tirto.id - Masih terkenang dalam ingatan, peristiwa yang terjadi sekitar Januari 2019. Kala itu, beberapa orang yang mengatasnamakan diri sebagai bobotoh—sebutan bagi kelompok pendukung Persib Bandung—mendatangi kediaman Ma’ruf Amin, di Jalan Situbondo, Jakarta. Pendukung Persib itu berasal dari Viking Persib Club (VPC), organisasi yang cukup tua, sudah berdiri sejak 17 Juli 1993.
Kedatangan mereka disebut dalam rangka memberikan dukungan pada Ma'ruf Amin di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Di masa itu, Ma’ruf diketahui ditunjuk oleh Joko Widodo sebagai calon wakil presiden, untuk mendampinginya maju di periode kedua.
Namun, selang berapa lama sejak pertemuan kelompok tersebut dengan Ma'ruf Amin, muncul sanggahan dari kelompok bobotoh lain. Bobotoh yang menemui Ma'ruf Amin disebut tak mewakili aspirasi politik kelompok tersebut.
Dukungan kelompok suporter sepak bola untuk kandidat di politik elektoral memang bukan hal baru. Sudah banyak calon kepala daerah, legislator, hingga presiden, yang mencoba mendekati kelompok suporter sepak bola. Mereka kerap memanfaatkan suporter sebagai "kendaraan" untuk mencapai posisi politik tertentu.
Pemerhati Sepak Bola, Rosnindar Prio Eko Rahardjo, berkomentar soal bagaimana calon kepala daerah menjadikan isu sepak bola sebagai "senjata". Hal itu disebut berhubungan dengan jumlah suporter sepak bola yang jumlahnya fantastis.
“Suporter sepak bola adalah komunitas olahraga dengan kuantitas terbanyak di Indonesia, bahkan di dunia. Ada anggapan dengan ‘memanfaatkan’ sepak bola, calon kepala daerah memiliki kans yang besar untuk memenangkan kontestasi pilkada (pemilihan kepala daerah) dengan harapan suporter sepak bola akan memilihnya,” ujarnya kepada Tirto, Senin (13/1/2025).
Pernyataan Rosnindar barangkali juga relevan dengan kejadian di Pilkada Jakarta 2024, saat para kontestan yang berlaga di provinsi tersebut berlomba mengeruk dukungan dari The Jakmania, sebutan bagi kelompok pendukung Persija Jakarta. Dua dari tiga pasangan calon, yakni Pramono Anung-Rano Karno dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana, berhasil mendekatkan diri dengan Jakmania.
Mereka datang tak sekedar tangan kosong. Keduanya membawa sederet janji dan program untuk mendukung organisasi suporter yang didirikan pada 19 Desember 1997 itu.
Pramono Anung-Rano Karno kala itu menjanjikan akan membuat Jakmania Center. Janji itu sempat disampaikan saat Pramono-Rano menyapa warga, sekaligus para pendukung klub Persija, di kawasan Tambora, Jakarta Barat, Minggu (8/9/2024).
Sementara Dharma Pongrekun menjanjikan Jakarta International Stadium (JIS) gratis untuk The Jakmania. Pernyataan tersebut dilontarkan usai mendaftar bersama pasangan Kun Wardana di KPU Jakarta, Kamis (29/8/2024). Namun, kata Kun, hal tersebut bisa dilakukan dengan melihat kesanggupan anggaran.
Sedangkan Ridwan Kamil menjadi satu-satunya kandidat yang cukup kesulitan membangun komunikasi dengan Jakmania. Pria yang akrab disapa Kang Emil itu terlalu lekat dengan bobotoh, yang notabene merupakan musuh bebuyutan bagi Persija di kompetisi domestik, sebab sebelumnya Emil menjabat sebagai Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat.
“Para calon berharap bisa meraup suara mereka (Jakmania). Tapi saat ini suporter sepak bola tidak mudah dibodohi. Di Jakarta RK menggunakan atribut Jakmania untuk berkampanye tapi tetap kalah,” ungkap Rosnindar.
Latar Ketum PSSI dan Keterlibatannya di Politik
Keterlibatan sepak bola dalam dunia politik sejatinya memang terjadi sejak lama. Di induk federasi, jabatan Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) juga seringkali menjadi batu loncatan untuk jabatan politik yang lebih tinggi. Argumen tersebut tercermin ketika Edy Rahmayadi, Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, hingga Nurdin Halid, diduga menjadikan Ketum PSSI sebagai kendaraan politik ke posisi kepala daerah.
Edy, misalnya, adalah mantan Ketum PSSI periode 2016-2019. Pada Pilkada 2018, ia berhasil memenangkan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Edy juga diketahui merupakan Ketua Dewan Pembina PSMS Medan. Sayangnya, saat itu, ia memilih untuk mempertahankan tiga jabatan sekaligus, hingga akhirnya memantik kritik dari masyarakat.
Pada Januari 2019, Edy lalu menanggalkan jabatannya sebagai Ketum PSSI. Ia mengklaim mengambil langkah itu untuk kepentingan PSSI. Keputusan Edy mundur dari PSSI ini juga seiring dengan skandal pengaturan skor yang berhembus.
Jejak mulus Edy dari kursi Ketum PSSI hingga Gubernur Sumut di 2018 tak berlaku bagi Iwan Bule dan Nurdin Halid di Pemilu Legislatif 2024. Keduanya diketahui gagal lolos ke Senayan.
Iwan Bule, yang merupakan Ketua Umum PSSI periode 2019-2023, hanya meraih 11.778 suara, berdasarkan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 16 Februari 2024 tersebut. Caleg DPR dapil Jawa Barat 10 itu berada di posisi kedua untuk perolehan suara di Partai Gerindra, melansir CNN Indonesia.
Sementara Nurdin Halid mengantongi 16.704 suara, menurut sumber yang sama. Ketum PSSI periode 2003-2011 itu berada di posisi ketiga caleg Partai Golkar pada pileg DPR dapil Sulawesi Selatan II. Nurdin sendiri sebelumnya pernah menjadi anggota DPR pada 1999 hingga 2004. Saat ini, Nurdin Halid menjabat sebagai Wakil Ketua Umum (Pratama) Partai Golkar.
“Maka, ketika kemudian Erick Thohir itu menjadi Ketua Umum PSSI, sulit bagi publik untuk tidak mengait-ngaitkan dengan urusan politik,” ujar pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, kepada Tirto, Selasa (14/1/2025).
Erick sendiri terpilih melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB) dengan perolehan sebanyak 64 suara pada pertengahan Februari 2023 lalu. Ia berhasil unggul dari calon kuat atau rivalnya, La Nyalla Mattaliti, yang memperoleh sebanyak 22 suara. Sedangkan ketiga kandidat lainnya, yakni Arif Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, dan Fary Djemy Francis, nihil suara.
Para pemilik suara dalam KLB PSSI berjumlah 86, plus satu federasi tambahan. Mereka terdiri dari 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, 34 asosiasi provinsi (asprov), dua asosiasi, dan satu federasi futsal Indonesia.
Meski tampak menang mudah, perjalanan Erick sesungguhnya cukup berliku, utamanya berkaitan dengan dirinya yang masih memegang jabatan sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, seperti kata Adi Prayitno, sulit bagi publik untuk tidak mengait-ngaitkan dengan urusan politik.
Dari segi politiknya, kata Adi Prayitno, jelas Erick Thohir adalah pejabat negara, dengan posisinya sebagai Menteri BUMN. Namun, Erick dinilai lebih banyak dibicarakan orang terkait caranya menata persepakbolaan Indonesia. Secara kontras, kinerjanya sebagai menteri BUMN jarang menjadi topik diskusi publik.
“Itulah yang kemudian saya selalu mengatakan, bahwa persoalan politik dan sepak bola, dan organisasi olahraga lain di Indonesia, dijauhkan dari urusan-urusan politik, rasa-rasanya sangat mustahil,” jelas dia.
Popularitas Sepak Bola Jadi Kunci?
Faktanya, sepak bola memang tidak bisa lagi dipisahkan dari kepentingan politik dan bisnis. Menurut Elena Semino dan Michela Masci, dalam studinya berjudul ”Politics is Football: Metaphor in the Discourse of Silvio Berlusconi in Italy”, sepak bola menjadi alat bagi para politisi untuk menciptakan metafora demi menghadirkan imaji positif bagi individu-individu, yang terlibat sebagai politisi, maupun partai politik yang diwakilinya.
Aktivitas yang berkaitan dengan sepak bola memungkinkan mereka membangun bermacam citra dan hubungan antara politisi dan target pemilih mereka.
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menjelaskan, dalam prinsip politik modern, khususnya di era pemilu langsung, cara kerja politik ini persis seperti cara kerja selebritas atau artis, yakni sangat mengandalkan popularitas dan fanbase.
“Karena sepak bola adalah olahraga paling populer, paling militan, dan paling banyak fansnya, otomatis sepak bola menjadi objek rebutan politik,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Senin (13/1/2025).
Musfi mengatakan, saat ini sepak bola adalah olahraga paling populer di dunia. Sedangkan masyarakat Indonesia memiliki militansi dan kesukaan yang tinggi pada sepak bola.
Dengan demikian, siapapun yang memiliki posisi penting di sepak bola, menurut Musfi, otomatis dia bakal mendapatkan gelombang perhatian publik, bahkan sekalipun tokoh tersebut tidak melakukan apa-apa.
“Jadinya, selama sepak bola masih jadi olahraga paling populer, maka selama itu pula sepak bola tidak bisa dipisahkan dari politik. Ini adalah ikatan yang saling menarik satu sama lain,” ujar Musfi.
Antusiasme rakyat Indonesia terhadap sepak bola memang bisa dibilang paling tinggi dibanding olahraga lainnya. Survei Indikator Politik selama 30 Oktober - 5 November 2022 menemukan, sebanyak 21 persen responden mengaku menyukai sepak bola.
Proporsi itu lebih gemuk dari mereka yang menyukai jogging/jalan santai, bermain bulu tangkis, bermain voli, senam/yoga, bersepeda, ataupun berenang. Adapun jajak pendapat ini melibatkan 1.220 warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah.
Belum lagi jika bicara perbandingan jumlah penggemar sepak bola di Indonesia dan negara lainnya. Menurut survei Ipsos periode 26 Agustus - 9 September 2022, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penggemar sepak bola terbesar di dunia. Dari seluruh responden Indonesia, proporsi yang menyukai sepak bola menyentuh 69 persen.
Angka tersebut mencakup responden yang mengaku penggemar berat dan mereka yang mengikuti sepak bola tapi hanya menonton klub favorit. Proporsi fans sepak bola di Tanah Air unggul dibanding 33 negara lain yang disurvei, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, India, dan Argentina.
Selain Ipsos, temuan serupa juga terlihat di jajak pendapat TGM Research pada tahun yang sama. Hasil survei TGM Research terhadap 666 responden berusia 18 - 64 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa 90 persen di antaranya mengaku punya ketertarikan pada sepak bola.
Tak heran jika persentase itu paling tinggi ketimbang negara Asia Pasifik lain, seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan, yang masing-masing hanya tercatat 88 persen, 77 persen, 76 persen, dan 66 persen. Secara umum, di Asia Pasifik, sebanyak 69 persen responden mengatakan mereka tertarik pada sepak bola.
Pengamat sepak bola, Rossi Finza Noor, menjelaskan, sederhananya memang sepak bola menarik banyak massa. Maka, tidak mengherankan, pada masa lalu, kesuksesan sebuah tim sepak bola lokal berjalan beriringan dengan kejadian pemilihan lokal di dunia politik.
Bagi Rossi, ini adalah perkara bagaimana politik di Indonesia mempengaruhi banyak aspek kehidupan—bukan sebaliknya. Selama politik masih mengedepankan elektabilitas, memenangi hati masyarakat luas via janji—bukan ide untuk hidup lebih layak—sepak bola masih akan menjadi cara cepat untuk mengatrol elektabilitas.
Nuansa Politik dalam Pemecatan STY
Keputusan Erick Thohir untuk memberhentikan Shin Tae-yong sebagai pelatih Timnas Sepak Bola Indonesia, dan menggantikannya dengan Patrick Kluivert, juga disebut tidak lepas dari urusan politik. Rosnindar Prio Eko Rahardjo, yang juga merupakan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bahauddin Mudhary Madura, melihat bahwa Erick Thohir berambisi tampil di Pilpres 2029 setelah di 2024 pupus. Paling tidak, sebagai cawapres.
“Saya melihat jelas pemecatan STY ada unsur politisnya. Dengan Indonesia lolos ke Piala Dunia, akan menjadi ‘prestasi’ bagi ET sekaligus ‘tabungan politik’ 2029. Memecat STY dan menggantikannya dengan Patrick Kluivert adalah upaya politik ET untuk memuluskan Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026,” tegasnya.
Hal ini kemudian diamini oleh Adi Prayitno. Menurut Adi, Shin Tae-yong menjadi pertaruhan dari politik dan karir Erick Thohir di masa yang akan datang. Karena jika pengganti Shin Tae-yong, dalam hal ini Patrick Kluivert, mampu membawa Indonesia jauh lebih hebat dan baik, Erick Thohir pasti akan dibayangkan sebagai calon pemimpin populer di 2029.
“Tentu sebagai kandidat, baik sebagai calon presiden ataupun sebagai calon wakil presiden,” ujar dia.
Tapi sebaliknya, ketika pilihan Erick Thohir tidak sesuai dengan harapan pendukung sepak bola Indonesia, maka jalannya ke posisi yang lebih tinggi di politik, diprediksi akan berliku.
Namun, jauh sebelum maju sebagai Ketum PSSI, Erick Thohir sempat lebih dulu meminta agar semua pihak tidak mencampuradukkan antara sepak bola dan politik. Hal ini merespons pertanyaan tentang pencalonan dirinya sebagai calon ketua umum PSSI dan kemungkinan keikutsertaannya dalam kontestasi politik Pilpres 2024 lalu.
"Saya selalu bilang, jangan campur adukkan antara politik dan sepak bola. Kita harus benar-benar pisahkan. Yang itu memang, bagian dari politik yang sedang berjalan. Kalau ini (PSSI) tidak ada hubungan dengan politik. Ini bagian yang harus kita benahi sama-sama," kata Erick Thohir kala itu.
Padahal, menurut Rosnindar, sepak bola dan politik tidak dapat dipisahkan, karena saat ini, sepak bola masih digunakan sebagai "kendaraan" paling efektif bagi tujuan politik golongan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas, sepak bola dilihat sebagai salah satu alat diplomasi negara.
“Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia lain, sepak bola juga menjadi 'alat politik' bagi sebuah negara atau orang tertentu. Maka sepak bola (terlebih saat ini) sangat sulit dipisahkan dengan politik (dan industri),” jelas dia.
Rosnindar bilang, memisahkan sepak bola dan politik memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Organisasi sepak bola PSSI harus netral dan tidak terikat dengan partai politik atau penguasa dan pengelolaan sepak bola harus independen dari pengaruh politik.
Selain itu, penting juga ke depannya, untuk mendasarkan pengelolaan sepak bola pada profesionalisme, bukan politik. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur regulasi untuk mencegah intervensi politik dalam sepak bola. Di samping itu, perlu juga mengembangkan sistem pengelolaan keuangan yang transparan, memberikan edukasi kepada pemain, pelatih, dan pendukung, tentang pentingnya memisahkan sepak bola dan politik.
Editor: Farida Susanty