Menuju konten utama

Rp396 Miliar untuk Gaji Magang Tanpa Kepastian Kerja, Layakkah?

Program Magang Siap Kerja perlu didukung dengan penciptaan lapangan kerja baru agar program tersebut tidak hanya menjadi pemborosan anggaran.

Rp396 Miliar untuk Gaji Magang Tanpa Kepastian Kerja, Layakkah?
Para pemuda dari berbagai daerah di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mengikuti seleksi fisik program magang ke Jepang di Banda Aceh, Aceh, Selasa (5/3/2019). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc.

tirto.id - Kondisi ketenagakerjaan beberapa tahun terakhir membuat Yasmin cemas. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ia tak tahu ke mana nasib akan membawanya usai wisuda. Ia memikirkan betapa sengitnya persaingan merebut lowongan: berhadapan dengan lulusan kampus ternama, hingga pekerja senior yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja.

Apalagi, calon lulusan Pendidikan Kimia dari salah satu universitas di Semarang, Jawa Tengah, itu minim pengalaman. Kesempatan magang tak pernah ia dapat, meski kampus memberi waktu enam bulan bagi mahasiswa untuk mencari praktik kerja lapangan yang bisa dikonversi menjadi satuan kredit semester (SKS).

Perkaranya jelas: magang selamai ini tak pernah menjadi kewajiban. Program Magang Merdeka, yang diluncurkan pada 2021 itu, hanya bersifat opsional dan mahasiswa didorong mencari sendiri tempat mereka bisa belajar di dunia profesional.

Sementara di banyak program strata satu (S1), metode pengajaran masih berkutat pada diskusi kelompok dan presentasi. Bagi Yasmin, itu sama sekali tak menambah pengalaman nyata tentang dunia kerja.

“Presentasi bagus, untuk meningkatkan cara mahasiswa berkomunikasi, tapi kalau keseringan presentasi, dan itu per kelompok, biasanya tiga anak cari materi, satu anak presentasi, jadinya jelek banget,” kata Yasmin kepada Tirto, Rabu (1/10/2025).

Kurangnya pengalaman itulah yang membuat banyak lulusan akhirnya memilih pekerjaan seadanya, selama gaji cukup untuk membiayai kebutuhan dasar.

“Padahal lulusan tenaga pendidik sekarang sudah bagus-bagus. Mereka rata-rata sudah punya inovasi dalam mengajarkan materi dan lain-lain,” tambah perempuan 22 tahun itu.

Karena itu, Yasmin menyambut baik rencana pemerintah meluncurkan Program Magang Siap Kerja. Menurutnya, inisiatif untuk menarik masuk lulusan baru dengan gaji setara upah minimum ini bisa menjadi jembatan bagi bagi dirinya dan jutaan lulusan universitas lain untuk menimba pengalaman. Pengetahuan yang diperoleh selama magang bukan saja menjadi bekal di tempat kerja baru, tapi juga membuka peluang untuk direkrut sebagai pegawai tetap.

“Setelah lulus dari universitas, rencana saya langsung ingin bekerja di bidang pendidikan. Bukan jadi guru, lebih ke ikut berkontribusi memajukan pendidikan di Indonesia yang sangat sucks ini. Saya ingin andil dalam penyusunan kurikulum. Karena dari yang saya lihat, pendidikan di Indonesia sangat amat terbelakang,” ujarnya.

Program Magang Siap Kerja sendiri akan resmi diluncurkan pada 15 Oktober 2025. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, perusahaan yang sudah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan terdaftar di Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) diberi waktu hingga 7 Oktober untuk mengunggah kebutuhan magang melalui platform Ayo Magang di laman siapkerja.kemnaker.go.id.

“Mulai hari ini sampai tanggal 7 adalah kesempatan bagi perusahaan yang memiliki NIB dan terdaftar di WLKP untuk memposting kebutuhan magang sesuai syarat yang telah ditentukan,” katanya dalam konferensi pers di Wisma Danantara, Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).

Syarat yang dimaksud antara lain: perusahaan harus menyiapkan mentor bagi peserta magang, memastikan posisi yang ditawarkan mampu mengembangkan kompetensi, serta memberikan sertifikat setelah program selesai.

Sebaliknya, calon peserta magang tak perlu mengunggah dokumen tambahan. Sistem platform sudah terintegrasi dengan data mahasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Dikti).

“Kami sudah punya data lulusan satu tahun terakhir sehingga cukup mencocokkan saat registrasi,” kata Yassierli.

Mengacu arahan Presiden Prabowo Subianto, kuota tahap pertama program ini akan menampung 20 ribu peserta magang dengan durasi maksimal enam bulan. Kuota tersebut akan dibagi secara proporsional sesuai jumlah lulusan di setiap provinsi.

“Kuota pertama sesuai arahan Presiden dan Menko sebanyak 20 ribu peserta. Kami akan membaginya secara proporsional untuk setiap provinsi berdasarkan jumlah lulusan,” ujarnya.

Meki nantinya peserta magang akan menerima gaji dengan besaran sesuai upah minimum kabupaten/kota, Yassierli menegaskan bahwa Program Magang Siap Kerja ini tidak bertujuan untuk memperluas lapangan pekerjaan.

Sebab, program memang ditujukan agar para lulusan perguruan tinggi dapat merasakan langsung bagaimana situasi di tempat kerja dan meningkatkan kompetensinya melalui pendampingan yang diberikan oleh para mentor dari perusahaan yang tergabung di dalam program.

“Kami fokus memberikan kesempatan exposure terhadap tempat kerja dan kompetensi dia untuk belajar di perusahaan tersebut,” jelas Yassierli.

Program yang pertama kali dimaklumatkan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ini memang sesuai dengan masalah ketersediaan tenaga kerja berkualitas di Indonesia. Sebab, rendahnya serapan tenaga kerja di Tanah Air hingga kini masih ditengarai oleh mismatch antara kebutuhan dunia kerja dengan profil angkatan kerja.

Apalagi, berdasar data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025, 34,99 persen atau sekitar 53,55 juta orangdari total 153,05 juta angkatan kerjaadalah lulusan SD. Lalu, 17,73 persen atau 27,14 juta orang lulusan SMP dan 20,35 juta orang atau 20,99 persen merupakan lulusan SMA.

Sedangkan, lulusan perguruan tinggi, tepatnya untuk Diploma I, II, dan III hanya berjumlah 3,66 juta orang atau 2,39 persen dari total angkatan kerja. Kemudian, untuk lulusan Diploma IV, S1, S2, atau S3 ada sebanyak 16,23 juta orang atau 10,61 persen dari total angkatan kerja.

“Jadi sebenarnya ini program baik. Menurut saya adalah upaya untuk memperkuat, meningkatkan skill lulusan perguruan tinggi,” tutur Pakar Ketenagakerjaan, Timboel Siregar, kepada Tirto, Rabu (1/10/2025).

Koordinator Advokasi BPJS Watch tersebut juga menyoroti soal ketiadaan sertifikasi atas keahlian tertentu yang dikeluarkan kampus kepada lulusan baru, melainkan hanya lembar ijazah sebagai tanda terselesaikannya masa pendidikan.

Akibatnya, para lulusan baru dari perguruan tinggi itu kerap dianggap belum siap terjun ke dunia kerja. “Program pemagangan itu kan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan perusahaan dengan permintaan dari pekerja. Jadi, kalau dibilang ini adalah upaya untuk meningkatkan skill, ya pasti. Dan apakah ini akan bisa membuka lapangan pekerjaan? Paling tidak dia bisa memudahkan si perusahaan untuk mendapatkan skill yang kualitas,” imbuh Timboel.

Dalam jangka panjang, ketersediaan tenaga kerja berkualitas ini lah yang menurut Timboel bisa menjadi kunci untuk menarik investor masuk ke Indonesia. Ujungnya, peningkatan investasi di dalam negeri diharapkan dapat membuat kesempatan kerja terbuka lebih lebar.

Namun, Timboel mewanti-wanti agar pemerintah ekstra hati-hati dalam merealisasikan program. Sebab, magang dengan upah minimum untuk 20 ribu lulusan baru ini akan menyedot anggaran Rp396 miliar, masing-masing Rp198 miliar untuk pelaksanaan di 2025 dan tahun depan.

Berkaca pada pengalaman Program Kartu Prakerja maupun pelatihan dalam skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) oleh BPJS Ketenagakerjaan, banyak penerima manfaat lebih berfokus pada insentif tunai yang diberikan pemerintah ketimbang pelatihannya. Jika pola serupa terjadi, pemberian upah minimum kabupaten/kota bagi peserta magang jelas tidak akan cukup untuk meningkatkan kualitas mereka.

“Harus ada kontrol. Kalau nanti perusahaan bilang, ini orang enggak berkinerja, orang ini malas-malasan, segera diputus. Karena biar bagaimanapun juga, kan kita enggak bisa membiarkan dia menikmati uang itu tanpa semangat untuk meningkatkan skill,” tambahnya.

Berbeda dengan Timboel, Peneliti sekaligus Analis Kebijakan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Anindya Dessi Wulansari, menilai Program Magang Siap Kerja berpotensi menjadi pintu masuk normalisasi kerja murah dan eksploitasi tenaga kerja. Menurutnya, program yang menyasar lulusan baru ini lebih dekat dengan mekanisme magang pencantrikan (apprenticeship), yakni masa pelatihan sebelum resmi bekerja di suatu perusahaan atau organisasi.

Dalam kondisi seperti itu, seharusnya ada jaminan hukum yang melindungi nasib lulusan baru agar mendapatkan hak atas kerja layak. Sayangnya, skema ini belum memiliki payung hukum yang mengatur standar kerja layak sebagaimana praktik internship.

“Dengan dalih stimulus untuk fresh graduate, tanpa ada ikatan kerja seperti dalam mekanisme training di magang pencantrikan, mereka juga tidak ada kepastian kerja layak,” katanya, kepada Tirto, Kamis (2/10/2025).

Tak hanya itu, dalam konteks ini pemerintah justru memberi subsidi kepada perusahaan dalam bentuk tenaga kerja sekaligus upahnya. Sering kali perusahaan malah diuntungkan karena memperoleh tenaga kerja murah, bahkan gratis, sementara lulusan muda tetap terjebak dalam lingkaran kerja temporer tanpa kepastian.

“Apakah program ini bisa memperluas kesempatan kerja? Saya agak skeptis. Masalah utamanya kan bukan sekadar kurang pengalaman, tapi struktur pasar kerja kita yang sempit, dominasi sektor informal, serta absennya penciptaan lapangan kerja layak oleh negara,” tambah Anindya.

Karena itu, jika pemerintah serius mencetak tenaga kerja berkualitas sekaligus membuka lebih banyak lapangan kerja, Program Magang Siap Kerja harus terlebih dahulu menjamin upah layak dan perlindungan sosial bagi peserta. Selain itu, perlu mekanisme jelas agar magang benar-benar menjadi jembatan menuju pekerjaan tetap, bukan sekadar tambal sulam.

Tak kalah penting, pemerintah juga mesti menyiapkan kebijakan paralel yang lebih fundamental: memperluas lapangan kerja formal, memperkuat perlindungan buruh, dan mengendalikan fleksibilitas kerja yang kian tak terkendali.

“Program Magang Fresh Graduate ini menurut saya problematis kalau kita lihat dari tren kebijakan tenaga kerja beberapa tahun terakhir. Pemerintah sering mengusung skema magang atau program serupa dengan dalih membuka kesempatan kerja, tapi praktiknya justru berpotensi jadi pintu baru eksploitasi,” tukas Anindya.

Baca juga artikel terkait MAGANG atau tulisan lainnya

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana