Menuju konten utama

Saatnya Para Pakar Merangkap Jadi Influencer

Kepakaran di era digital harus dihidupkan kembali lewat cara-cara yang inovatif.

Saatnya Para Pakar Merangkap Jadi Influencer
Header Decode Saring Sebelum Sharing- Influencer Juga Bisa Salah 2. tirto.id/Fuad

tirto.id - Dalam tiga bulan terakhir, Rani (27) aktif menonton konten-konten influencer yang dia follow di Instagram dan TikTok. Tak cuman satu akun, tapi total empat akun dengan latar berbeda, mulai dari influencer yang mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, hingga influencer yang kerap merefleksikan hidup dengan ajaran agama Islam.

Rani bilang, selain untuk mengulik informasi atau belajar hal baru, ia memantau konten influencer untuk tujuan rekreasional alias refreshing. Unggahan salah seorang pemengaruh, Ian Hugen, misalnya dinikmati Rani lantaran dikemas sangat artistik.

“Kalau untuk Ian Hugen sama Michelin Cheeryl itu, aku lebih ke kayak rekreasi gitu loh. Konten mereka tuh seru, jadi buat refreshing aja kayak gitu. Melihat dunia yang tidak pernah aku selami,” cerita Rani lewat percakapan Zoom, Selasa (15/7/2025).

Tapi, alih-alih menelan informasi mentah-mentah, ia justru punya kebiasaan untuk selalu mengecek setiap konten influencer yang ia konsumsi, termasuk apakah konten tersebut berbayar dan sejauh mana narasi yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, Rani sadar, dalam beberapa kasus, influencer hanya mengutamakan engagement ketimbang verifikasi fakta.

Hal itu dia sadari pasca merasa tertipu atas konten influencer sewaktu SMA. Kala itu, Rani tengah senang-senangnya menonton konten para YouTuber soal perawatan tubuh dan tips-tips kecantikan lainnya. Ia lalu mempraktikkan memakai masker tomat yang diklaim bisa mencegah jerawat, tapi berujung tidak cocok untuk kulitnya.

“Yang mana setelah aku tahu, sekarang misalnya kayak ada dokter kulit yang mulai ikut berkonten ngasih edukasi. Ternyata apa yang aku konsumsi dulu itu infonya salah semua. Dan justru berpotensi merusak kulit, dan itu terjadi di aku gitu loh efeknya,” kata Rani mencoba mengingat.

Ilustrasi Konten di Sosial Media

Ilustrasi Konten di Sosial Media. foto/istockphoto/materi adv

Berbagai kandungan dalam tomat memang bikin masker tomat bisa bermanfaat mengatasi jerawat dan mengontrol minyak berlebih pada kulit. Akan tetapi, menukil artikel Halodoc yang sudah ditinjau dr. Rizal Fadli, penggunaan tomat untuk mengatasi jerawat sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter kulit.

“Yang paling gila itu dulu ada YouTuber yang memang pelopor beauty creator di awal-awal ada YouTube. Terus dia pernah share tip kecantikan dia itu adalah pakai bubuk tahi kucing yang kering itu buat melembabkan wajah. Itu kayak gila banget sih. Aku nggak tau sih kontennya masih ada atau nggak, tapi itu dia pernah share kayak gitu. Cuman aku nggak ngikutin yang itu loh, tapi ada tip-tip lainnya yang ternyata salah dan aku ikuti juga,” sambung Rani.

Pengalaman buruk yang Rani alami bikin dia jadi semakin mawas diri ketika melihat konten-konten para pemengaruh. Menurut Rani, tak seperti dahulu kala sumber informasi terbatas, kini sudah banyak profesional dari berbagai bidang yang turut nyemplung berbagi edukasi lewat media sosial dan menjadi influencer.

Latar kepakaran ini bahkan menjadi indikator kepercayaan seorang influencer bagi Anti dan Gresti. Anti (26), yang baru memiliki anak berumur 7 bulan misalnya, kini banyak mengikuti influencer yang berprofesi sebagai dokter anak.

“Kalau yang buat konten tuh expert-nya misal dokter nih dan nyantumin sumbernya aku ya langsung percaya aja, cari info lainnya mungkin lebih ke second opinion expert yang lain gitu,” kata Anti kepada jurnalis Tirto, Selasa (15/7/2025).

Meski begitu, Anti kerap melakukan penelusuran lanjutan lewat Google dan sumber lainnya jika ada influencer yang membahas terkait gizi anak. Hal itu dia lakukan lantaran sedang berada dalam fase memikirkan gizi anaknya, sehingga ia ingin memahami suatu informasi dengan baik dan benar karena ia tak bisa gegabah.

Pernyataan serupa diungkap Gresti (27), yang mengikuti beberapa akun influencer, dari mulai dokter hingga praktisi bisnis. Ia mengaku percaya dengan informasi influencer yang diikuti lantaran apa yang dibicarakan sesuai dengan latarnya, salah satunya Dokter Patricia Angel.

“Kalau Patricia tuh mixed sih. Dia dokter, dan lagi mau S2. Tapi kontennya sering soal beauty dan fashion juga. Kalo Patricia tuh kenapa ya (merasa percaya). Karena dia ngomongnya sesuai sama background-nya. Kayak karena dia dokter ya dia cerita soal kondisi masyarakat tempat dia pengabdian,” cerita Gresti lewat pesan teks, Selasa (15/7/2025).

Upaya Rani, Anti, dan Gresti untuk selalu mengecek informasi yang didapat merupakan cerminan hasil survei terbaru Tirto bersama Jakpat pada 1 Juli lalu. Jajak pendapat terhadap responden berusia 16 - 45 tahun ini mengungkap, sebanyak 96,53 persen dari 1.238 responden mengaku memverifikasi ulang informasi yang dilihat dari influencer, baik pada “setiap” atau “sebagian” informasi.

Pertanda Baik Kehadiran Expert Influencer

Di tengah potensi misinformasi yang disebarkan influencer lewat konten-kontennya, mengecek setiap informasi yang dibagikan terhitung vital. Apalagi, menurut survei Tirto, hampir 30 persen alias 26,90 persen responden mengaku pernah setidaknya sekali merasa tertipu atau salah paham karena konten influencer.

Meski total 50,97 persen responden menjawab “tidak yakin” dan “tidak pernah”, ada kira-kira 274 responden atau 22,13 persen yang bahkan mengaku pernah tertipu atau salah paham lebih dari sekali. Seperti yang dialami Rani, dampak konten hoaks tentu buruk dan tak main-main.

Menukil laman organisasi profesi psikolog di Amerika Serikat, American Psychological Association/APA, penyebaran misinformasi juga disebut telah memengaruhi kemampuan kita untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mengatasi perubahan iklim, dan menjaga demokrasi yang stabil.

Oleh karenanya, kehadiran pakar yang juga influencer barangkali hal baik. Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Syaifa Tania, berpendapat, semakin banyaknya pakar yang juga menjadi influencer atau dikenal dengan istilah expert influencers, bisa membuat informasi yang disampaikan sesuai dengan bidang keahliannya (expertise) dan dapat menjangkau publik secara luas.

Artinya, menurut dia, publik memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi dari sumber yang kredibel. Tania mendorong masyarakat untuk mengkritisi konsep influencer sendiri yang relatif sangat luas.

“Konsep influencer mulanya cenderung hanya dilekatkan pada siapapun sosok awam yang populer dan memiliki jumlah pengikut yang besar, namun kini menjadi lebih spesifik seperti expert influencers yang juga bisa dispesifikkan lagi sesuai bidangnya, skala jangkauannya, dan aspek lain,” ungkap Tania saat dihubungi jurnalis Tirto, Rabu (16/7/2025).

Hal ini penting dipertimbangkan lantaran melakukan generalisasi terhadap konsep yang luas dapat menimbulkan inflasi konseptual yang berdampak pada inefisiensi strategi komunikasi pemasaran dan keraguan audiens terhadap validitas informasi.

“Spesifikasi konsep ini juga berguna bagi berbagai pihak. Sebagai contoh, bagi publik memungkinkan kita dapat mengelola ekspektasi informasi yang diterima, misalnya memahami siapa dan seperti apa latar belakang influencer tersebut sehingga audiens mampu menimbang relevansi informasi yang disampaikan,” sambung Tania, yang juga menjadi Executive Secretary di Center for Digital Society (CfDS) UGM.

Influencer sendiri bisa memengaruhi audiens bukan cuma lewat popularitas, tapi juga lewat seberapa dalam mereka membuka diri di konten-konten media sosial mereka. Studi Kashian yang terbit di Jurnal New Media & Society (2024) menunjukkan bahwa dengan membuka diri (self-disclosure), maka akan tercipta kedekatan emosional atau parasocial relationship antara audiens dan influencer. Hal ini berperan penting dalam memfasilitasi persuasi.

Pakar Bisa Kemas Pesan Publik yang Efektif

Menurut survei Tirto, alasan mayoritas publik cenderung menyukai dan lebih percaya pada informasi yang disampaikan oleh influencer adalah karena konten yang disampaikan jelas, mudah dipahami, dan menarik untuk ditonton. Maka, hal yang sama harusnya bisa direplikasi oleh para pakar.

Tania bilang, formula pesan yang demikian dapat diadopsi oleh para pakar untuk menyampaikan informasi sesuai bidang keahliannya pada publik. Para expert perlu didorong untuk mampu mengemas pesan dalam penyampaian komunikasi publik yang efektif di media digital seperti influencer.

“Misalnya, menggunakan format storytelling, explainers, atau gaya komunikasi lain yang nyaman diakses publik. Kemudian dalam penyampaian pesan tersebut dapat dikemas secara sederhana dan menonjolkan pesan kunci baik di bagian awal konten maupun caption sebagai hook yang memancing audiens untuk mengikuti konten tersebut,” kata Tania.

Menurut Tania, penyampaian pesan juga dapat dilengkapi dengan contoh atau ilustrasi sederhana yang beresonansi (relatable) dengan audiens sehingga lebih mudah dipahami.

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Arli Aditya Parikesit sebagai Professor of Bioinformatics, Indonesia International Institute for Life Sciences, juga mendukung para pakar untuk beradaptasi dan merangsek ke ruang digital. Kepakaran di era digital harus dihidupkan kembali lewat cara-cara yang inovatif.

Menukil artikelnya yang dimuat di The Conversation, Arli menyampaikan bahwa transformasi cara komunikasi menjadi kunci keberlanjutan pengaruh pakar. Miskomunikasi antara ilmuwan dan masyarakat kerap terjadi lantaran para pakar lebih suka menjabarkan fakta-fakta ilmiah rumit dengan tulisan dan perkataan yang tak kalah rumit.

“Para ilmuwan juga sering menggunakan istilah teknis yang sulit dipahami oleh orang awam. Sedangkan para influencer menggunakan bahasa sederhana yang mudah dimengerti,” tulis Arli dalam artikelnya.

Jika para ilmuwan tidak hadir di ruang maya ini, suara mereka akan tenggelam di tengah derasnya arus informasi, termasuk hoaks, teori konspirasi, dan opini yang tidak berbasis data, dan kita akan terus menyuburkan fenomena “matinya kepakaran”.

Baca juga artikel terkait INDEPTH atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Decode
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty