Menuju konten utama

INS Kayutanam: Sekolah Alternatif yang Melawan Kurikulum Belanda

Jika sekolah lain berusaha mencetak pegawai kolonial, INS Kayutanam lebih mengutamakan kebutuhan rakyat Indonesia.

INS Kayutanam: Sekolah Alternatif yang Melawan Kurikulum Belanda
Papan petunjuk INS Kayutanam, Sumatera Barat. Twitter/@sastragpu

tirto.id - Waktu banyak priyayi Indonesia mengirim anak mereka sekolah setinggi mungkin hingga kering kantong mereka, agar si anak bisa menjadi pegawai kantoran, Engku Mohammad Sjafei melawan arus zaman itu. Ia malah malah membangun sekolah yang tidak menghasilkan pegawai negeri. Pada 31 Oktober 1926, dia mendirikan Indonesisch-Nederlandsche School (INS) di Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat.

“INS Kayutanam merupakan reaksi terhadap sistem pendidikan yang berupaya mempersiapkan tenaga kerja murahan bagi kepentingan Pemerintahan Hindia Belanda,” kata Mas'oed Abidin dalam Ensiklopedi Minangkabau (2005: 197).

Sjafei memulai sekolah itu dengan bekal kemampuannya menggambar, melakukan pekerjaan tangan, dan memainkan alat musik.

Siapa Itu Mohammad Sjafei?

Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (2008: 113), Mohammad Sjafei adalah guru kelahiran Kalimantan Barat pada 1893. Ada yang menyebut dia lahir pada 1896 atau 1899. Tempat lahirnya yang banyak ditulis: Ketapang.

Menurut penulis cerita Robohnya Surau Kami sekaligus alumnus INS Kayutanam Ali Akbar Navis dalam Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik Ins Kayutanam (1996), tanggal kelahiran Sjafei direka-reka oleh dirinya sendiri yaitu 31 Oktober 1893. Keterangan itu sulit diterima mengingat ibu kandung Sjafei buta huruf, seperti kebanyakan orang Indonesia awal abad ke-20.

“Amat boleh jadi tanggal itu merupakan tanggal pengangkatan Sjafei sebagai anak Marah Sutan dan Chalidjah. Sjafei gemar memakai tanggal-tanggal atau angka yang ada hubungan dengan sejarahnya. Bahkan, nomor mobilnya pun diberi angka demikian,” tulis Navis.

Dia anak angkat dari Engku Marah Sutan Ibrahim, yang punya pengalaman mengajar di luar Minangkabau. Seperti ayah angkatnya, Sjafei juga keluaran sekolah guru terkenal di Bukittinggi, Kweekschool, yang kerap dijuluki Sekolah Raja. Alumni sekolah ini di antaranya adalah Tan Malaka dan Abdul Haris Nasution.

Sebagai lulusan sekolah guru yang mentereng dan pekerjaannya sebagai guru, panggilan Sjafei adalah Engku. Tidak seperti kebanyakan orang terpelajar di Hindia Belanda kala itu, Sjafei tak mau saklek pada buku. Ia tidak berhenti belajar di ruang kelas. Ia menjadi guru berdasar kebutuhan di lapangan alias dunia nyata.

Sjafei pernah belajar melukis dan mengajar di Sekolah Kartini di Batavia. Selain belajar dan mengajar, dirinya pernah juga terlibat dalam Partai Insulinde. Pada 1922, Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Di negeri kincir angin itu, dia bertemu Hatta. Mereka sepakat soal pentingnya pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Sjafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri.

Seperti dicatat Audrey Kahin, dia “bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia.”

Jeffrey Hadler dalam Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (2008: 165-167) menyebut, Insulinde punya pengaruh bagi Sjafei. Ia mengembangkan kurikulum yang inovatif di Hindia Belanda, “yang menekankan pengalaman lapangan dan eksperimentasi dan mempelopori pendidikan dasar dalam seni dan musik.” Orang ini mengembangkan sekolah yang teramat unik di daerah yang pengaruh Islamnya begitu kuat.

Di Kayutanamlah ia mendirikan sekolah yang dimaksud. Selama belasan tahun, di era kolonial, sekolah ini sanggup bertahan meski tanpa subsidi dari pemerintah. INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah kejuruan. Semboyannya sangat terkenal: “Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan yang saya perbuat saya tahu.”

Sebagai guru yang punya cita-cita kemerdekaan, selepas proklamasi Sjafei termasuk pendukung kemerdekaan Indonesia di Sumatera. Setelah Ki Hadjar Dewantara dan Todung Sutan Gunung Mulia jadi Menteri Pengajaran, Sjafei kemudian menyusul.

Sjafei termasuk orang yang mencintai kemajuan daerah-daerah di Indonesia. Dia memang pecinta otonomi daerah. Maka tak mengherankan bila di kemudian hari ia bergabung dengan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Menurut Mestika Zed dan kawan-kawan dalam Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995 (1995: 131), Sjafei diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (PP&K) merangkap Menteri Kesehatan dalam kabinet PRRI/Permesta. Sjafei tutup usia pada 5 Maret 1969.

Infografik sekolah alternatif zaman kolonial

Siapa Saja Lulusan Kayutanam?

INS Kayutanam hingga kini masih berdiri sebagai sebuah SMA swasta dengan akreditasi A yang bernaung di bawah Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS Kayutanam. Terletak tak jauh dari jalan raya Padang-Bukittinggi, Sumatera Barat.

Para siswanya di masa kini harus bangga. Dari sekolah ini pernah belajar Ali Akbar Navis atau A.A. Navis (1924-2003) yang terkenal dengan karya Robohnya Suarau Kami (1966)—satu karya yang cukup diperbincangkan di dunia sastra Indonesia. Selain sastra, Navis juga pernah menulis biografi seorang pengusaha berdarah Padang, Hasyim Ning.

Mochtar Lubis (1922-2004), menurut Atmakusumah dalam Mochtar Lubis, Wartawan Jihad (1992: 52), pernah belajar di sana sejak 1935 setelah lulus dari SD elite pribumi berbahasa Belanda, Hollandsche Inlandsche School (HIS), seperti anjuran ayahnya sendiri. Ia belajar ekonomi di sana.

“Kami tidak diajarkan bahasa Belanda, melainkan bahasa Inggris, Jerman, Prancis,” aku Mochtar Lubis dalam Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan (1995: 114).

Ketika orang-orang yang memuja perspektif Indonesiasentris asyik dininabobokan oleh pembelajaran sejarah yang Belandasentris, Mochtar Lubis dan kawan-kawan termasuk yang sudah belajar dengan sudut pandang orang Indonesia. “Di sana kami diajari sejarah yang lain dari sejarah di sekolah-sekolah Belanda. Sejarah dilihat dari perspektif perjuangan orang Indonesia,” tuturnya.

Seingat Lubis, para guru di sana punya cita-cita tinggi: mendidik pemuda Indonesia bisa mandiri. Tak heran jika disiplinnya ketat. Tak ada kesempatan bermanja-manja bagi anak orang kaya di sini. Mereka diajarkan disiplin.

Kebiasaan itu terbawa oleh Lubis yang mengaku selalu bangun jam 05.00. Uang jajan para siswa dibatasi dan pulang ke rumah hanya setahun sekali. Tiap liburan, murid-murid dimagangkan di perkebunan-perkebunan. Mereka diajarkan secara nyata bahwa menuntut ilmu tak boleh hanya berhenti di bangku sekolah.

Ada yang menyebut Letnan Jenderal Boestanoel Arifin yang pernah jadi Kepala Bulog di era Orde Baru juga lulusan Kayutanam. Sementara itu, A.A. Navis dalam Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei hanya menyebut Boestanoel Arifin Adam (hlm. 65). Dia bukan letnan jenderal. Seperti ditulis Ensiklopedi Minang (hlm. 102), Boestanoel Arifin Adam yang dimaksud Navis ini hanya berpangkat terakhir letnan satu di masa Revolusi. Dia kemudian lebih memilih dunia ilmu pengetahuan ketimbang militer. Pencarian di Google Books dengan kata kunci "Boestanoel Arifin Adam" mengarahkan pada dua buku: Teori musik praktis 1 (1978) dan Talempong: musik tradisi Minangkabau (1986).

“Bekerja sama dengan pengusaha India, Patnaik dan kemudian Hatta Foundation, Sjafei mengirim Boestanoel Arifin Adam belajar pada sekolah musik di Brussel (Belgia). Bekerja sama dengan Sticusa dari Belanda, Sjafei mengirim beberapa bekas muridnya belajar ke Belanda untuk disiapkan menjadi guru pada perguruan,” tulis Navis (hlm. 65).

Di luar tiga penulis itu, ada penulis lain yaitu Mara Karma (1926-2001), yang dikenal sebagai wartawan dan kritikus seni rupa. Ada juga alumni yang jadi birokrat: dokter Tarmidzi Taher (Menteri Agama) dan Kaharudin Nasution (gubernur di Sumatera).

==========

Terdapat kesalahan penulisan tanggal kematian M. Sjafei. Sebelumnya ditulis 11 November 1966. Seorang pembaca mengirim email ke redaksi untuk meluruskan kekeliruan itu dengan bukti yang sahih. Kami kemudian mengoreksinya menjadi tanggal 5 Maret 1969.

Baca juga artikel terkait HARDIKNAS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan