Menuju konten utama

Rupa-Rupa Sumber Cuan Influencer: Konten Sponsor hingga Afiliasi

Banyak jenama saat ini lebih lazim menggunakan jasa influencer yang aktif di Instagram dan TikTok.

Rupa-Rupa Sumber Cuan Influencer: Konten Sponsor hingga Afiliasi
Header Decode Ladang Cuan Influencer. tirto.id/Fuad

tirto.id - Ada banyak jalan bagi para influencer atau pemengaruh menggaet pundi-pundi uang. Hal ini pula yang agaknya membuat influencer makin digandrungi sebagai pilihan karir. Tak cuma menguntungkan jenama (brand) dalam aspek pemasaran dan kampanye produknya, influencer punya peran lebih dari sekadar tukang promosi.

Andrian Novesal (26), seorang key opinion leader specialist (KOL specialist) dari sebuah jenama produk kecantikan dan kesehatan mengungkap bahwa peran pemengaruh saat ini begitu vital dalam pemasaran. Pria asal Kota Bogor ini sudah empat tahun bekerja dan berhubungan dengan ribuan pemengaruh. Selama itu pula, Andri—sapaan akrabnya—memperhatikan bahwa simbiosis mutualisme antara jenama dan pemengaruh mesti dirawat betul-betul jika perusahaan ingin menggaet keuntungan.

“Gue setiap hari itu kalau di KOL ini ada namanya listing kan. Listing itu ibaratnya gue nyari KOL yang akan gue ajak kerja sama. Nah, sebulan itu bisa ratusan,” ucap Andri kepada wartawan Tirto, Senin (22/7/2025).

Andri mengaku telah bekerja sama dengan berbagai tipe influencer. Dia menjelaskan bahwa tingkatan atau tier pemengaruh dikategorikan dari jumlah pengikutnya (followers) di media sosial.

Rinciannya, nano influencer punya pengikut di bawah seribu sampai 10 ribu, microinfluencer berpengikut 10 ribu sampai 100 ribu, macroinfluencer berpengikut 100 ribu sampai 1 juta, lalu di pucuk ada megainfluencer atau top starsinfluencer berpengikut lebih dari sejuta.

Menurutnya, jenama akan menetapkan objektif atau target tersendiri bagi setiap tier pemengaruh. Nano influencer, misalnya, cukup efektif untuk menjangkau awam yang tidak begitu mengenal produk. Sementara itu, pemengaruh di level mikro dan makro cukup efektif untuk meraih pembeli baru dan meningkatkan perhatian (awareness).

“Kalau influencer mega itu udah pasti nyari viewers atau penetrasi produk sih, dan nambah kredibilitas suatu produk,” kata Andri.

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Simbiosis Jenama dan Pemengaruh

Andri membeberkan beberapa metode atau bentuk kerja sama yang digunakan jenama untuk meminang pemengaruh. Yang paling umum, kata dia, jenama mengajak pemengaruh bekerja sama sponsor atau endorsement. Caranya cukup sederhana, pemengaruh tinggal mengunggah konten yang memuat produk sambil mempromosikannya sesuai arahan (brief) dari jenama.

Metode kedua, influencer dengan performa yang baik dan potensial akan kembali diajak kerja sama. Bedanya, bentuknya kali ini lebih dari sekadar promosi konten di media sosial. Bisa jadi influencer diajak untuk menjadi pembicara atau hadir dalam acara yang dibuat jenama atau jenama mempekerjakannya untuk melakukan siaran langsung (live) di medsosnya.

“Kalau performanya terus bagus dan menguntungkan kami, tahap akhirnya bisa jadi direkrut untuk brand ambassador,” ungkap Andri.

Tentu, kata Andri, besaran duit yang mengalir ke kantong influencer akan berbeda-beda untuk setiap metode kerja sama. Tanpa merinci angka pastinya, dia menyebut bahwa sebuah jenama bisa membakar ratusan juta rupiah setiap bulan untuk pemasaran melalui influencer.

Apa yang diungkap Andri itu sejalan dengan laporan survei yang dirilis media independen dan konsultan jenama INSG.CO pada Mei 2025 lalu. Data INSG.CO menunjukkan bahwa pengeluaran perusahaan di Indonesia untuk jasa pemengaruh terus meningkat dari tahun ke tahun.

Di Indonesia, pengeluaran perusahaan untuk jasa pemengaruh pada periode 2017-2024 bertumbuh pesat sampai 729 persen. Belanja iklan influencer di Indonesia diperkirakan akan mencapai 257,35 juta dolar AS pada tahun ini.

Dengan tingkat pertumbuhan tahunan diestimasikan 9,81 persen, volume pasar untuk jasa influencer akan berlipat ganda menjadi 410,85 juta dolar AS pada 2030.

Sementara itu, laporan We Are Social tahun lalu menunjukkan bahwa jumlah uang yang digelontorkan untuk aktivitas influencer di dunia maya di Indonesia mencapai 190 juta dolar AS—meningkat 18,8 persen dari 2023.

Menurut Andri, jenama atau perusahaan tak akan serta-merta menggarap semua kanal media sosial dengan memanfaatkan jasa pemengaruh. Dengan biaya jasa pemengaruh yang semakin tinggi, jenama atau perusahaan dituntut lebih jeli dalam mengatur strategi pemasaran.

Andri sendiri, misalnya, lebih memilih bekerja sama dengan influencer di Instagram dan TikTok. Hal itu berdasarkan analisis yang sudah dilakukannya. Instagram, kata dia, sangat berguna untuk menggaet konsumen baru dan menguatkan posisi jenama di antara produk pesaing.

“Karena, di Instagram yang dieksplorasi sisi estetikanya. Nah, kalau di TikTok, gue senangnya itu dengan uang enggak seberapa, lu dapet awareness dan reachness sampai tingkat global,” ujar Andri.

Penuturan Andri sejalan dengan laporan PartiPost pada tahun lalu yang menyebutkan bahwa Instagram, Facebook, dan TikTok merupakan media sosial paling populer di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Pengguna Instagram di Indonesia diperkirakan mencapai 92 juta, sementara TikTok mencapai 106 juta pengguna.

Mengacu pada laporan INSG.CO, selain WhatsApp yang memang digunakan untuk bertukar pesan sehari-hari, Instagram dan TikTok merupakan media sosial yang paling sering digunakan untuk pemasaran influencer.

Instagram dan TikTok sering dipilih sebagai arena pemasaran influencer diperkirakan karena kontennya paling cepat mencapai viralitas. Berkat kerja algoritma For You Page (FYP), amat mudah untuk menjadi viral di TikTok. Pun tak butuh mengeluarkan biaya besar.

Selain itu, konten TikTok yang viral biasanya juga akan diunggah dan disebarkan ulang di platform lain, seperti Instagram dan X.

Sementara itu, riset Tirto dan Jakpat pada Juli 2025 menunjukkan bahwa mayoritas responden yang punya keinginan menjadi influencer memang merasa TikTok dan Instagram sebagai kanal paling menjanjikan. Dari 831 responden yang ingin menjadi influencer, 75,09 persen memilih TikTok sebagai kanal yang paling potensial. Lalu, Instagram (11,67 persen) berada di posisi kedua.

Perang Harga Jasa Influencer

Rania (29), seorang KOL specialist yang berkarier di sebuah agensi influencer, tidak menampik bahwa banyak jenama saat ini lebih lazim menggunakan jasa influencer yang aktif di Instagram dan TikTok. Sebelumnya, jenama kerap menggandeng influencer yang moncer di YouTube.

Pergeseran tren ini, kata Rania, terjadi usai Pandemi COVID-19. Menurutnya, hal ini dipengaruhi perilaku konsumen yang terus berubah. Kini, mayoritas warganet lebih nyaman dengan konten-konten pendek dan praktis yang merupakan “spesialisasi” Instagram dan TikTok.

Dari segi biaya, influencer di Instagram dan TikTok pun lebih ramah kocek bagi jenama karena biaya produksi kontennya tidak semahal di YouTube.

“Kerja sama juga lebih sederhana karena tinggal kasih produk dan nge-review. Malah ada yang tinggal posting aja konten yang udah disiapin sama brand-nya,” terang Rania kepada wartawan Tirto, Senin (22/7/2025).

Perempuan yang sudah bergelut mengelola KOL hampir 5 tahun itu mengaku telah meneken kerja sama dengan ribuan influencer. Menariknya, jenama hari ini justru tampak lebih tertarik dengan influencer level nano dan mikro, ketimbang yang levelnya makro dan mega.

Telaahnya, faktor bujet menjadi pertimbangan utama. Dari segi performa, kata dia, bahkan engagement rate dari influencer berpengikut belasan sampai puluhan ribu justru lebih signifikan.

Menurut laporan global yang disusun laman Influencer MarketingHub, pemengaruh TikTok tier nano dan mikro paling murah mematok harga Rp81 ribu dan Rp410 ribu untuk satu konten yang diunggah. Untuk harga tertinggi di tier nano dan makro berada di angka Rp410 ribu dan Rp2 juta per unggahan.

Sementara di Instagram, rentang biaya yang perlu dikeluarkan jenama untuk influencer level nano, mikro, hingga makro berada di rentang Rp408 ribu sampai Rp29 juta. Bahkan, untuk influencer yang berada di level mega, minimal untuk satu postingan mencapai Rp6 juta.

Rania menilai bahwa pemengaruh sebetulnya bisa memanfaatkan banyak cara untuk menambah pundi-pundi bayarannya. Selain melakukan kerja sama dalam bentuk endorsement, pemengaruh bisa melakukan affiliate serta giveaway yang didukung oleh jenama.

Namun, kata dia, yang paling sering ditemui memang metode kerja sama endorsement dan sponsored content. Di sisi lain, beberapa pemengaruh ternama bahkan sudah mampu menjual produk dari jenamanya sendiri.

“Ada juga yang live dan dapat gift juga dan dapat komisi penjualan saat live,” jelas Rania.

Laporan dari Cube Asia pada 2023 menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga model pembayaran yang diterima influencer dari kerja sama dengan jenama. Pertama, pembayaran langsung per konten review produk atau endorsement yang diunggah.

Kedua, jenama mengirimkan produk secara gratis kepada influencer sebagai bentuk pembayaran. Ini biasanya dilakukan kepada influencer dengan jumlah pengikut kecil.

Terakhir, pembayaran dengan komisi penjualan yang dilakukan lewat adopsi loka pasar—biasanya berkisar 10-30 persen dari harga produk.

Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa jalur penghasilan influencer saat ini sudah beragam. Mulai dari endorsement, afiliasi, monetisasi platform, sampai menjual produk atau jasa. Namun, meski menjanjikan, pendapatan dari profesi influencer ini belum tentu stabil.

Terlebih, seorang pemengaruh sangat bergantung pada perkembangan algoritma platform dan dinamika tren.

“Keberlanjutan profesi ini akan sangat bergantung pada kemampuan menjaga kepercayaan audiens dan mendiversifikasi penghasilan,” kata Yusuf kepada wartawan Tirto, Senin (21/7).

Ketimpangan akses di antara influencer juga menjadi isu yang penting. Influencer di kota besar, menurutnya, memiliki akses lebih baik ke jenama dan agensi, sementara kreator dari daerah tertinggal dari segi jangkauan pasar, koneksi, dan literasi digital.

Hal serupa juga terjadi dari sisi ceruk pasar atau niche para pemengaruh. Menurut Yusuf, menjadi pemengaruh bidang gaya hidup, kecantikan, dan hiburan cenderung lebih menguntungkan dibandingkan menggeluti konten di ceruk edukasi atau budaya.

Influencer pada produk yang sensitif juga harus ada aturannya, misalnya seperti keuangan. Saya kira cukup tepat mengatur influencer yang boleh memberikan pengaruh tentang produk keuangan. Hal serupa juga bisa diatur untuk produk yang lain,” terang Yusuf.

Baca juga artikel terkait INDEPTH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Decode
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi