tirto.id - Modal pengikut (followers) banyak tak otomatis membuat seorang influencer atau pemengaruh mudah menarik perhatian jenama (brand) untuk diajak bekerja sama. Kualitas konten, strategi distribusi, sampai konsistensi, menjadi faktor yang perlu diperhatikan seorang pemengaruh agar mampu mengeruk untung lewat konten.
Banyaknya jumlah pembuat konten yang merangkap influencer membuat persaingan dalam skena profesi ini makin ketat. Tidak cuma mengandalkan endorsement atau promosi produk dari jenama semata, influencer dituntut lebih kreatif dan adaptif memanfaatkan setiap peluang untuk mendulang cuan.
Bunga Edenia N.N. Gultom (25) adalah salah satu influencer yang terus mencari pola untuk mempertahankan kualitas konten-kontennya. Denia, sapaan Tirto untuknya, mengaku belum sampai satu tahun terjun di dunia influencer. Perempuan yang berdomisili di Jakarta ini baru mulai mendapatkan banyak tawaran endorsement dari berbagai jenama usai salah satu kontennya viral di media sosial awal tahun ini.
Ketika diwawancarai Tirto, Selasa (22/7/2025), jumlah followersInstagram Denia sudah mencapai 118 ribu pengikut. Sementara di TikTok, akun @bungaedenia diikuti oleh 156 ribu lebih pengguna dengan total likes mencapai 5,8 juta.
“Kalau produk [endorsement] pertama saya itu liptint sih dari brand kecantikan. Liptint yang pertama banget, terus kedua parfum di akhir Februari,” ucap Denia kepada wartawan Tirto.
Denia menyatakan bahwa saat ini dirinya tengah menekuni metode endorsement untuk menambah pundi-pundi penghasilannya. Karena masih baru memulai, Denia mengaku belum menyusun rate card atau kartu biaya jasa,. Sejauh ini, besaran honornya hanya didasari penawaran dari jenama yang ingin bekerja sama.

Kendati begitu, Denia tetap mengukur harga yang ditawarkan jenama dengan brief atau arahan konten yang merek inginkan. Jika dirasa masih dalam batas kemampuannya, biasanya dia tak ragu untuk bekerja sama.
“Biasanya minimumnya tuh di range Rp1,5 juta sih sampai Rp2 juta [per konten]. Tapi, balik lagi tergantung brand-nya sih,” ucap Denia.
Selain endorsement, Denia juga sempat menerima promosi produk lewat unggahan story di Instagram. Untuk satu kali story, dia menerima bayaran pada rentang Rp300 ribu sampai Rp350 ribu.
Dalam sebulan, Denia mengaku minimal ada dua jenama yang bekerja sama dengannya. Jika angka minimal kerja sama dua jenama itu dikalikan dengan rerata rate card Denia (Rp2 juta), sedikitnya Denia bisa meraup uang Rp4 juta per bulan dari aktivitas endorsement.
Namun, Denia sendiri menyampaikan bahwa ada beberapa jenama yang bisa memberikan upah lebih dari Rp2 juta untuk satu konten.
“Itu pas awal-awal sih. Kemarin, ada ngasih Rp8 juta gitu [per konten]. Itu yang paling mahal,” kata Denia.
Terlepas dari bayaran yang menggiurkan itu, Denia hingga saat ini masih memperlakukan kegiatan influencer sebagai cara meraup penghasilan tambahan. Namun, dia tidak menutup peluang-peluang kerja sama ke depan jika tawaran tersebut cocok dengannya.
Saat ini, paling sering Denia menerima endorsement dari jenama kecantikan. Namun, kata dia, tantangan terbesarnya adalah konsistensi membuat konten serta beradaptasi dengan berbagai karakter jenama.
“Kalau dari jenama memang dari payment ada yang agak lama sih, terus dari brief-nya juga kadang detail banget mereka,” sambung Denia.
Instagram dan TikTok Paling Populer
Mengacu dari laporan yang dirilis media independen dan konsultan jenama INSG.CO, besaran biaya untuk jasa influencer per satu kali unggahan bervariasi tergantung platform yang disasar.
Data yang dihimpun INSG.CO menunjukkan makin banyak jumlah followers seorang pemengaruh, akan makin tinggi pula biaya yang harus dirogoh jenama untuk jasanya. Jika ditelaah lagi, biaya jasa yang dipatok para pemengaruh TikTok di Indonesia masih jauh lebih rendah ketimbang pemengaruh Instagram dan YouTube.
Hal ini bisa jadi disebabkan konten-konten di TikTok yang memang dituntut ringkas dan mengedepankan sisi viralitas. Konten Instagram lazimnya dituntut lebih estetik, sementara YouTube biasanya digunakan untuk konten video berdurasi lebih panjang.
Terlepas dari hal itu, Instagram dan TikTok tak dipungkiri merupakan platform media sosial paling populer yang dipakai oleh influencer. Laporan INSG.CO menunjukkan bahwa pemengaruh paling sering menggunakan Instagram dan TikTok untuk kampanye pemasarannya ketimbang platform lain. Persentasenya tercatat 69,9 persen dan 22,5 persen.
Selviyasari (30), influencer asal Kota Blitar, Jawa Timur, misalnya, mengaku lebih memilih membuat konten di Instagram dan TikTok dibanding platform lainnya. Menurut perempuan yang menggeluti profesi influencer sejak 2022 ini, dua platform tersebut paling potensial menggaet pundi-pundi cuan saat ini.
Selvi–sapaan akrabnya–lebih rutin memanfaatkan endorsement dan pemasaran affiliate dengan jenama untuk meraup cuan. Dengan modal jumlah followers sebanyak 64 ribu lebih di Instagram, Selvi minimal mampu bekerja sama dengan 10 merek setiap bulan.
“Konten di TikTok awalnya yang jalan, tapi banyak brand yang minta kami juga di Instagram. Sekarang, dua-duanya jalan,” kata Selvi kepada wartawan Tirto, Selasa (22/7/2025).
Selvi bisa dibilang pembuat konten yang sudah punya nama untuk ceruk (niche) konten rumah tangga dan gaya hidup. Akun TikTok pribadinya yang bernama @selviya.sari telah diikuti oleh 202 ribu lebih pengikut dengan total likes mencapai 11,6 juta.
Sepenuturan Selvi, jenama yang bekerja sama dengannya berasal dari beragam industri, seperti gaya hidup, kesehatan, makanan dan minuman, perjalanan, hingga kecantikan. Padahal, Selvi mengaku awalnya membuat konten cuma untuk dokumentasi kenangan-kenangan dengan suami. Tak dinyana, itu kini justru sudah menjadi sumber penghasilan bagi Selvi.
“Untuk ini sih menurutku jadi penghasilan utama saya ya, sebagai istri maksudnya. Karena, selama ini kan memang saya kan enggak kerja. Memang setelah menikah itu hanya fokus di dalam rumah,” ucap Selvi.
Untuk biaya jasa endorsement, Selvi mematok Rp500.000-Rp800.000 per unggahan. Perbedaan harga itu biasanya tergantung platform yang digunakan serta mempertimbangkan tambahan permintaan yang diinginkan jenama.
Sementara untuk promosi produk lewat unggahan story Instagram, Selvi memasang harga Rp50.000-Rp100.000 per unggahan. Uniknya, Selvi mengaku justru pendapatan dari aktivitas affiliate bisa lebih besar ketimbang dari endorsement.
Lewat kerja sama secara affiliate, Selvi mendapatkan komisi jika ada yang membeli produk yang terhubung dengan kontennya. Bahkan, Selvi mengaku pernah meraup untung Rp15 juta dalam satu bulan hanya dari konten affiliate.
Sayangnya, kata dia, affiliate sendiri tidak menjamin akan selalu ada penonton yang terkonversi menjadi pembeli produk.
Menurutnya, kualitas konten dan konsistensi akan menjadi penentu penghasilan seorang pemengaruh. Saat ini, dengan endorsement sambil jualan produk di loka pasar, Selvi merasa sudah memiliki sumber penghasilan utama yang bisa diandalkan saban bulan.
“Tapi, kami tetap rutinnya endorsement ya karena itu kan yang pasti. Kalau affiliate, kadang tergantung produknya dan juga kontennya pecah telur apa enggak, kadang enggak ada yang beli juga,” ucap Selvi.
Ceruk Ekonomi Potensial
Mengacu laporan dari Cube Asia & Impact.com (2023) yang memotret perilaku konsumen di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, didapatkan hasil bahwa konsumen lebih banyak membeli produk yang disajikan oleh pemengaruh di level mega atau yang memiliki pengikut lebih dari 1 juta pengguna.
Sebanyak 67 persen konsumen percaya pada produk yang ditampilkan influencer level mega. Tetapi, ia bersaing ketat dengan kepercayaan terhadap produk yang diusung influencer level makro (100 ribu sampai 1 juta pengikut) dengan jumlah 63 persen.
Di laporan yang sama, kita bisa melihat adanya kesenjangan rekomendasi pembelian produk yang cukup tinggi antara influencer mega dan makro di Indonesia. Sebanyak 73 persen konsumen Indonesia lebih memilih rekomendasi produk dari influencer mega ketimbang influencer makro (62 persen), mikro (46 persen), maupun nano (37 persen).
Sementara itu, laporan HypeAuditor (2023) menilai bahwa pemengaruh level nano di Instagram memiliki engagement rate (ER) tertinggi dibandingkan level lainnya. Engagement rate merupakan metrik yang digunakan untuk mengukur seberapa aktif audiens berinteraksi dengan konten yang dibuat oleh influencer.
Di Indonesia, ER untuk influencer nano rerata mencapai 1,85 persen di Instagram. Angka ini lebih besar dibandingkan influencer level mega (0,69 persen), makro (0,66 persen), dan mikro (0,83 persen). Hal ini menunjukkan influencer di level nano bisa menjadi pilihan tepat untuk meningkatkan interaksi produk dengan calon konsumen, meskipun dengan jumlah followers lebih sedikit.
Peneliti Bidang Ekonomi dari The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, memandang bahwa ceruk ekonomi dari profesi pemengaruh memiliki potensi berkelanjutan dalam jangka panjang. Tingginya views, likes, dan jumlah subscriber juga akan menentukan cara kerja algoritma. Inilah tantanganyang harus dikelola oleh para pemengaruh untuk menjaga stabilitas pekerjaannya.
Di sisi lain, regulasi platform dan disrupsi teknologi dapat memengaruhi keberlanjutan model bisnis influencer. Seperti bisnis-bisnis yang lain, hanya yang agile, selektif, dan adaptif yang bisa bertahan dalam skena bisnis influencer.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, berpendapat bahwa meskipun terus tumbuh dan menarik perhatian, profesi influencer dinilai belum bisa dikategorikan sebagai sektor ekonomi tersendiri karena masih terintegrasi dalam sektor digital dan industri kreatif.
Menurutnya, perkembangan pesat profesi influencer tidak lepas dari peran media sosial dan teknologi komunikasi digital. Namun, Faisal mengingatkan bahwa profesi ini sangat mungkin mengalami disrupsi karena adanya inovasi teknologi.
“Bisnis influencer ini bisa sangat berubah, tergantung bagaimana teknologi menciptakan faktor-faktor baru yang mengganggu model bisnis saat ini,” kata dia kepada wartawan Tirto, Selasa (22/7/2025).
Faisal turut menyoroti pentingnya regulasi perpajakan yang adil pada profesi digital seperti influencer. Dia menekankan bahwa influencer perlu menjadi subjek pajak dengan tarif yang bersifat progresif. Karenanya, negara perlu memastikan hak-hak influencer sebagai pekerja digital terpenuhi, termasuk akses terhadap jaminan sosial dan perlindungan hukum.
Di samping itu, Faisal menekankan pentingnya peningkatan literasi keuangan di kalangan influencer agar mampu mengelola pendapatan dan memahami kewajiban perpajakan lebih baik.
“Sebagai influencer tetap harus mendapatkan hak-haknya sebagai seorang pekerja, sebagai profesi yang khusus dan tentu saja juga dari sisi literasi keuangannya,” ujar Faisal.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id




































