tirto.id - Bangunan itu sudah jadi gedung SMA Negeri 2 Bukittinggi, Sumatera Barat. Bentuknya masih bertahan, tidak banyak berubah. Ada beberapa tambahan gedung di sekitarnya sebagai ruang kelas.
Sekolah itu tadinya bukan bernama SMA Negeri 2 Bukittinggi. Dulu, kota ini masih sering disebut Fort de Kock dan sekolah itu masih berstatus Kweekschool (sekolah guru), yang lebih dikenal sebagai Sekolah Raja yang berdiri sejak 1856. Selain sekolah ini, di Bukittinggi zaman kolonial ada juga sekolah calon pegawai: MOSVIA.
Meski nama berganti, di ruang guru sekolah itu masih terpajang plakat Engku Nawawi Sutan Makmur, salah satu guru terkenal Sekolah Raja. Dia ikut membantu Charles Adriaan van Ophuijsen dalam membuat Ejaan van Ophuijsen. Si Meneer Belanda itu pun pernah mengajar di gedung sekolah yang sama.
Kweekschool biasanya dimasuki lulusan sekolah dasar tujuh tahun macam ELS atau HIS. Tak sembarang anak bisa masuk dua sekolah itu. Siswa umumnya terdiri dari anak-anak pembesar atau yang punya hubungan dengan pembesar. Di zaman itu, menjadi guru berarti menjadi priyayi, sehingga Kweekschool Bukittinggi termasuk sekolah bergengsi. Kehidupan guru pemerintah tergolong mapan di zaman itu dan sekolah guru pun diminati anak-anak priyayi.
“...Sebagian besar orang Sumatera Barat yang tamat dari sekolah-sekolah ini dan mendapatkan pendidikan barat lebih tinggi di Jawa—dengan sedikit pengecualian khusus—selalu menjauhkan diri dari gerakan nasionalis,” tulis Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998 (2005). Sedikit pengecualian khusus yang disebut Audrey Kahin itu di antaranya adalah dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Datuk Tan Malaka atau Rustam Effendi.
Selain dua tokoh itu, seorang ulama besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib, pernah juga belajar di Sekolah Raja. Demikian yang tercatat dalam buku Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini (1983). Ia memang belajar di sana sebentar saja karena keburu berangkat ke Mekah untuk naik haji dan belajar agama hingga jadi guru yang besar di sana.
Di era Engku Nawawi masih hidup dan anak perempuannya yang bernama Syarifah masih sekolah di sana, seorang Belanda bernama G.H. Horensma mengajar di sana. Guru Belanda di Kweekschool ini punya seorang murid cerdas, Sutan Ibrahim namanya. Ia kita kenal dengan (nama) gelarnya: Datuk Tan Malaka. Menurut Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik: 1925-1945 (2000), “G.H. Horensma, yang bersama istrinya amat tertarik kepadanya."
Sutan Ibrahim menaruh hati pada Syarifah, teman sekolahnya. Malang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Tan Malaka lulus dari sekolah itu tahun 1913. Setelahnya, dia kuliah di Harlem, Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, dia jadi guru di Deli sebentar, lalu masuk pergerakan nasional demi sebuah Republik di Hindia Belanda. Dia lantas tak lagi mengejar Syarifah Nawawi yang pernah jadi istri Bupati Bandung, RAA Wiranatakusumah V.
Tan Malaka adalah pendiri dari partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), yang pengikutnya antara lain Mr. Muhammad Yamin dan Adam Malik. Tan Malaka pernah bersekutu dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman. Mereka menolak diplomasi-diplomasi Belanda-RI yang merugikan pihak republik di masa Revolusi (1945-1949). Bagi Tan Malaka, mengherankan bahwa tuan rumah bernama Indonesia mau berunding dengan maling bernama Belanda.
Tak hanya Tan Malaka yang memilih jalan macam itu. Ada juga Rustam Effendi. Dia pernah menjadi guru di Siak dan pernah menulis naskah drama Bebasari. Setelah pemberontakan PKI 1926, Rustam kabur ke Eropa. Di Belanda, dia menjadi orang Indonesia pertama yang duduk di Parlemen Belanda Tweede Kamer (majelis rendah) sebagai wakil dari Partai Komunis Belanda. Setelah Indonesia merdeka, dia kembali ke Indonesia dan ikut bergerilya. Sebagai salah satu tokoh Republiken, dan tak dekat lagi dengan partai komunis. Politikus Dede Yusuf Effendi adalah salah satu cucunya.
Baik Rustam dan Tan Malaka punya adik kelas jauh lagi. Ia bukan orang Minang, melainkan Batak Mandailing. Abdul Haris Nasution namanya. Orang-orang Indonesia mengenalnya sebagai salah satu jenderal dan tokoh militer Indonesia. Dia menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) terlama dan dua kali menjabat di zaman Sukarno. Nasution juga tercatat sebagai jenderal yang lolos dalam penyergapan penculik Gerakan 30 September 1965.
Dalam autobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990), Nasution menggambarkan perasaannya sebagai siswa Sekolah Raja. “Masuk sekolah itu saya rasakan sebagai kebanggaan karena hanya satu siswa saja diterima dari tiap sekolah,” katanya.
Betapa tidak mudahnya masuk sekolah itu. Dari Sekolah Raja Bukittinggi itu, Nasution belajar lagi ke sekolah guru yang lebih tinggi jenjangnya sebelum ia menjadi guru di Musi Dua, dekat Palembang.
Di zaman Nasution masih remaja, menjadi guru adalah pilihan yang lebih masuk akal ketimbang menjadi perwira militer. Kala itu, orang Indonesia di militer Belanda tak akan lebih dari letnan kolonel. Untung Perang Dunia II mengubah segalanya. Nasution kemudian terdaftar di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung. Dia lulus sebagai letnan, tapi melarikan diri dari posnya ketika Jepang mendarat di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, karena sedikit orang dengan keahlian militer, Nasution dengan cepat menjadi panglima. Kariernya melesat sampai menjabat KSAD, lalu menteri pertahanan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani