh dan orang-orang itu kepada Allah. Mereka merasa telah melakukan segala perintah dan menjauhi larangan Allah sehingga semestinya surgalah tempat mereka.
Atas protes makhluk-makhluk-Nya itu, Tuhan balik bertanya, “Kalian tinggal di mana di dunia?” Mereka menjawab: Indonesia, suatu negeri kaya sumber daya tetapi melarat penduduknya. Negeri yang lama dijajah dan kacau oleh konflik sesama warganya, sehingga anak-cucu mereka ikut melarat.
Kepada para pendemonya, Tuhan berkata, “kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. [...] Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang [...] Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.”
Pada akhirnya mereka semua tetap masuk neraka. Tetapi, Haji Saleh masih juga sempat bertanya, “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?”
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya [...] Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun,” jawab Tuhan.
Bagi Kakek, cerita Ajo Sidi itu adalah sebuah ejekan yang menyakitkan. Seakan-akan jalan hidupnya selama ini adalah kesia-siaan. Sialnya, karena tak tahan atas sindiran itu, Kakek bunuh diri esok harinya.
Proses Kreatif
Itulah cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) yang dikarang Ali Akbar Navis dan terdokumentasi dalam Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005: 171-181). RSK pertama kali diterbitkan dalam majalah Kisah pada 1955. Sebelumnya, sejak awal 1950-an, Navis lebih dulu rajin mengirim kritik sastra ke majalah yang diasuh H.B Jassin itu.
Dalam Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994: 3) Navis mengaku, “Cerpen saya yang pertama kali di-acc untuk dimuat majalah Kisah adalah cerpen ‘Pada Pembotakan Terakhir’. Tapi yang lebih dulu dimuat dan langsung menggaet Hadiah Sastra Majalah Kisah justru cerpen ‘Robohnya Surau Kami’.”
Berkat RSK pula nama Navis kemudian tenar di belantara sastra Indonesia. Padahal ketika itu, menulis cerpen adalah pekerjaan yang nisbi baru bagi Navis. Memang, ia telah aktif berkesenian sejak remaja. Namun, minat awalnya adalah pada musik dan seni rupa.
Sejak 1952 Navis bekerja sebagai kerani di Jawatan Kebudayaan Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi. Di situ ia banyak terlibat mengelola pameran dan pertunjukan seni. Juga terbuka kesempatan bertukar pikir dengan seniman-seniman lain di luar Sumatra.
Tulisan-tulisan kritik seni Navis rutin terbit di majalah-majalah lokal Sumatra seperti majalah Waktu dan Pelangi (Medan), koran Haluan (Padang), dan Nyata (Bukittinggi). Juga di majalah-majalah seni terbitan ibu kota seperti Aneka, Siasat, hingga Mimbar Indonesia.
Ketika H.B. Jassin menerbitkan majalah Kisah, ia mulai mencoba menulis cerpen. Pria kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 itu punya banyak waktu luang karena dikucilkan atasannya di Jawatan Kebudayaan. Ia tak diberi pekerjaan sebagai buntut dari seringnya ia berselisih paham dengan sang bos.
“Daripada saya keluar kantor, yang nanti boss saya bertambah marah dan daripada saya duduk termenung-menung nganggur sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin ketik, saya menulis dan menulis terus,” akunya seperti termuat dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang vol. 2 (1982: 58) suntingan Pamusuk Eneste.
Suatu kali datanglah ke kantor Jawatan Kebudayaan seorang bernama Syafei untuk menemui atasan Navis. Ia sempat mencuri dengar percakapan keduanya di kantor. Ada satu lelucon Syafei yang kemudian menerbitkan ide untuk menulis cerpen.
Lelucon itu sederhana saja: Di akhirat Tuhan bertanya pada beberapa orang, “Kamu orang mana?” Seseorang menjawab dari Rusia dan masuklah ia ke surga. Begitu juga orang Amerika, Inggris, dan Belanda semua masuk surga. Namun ketika giliran orang Indonesia, ia malah dijebloskan ke neraka.
“Kenapa? Karena orang Indonesia tidak memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan,” ungkap Navis dalam otobiografinya (hlm. 79).
Lain waktu Syafei memberi tahu Navis bahwa lelucon itu ia dapat dari Syekh Ahmad Surkati, ulama asal Pakistan yang juga pendiri Al-Irsyad.
Sambil berjalan pulang ia merenungkan lelucon itu. Di tengah jalan ia melewati sebuah surau hampir runtuh yang diingatnya sebagai tempat ia mengaji dulu. Dari seorang perempuan yang tinggal di dekat surau diketahuinya bahwa garin alias penjaga suraunya sudah meninggal dan tak ada lagi yang meneruskan.
Kejadian itu lantas ia ceritakan dalam sebuah suratnya kepada H.B. Jassin. Navis menulis, “Menurut penjelidikan saja, kakek (garin) itu mati karena kelaparan. Di negeri jang kaja ini kalau ada orang jang mati karena lapar, menurut saja pada hakikatnja sama dengan bunuh diri. Surau itu tempat saja mengadji dulunja. Karena kerobohannja hati saja sangat terharu. Kisah surau itu saja buat sebagai introduction sedangkan jang (tokoh) pokoknya ialah Hadji Saleh, jang sudah lama ada di dalam kepala saja.”
Begitulah mula ditulisnya magnum opus penerima penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1992 itu. Tetapi, lebih dari sekadar aktivitas waktu sela, RSK juga membawa visi Navis soal keberagamaan kita. Visi itulah yang tetap relevan hingga kini.
Klasik dan Selalu Relevan
Cerpen RSK ternyata melekat benar di benak beberapa tokoh masyarakat Sumatra Barat. Suatu kali di sebuah desa di Kabupaten Solok diadakan peresmian sebuah surau yang baru selesai dibangun. Saat itu naiklah ke atas mimbar salah seorang penyandang dana pembangunan untuk berpidato. Suwardi Idris, sastrawan Sumatra Barat, yang ikut hadir dalam peresmian itu mengingat benar satu kalimat yang diucapkan si tokoh.
“Kalau A.A. Navis menulis cerpen ‘Robohnya Surau Kami’, sekarang marilah kita menulis cerpen lain dengan judul ‘Bangkitnya Surau Kita’,” tulis Suwardi dalam “A.A. Navis dan Cerpen Dunia Akhirat” yang menjadi bagian dari otobiografi Navis (hlm. 388).
Seorang pembicara lainnya juga ikut berpesan, “Marilah kita gunakan surau ini untuk beribadah secara benar sehingga Ajo Sidi tidak usah datang ke sini menyindir kita.”
Suwardi heran akan pesan kedua pembicara itu. Pasalnya, sepengetahuan Suwardi keduanya adalah sarjana ekonomi. Pekerjaan mereka di bidang pembangunan dan perbankan juga sama sekali tak memiliki kaitan dengan sastra.
“Ketika ditanya dari mana ia mendapatkan cerita yang ditulis A.A. Navis itu, keduanya menjelaskan bahwa di SMA dahulu mereka sudah membacanya. Karena menariknya, cerita itu rupanya menetap dalam ingatan mereka,” catat penulis novel Dari Puncak Bukit Talang itu.
Seperti tokoh Kakek, saat itu memang ada sekalangan pembaca yang merasa diejek oleh Navis. Anak-anak muda umumnya setuju akan pesan cerpen itu. Di Malang, para mahasiswa mengadakan seminar membahas RSK. Lalu di Yogyakarta, kader HMI UGM mementaskan cerpen itu sebagai pertunjukan monolog. Kalangan tua dan ulama tarekatlah yang umumnya tersulut marah.
“Di Bukittinggi tak ada reaksi resmi. Namun di kota ini ada yang bilang saya komunis atau Murba. Padahal sebenarnya saya tak berpartai,” tulis Navis dalam otobiografinya (hlm. 77).
RSK memang diakui Navis sebagai cerpen dengan visi keislaman. Idenya ia renungkan dari realitas pemikiran dan masyarakat Islam di tanah kelahirannya, Minangkabau. Nadanya yang sinis—selain karena memang stilistika khasnya—sengaja ia munculkan untuk mewacanakan pembaruan.
Kritik utama ia tujukan kepada kaum ulama tua dan tarekat yang cenderung dogmatis dan dipenuhi takhayul. Tak ada kritisisme di kalangan mereka yang dipandang Navis sebagai sebab tak majunya umat kala itu. Mereka sibuk dalam zikir tetapi kepedulian sosialnya tumpul. Lain hal di luar ibadah mereka pandang sebagai kegiatan duniawi belaka yang tak perlu dikejar.
Ulama-ulama kolot juga senantiasa curiga dengan kaum intelektual yang punya minat pada sains. Bahkan tuduhan seperti “itu sekuler!” kerap terlontar. Juga diamatinya ada semacam kampanye untuk menekan kerja-kerja intelektual itu. Padahal, menurutnya, umat Islam bisa maju justru jika ajarannya diperdalam, diperbandingkan, dan dikritisi.
“Pemikiran dan gerakan Islam di Sumatra Barat tidak berkembang, kadangkala malah menghambat iklim kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat—sehingga seolah-olah justru anti pembaruan,” tulis sastrawan lulusan INS Kayutanam 1943 itu (hlm. 84).
Hal lain yang membuat karya ini klasik adalah kebaruannya. Menurut H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III (1985), sebelum terbitnya RSK, nisbi belum ada penulis Islam yang membenturkan jiwa keagamaan dengan soal-soal duniawi.
H.B. Jassin membandingkan RSK dengan Di Bawah Lindungan Kaabah karya Hamka. Tokoh-tokoh dalam novel itu lahir-besar sebagai Islam dan hidup di lingkungan Muslim. Tak ada pergolakan jiwa keagamaan di situ. Konflik lebih terpusat pada soal cinta kelamin berlatar tradisi adat yang kolot. Karenanya, karakter dalam novel itu jadi tampak monoton saja.
Itulah yang membikin RSK jadi penting. Sejauh amatan Jassin pula, sejak sebelum Indonesia merdeka hingga saat itu, hampir tak ada penulis Islam yang membenturkan elan keagamaan dengan soal-soal duniawi. Umumnya para penulis itu memang penganut Islam yang taat dan tak kenal konflik semacam itu.
“Maka itu, adalah sangat menarik persoalan-persoalan yang dicoba kupas oleh Navis dalam kumpulan ceritanya Robohnya Surau Kami, dengan penyelesaian yang tidak selalu cocok dengan ajaran ortodoks, karena keberaniannya menempuh jalan pikiran sendiri,” tulis sang Paus Sastra (hlm. 127).
Sekitar dua tahun kemudian, Navis menulis lagi cerpen dengan tema serupa berjudul Man Robbuka?. Cerpen yang terbit di harian Nyata, Bukittinggi, itu mendapat reaksi keras dari masyarakat Minang. Alasannya sama belaka dengan penolakan terhadap RSK: mengejek Islam. Hingga akhirnya harian itu terpaksa menurunkannya.
Beberapa waktu kemudian cerpen itu terbit ulang di mingguan Siasat di Jakarta. Agaknya nama Navis kala itu telah dikenal sebagai penulis yang sinis dan sarkas sehingga mingguan itu bernasib sama dengan Nyata. Redaksi terpaksa mengumumkan bahwa cerpen itu agar dianggap tak pernah terbit.
Soal itu, dalam otobiografinya Navis menulis, “Bayangkan kalau cerpen itu terbit dewasa ini. Pasti kantor redaksi diobrak-abrik massa dan saya dipenjarakan. Seperti kita lihat perilaku massa seperti itu masih muncul kembali dalam kehidupan sosial kita di Indonesia dan entah kapan berakhirnya (hlm. 78).”
Merasa familiar dengan pernyataan Navis itu?
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 25 Juni 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi