Menuju konten utama
Mozaik

Kontes Kecantikan: Antara Edukasi Kesetaraan & Jebakan Male Gaze

Pada awal abad ke-20, kontes kecantikan muncul sebagai ajang untuk mengedukasi publik bahwa perempuan punya hak yang setara dengan laki-laki.

Kontes Kecantikan: Antara Edukasi Kesetaraan & Jebakan Male Gaze
Header Mozaik Kontes Ratu Sejagad. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Sebagai kompetisi tahunan untuk para wanita muda belum menikah dan belum memiliki anak, Miss America serta segala Miss lainnya sangat membingungkan dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat," tulis Margot Mifflin dalam Looking for Miss America: A Pageant's 100-Year Quest to Define Womanhood (2020).

Meski penyelenggara Miss America mengklaim bahwa mereka mengadakan kontes kecantikan sebagai kompetisi untuk memberikan program beasiswa bagi pemenangnya mengembangkan diri, kenyataan berkata lain.

Ketika Yolande Betzene, penyanyi soprano asal Mobile, Alamaba, memenangkan Miss America pada 1950, misalnya, ia dihadapkan dengan kewajiban bertemu "konstituennya" di seluruh penjuru negeri dengan mengenakan baju renang buatan Catalina, sponsor utama Miss America kala itu.

Yolande menolak dengan mengatakan bahwa dia hanya seorang penyanyi soprano, bukan seorang pin-up model.

Catalina marah dan memutuskan untuk membuat kompetisi sendiri, yakni Miss USA dan Miss Universe yang terang-terang mengklaim hanya bertujuan untuk mengadu kecantikan. Pemenangnya sering kali berkesempatan bertemu dengan para pemimpin dunia.

Kesempatan ini, menurut Magda Hinojasa dalam "From Miss World to World Leader" (Journal of Women, Politics & Policy, Vol 37 2016), "Menyediakan jalan bebas hambatan bagi wanita untuk menggenggam kekuasaan [...] Kesempatan untuk mengubah wanita—yang dipraktikkan dengan kompetisi yang diikutinya—menjadi perempuan sebagai sebutan mereka."

Richard Corliss dalam "Dream Girls" (Time, edisi 18 September 1995) menyebut bahwa ajang kecantikan, apapun bentuk dan namanya, “Dibenci semua orang, [sekaligus] disukai semua orang."

Kontes Berdaya yang Didomestikasi

Menurut Elwood Watson dalam There She Is, Miss America (2004), kontes kecantikan muncul pertama kali dengan bentuk "Maid in USA" dalam suasana Revolusi Industri sebagai hiburan bagi para pekerja pria sekaligus tipu muslihat pemilik pertunjukan sirkus.

"[Kemudian] kontes kencantikan bertransformasi menjadi acara teater yang rumit yang dibuat, diproduksi, dan dipertunjukkan demi meloloskan atau mengampanyekan hak pilih perempuan, 'suffrage', pada awal abad ke-20,” tulisnya.

Dipilihnya kontes kecantikan karena ajang ini merupakan cara satu-satunya yang dimiliki perempuan untuk meraih perhatian publik, terutama kaum pria yang kala itu sangat menentukan pelbagai aspek kehidupan.

Terlebih, mengutip Anthony Synnott dalam "Thruth and Goodness, Mirror and Masks" (The British Journal of Sociology, Vol. 40 1989), cantik seperti yang dimiliki perempuan, identik dengan kebenaran. Antitesis dari kebohongan yang dipatri teologi keagamaan di posisi adiluhung kehidupan.

Namun, berbeda dengan pagelaran kiwari, tulis Elwood Watson dalam There She Is, Miss America (2004), "[Kontes kecantikan saat itu tak hanya menghadirkan] arak-arakan para perempuan dan mengungkap cita-cita serta aspirasi mereka—persis seperti bab presentasi dan tanya jawab ala kontes kecantikan modern--kompetisi juga dilakukan dengan menampilkan adegan pendek, tableau, yang umumnya menggambarkan wanita penting dalam sejarah.”

Lewat tableau atau tablo, hak pilih perempuan dinarasikan sebagai langkah logis dalam kemajuan umat manusia, dengan mempertunjukkan aspek-aspek keberanian dan keadilan dari tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan para peserta.

Ya, dalam salah satu bentuk pertamanya, kontes kecantikan merupakan "majelis sosial untuk menempatkan perempuan di tengah panggung sejarah dan kehidupan sipil," simpul Watson.

Tak heran, dengan mementingkan Vote for Women alih-alih mahkota ataupun selempang bertuliskan "Miss...", kontes kecantikan menjadi salah satu sebab mengapa pada 1920 perempuan akhirnya memperoleh apa yang mereka perjuangkan, hak untuk memilih dan dipilih di Amerika Serikat.

Namun, hanya berjarak setahun dari kemenangan perempuan ini, didasari kepopuleran ajang bernama Fall Frolic atau Fall Event—semacam kontes foto berbaju renang bagi semua kalangan, pria dan wanita, terutama anak-anak di sekitaran Hari Buruh—kontes kecantikan yang berbeda muncul.

Diinisiasi pemilik tempat di mana Fall Frolic dilakukan, yakni sebuah hotel bernama Monticello yang berlokasi di Atlantic City, New Jersey, Amerika Serikat, kontes kecantikan yang berbeda itu bernama Atlantic City Bathing Beauty Contest.

Sesuai namanya, ajang ini hanya mementingkan kecantikan para peserta, yakni kaum wanita muda belum menikah yang awalnya berasal dari delapan lokasi berbeda di Amerika Serikat yang diajak untuk mempertunjukkan diri mengenakan pakaian renang.

Para peserta dijaring dengan memanfaatkan data milik media cetak yang sebelum ajang ini digelar kerap memuat foto-foto wanita cantik untuk menaikan oplah.

Kompetisi yang dilakukan selama dua hari ini kemudian diubah namanya menjadi Inter-City Beauty Contest. Peserta yang berhasil “menggoda” mata juri yang mayoritas kaum pria, akhirnya memenangkan kompetisi.

Sadar bahwa nama Inter-City Beauty Contest Winner atau The Winner of Atlantic City Bathing Beauty Contest kurang menjual, media cetak yang menyediakan data peserta pada kompetisi tersebut sepakat untuk menamai pemenang sebagai Miss America. Penamaan pemenang ini kemudian digunakan sebagai pengganti nama kompetisi. Terlebih, pikir mereka, kontestan berkompetisi sebagai simbol kota atau negara bagian.

Kembali merujuk penuturan Elwood Watson dalam There She Is, Miss America (2004), berubahnya kontes kecantikan hanya sebagai ajang adu kecantikan sesungguhnya tak aneh. Musababnya, setelah perempuan memperoleh hak memilih dan dipilih, terangnya, "muncul kampanye bertubi-tubi tentang diskursus di mana sebenarnya tempat ideal bagi wanita."

Tempat itu, diyakini negara maupun orang-orang berkuasa pemilik harta, adalah rumah dan dapur, bukan kantor, pabrik, apalagi institusi-institusi negara. Kontes kecantikan kemudian menggaungkan segala hal yang berbau domestik sebagai idealitas yang harus dikejar wanita.

Ha ini merupakan reaksi balik yang meluas atas perubahan peran gender. Misalnya banyak perempuan yang terlibat dalam Perang Dunia, bahkan mengisi posisi-posisi politik.

Suatu masa The New York Times, misalnya, sering menampilkan berita-berita bertajuk "Wanita Pertama...".

"[Judul yang tentu saja] sangat mengganggu keseimbangan hubungan gender dan memicu reaksi balik budaya terhadap perempuan,” tegas Watson.

Perjalanan Melingkar dan Male Gaze

Watson menambahkan, setelah perempuan memiliki hak memilih dan dipilih, produk-produk budaya populer seperti film dan kartun menggambarkan tahun 1920-an sebagai tahunnya pria dan wanita tanpa sekat apapun, minum-minum, dan merokok.

"[Ini] semakin dipanas-panasi dengan publikasi-publikasi yang menggaungkan stereotipe tersebut, seperti buku Only Yesterday: An Informal History of the 1920s (1931) yang ditulis Harper Frederick Lewis Allen," tulisnya.

Dalam buku itu disebutkan bahwa revolusi moral dan tata krama tengah berlangsung ke arah kerusakan. Para wanita di usia dua puluhan dituduh menginginkan kebebasan, terutama untuk menarik laki-laki.

Kondisi ini berbeda dengan yang dicita-citakan Presiden AS ke-28, Woodrow Wilson, misalnya, yang menggagas Hari Ibu pada 1914 sebagai pedoman pencarian posisi adiluhung bagi wanita, yakni rumah.

Dalam "Myth America and Other Misses" (A Review of General Semantics, Vol. 40 1983) yang ditulis A. R. Riverol, Miss America dan kontes kecantikan yang muncul selanjutnya merupakan kontes yang sebatas memproyeksikan keseluruhan persona kepolosan dan tradisi ala idealitas wanita di benak kaum pria.

Hal ini dipertontonkan lewat adu cantik mengenakan pakaian renang; tiba di acara kompetisi ditemani orang tua, terutama ibu; mau berjanji, sebagai syarat kepesertaan; menghindari makeup, alkohol, dan tembakau; menyangkal kepentingan profesional atau pribadi karena rumah harus diyakini mereka sebagai tujuan utama; dan menyoroti kehadiran mereka di gereja.

“Tak aneh, dalam edisi pertama ajang adu kecantikan ini, wanita paling polos, paling putih, dan paling nurut pepatah orang tua maupun agama jadi pemenang,” tulis Riverol.

Atas idealitas ini pula, dari serangkaian acara kontes kecantikan yang dilakukan bertahun-tahun berikutnya, hanya dua wanita non-putih yang pernah merasakan manisnya mahkota kemenangan, yakni seorang pribumi Amerika yang memenangkan ajang pada 1926, dan seorang latina asal Paraguay di tahun berikutnya.

Hingga akhir 1970-an tidak ada wanita berkulit hitam yang memangkan titel Miss America, dan baru pada 2010 Amerika Serikat akhirnya tertarik untuk memberikan mahkota Miss USA bagi seorang Muslim.

Dengan mengutamakan kecantikan, sebagaimana dipaparkan Kalsey Wright dalam Pageantry to Pornography (2017), para peserta (terutama pemenang) kontes kecantikan banyak yang akhirnya hanya menjadi male gaze.

Infografik Mozaik Kontes Ratu Sejagad

Infografik Mozaik Kontes Ratu Sejagad. tirto.id/Ecun

Mereka terjebak dalam rupa poster atau cover komersial yang menampilkan sisi cantik nan seksi demi menarik kaum pria untuk mengeluarkan uang kepada produk atau layanan yang diperdagangkan. Bahkan beberapa akhirnya aktif di industri film porno seperti Kelli McCarty, pemenang Miss Kansas pada 1991.

Namun, tentu tak semua berakhir mengenaskan. Tak sedikit kontestan, terutama pemenang, berlabuh menjadi profesional di bidang komunikasi dan politik.

Kembali merujuk penuturan Magda Hinojasa dalam "From Miss World to World Leader" (Journal of Women, Politics & Policy, Vol 37 2016), "Pada aspek terdasarnya, tampil di depan muka umum dengan mengenakan pakaian renang memerlukan kepercayaan diri tinggi dan menjawab pertanyaan dari beragam juri memerlukan pengetahuan yang cukup mumpuni serta keahlian komunikasi.”

Dalam soal politik, sangat mungkin terjadi karena kontestan ajang kecantikan diperlakukan sebagai perwakilan tempatnya berasal. Alasan ini membuat para kontestan seakan dipaksa memahami wilayah yang diwakilinya hingga membuat kontes kecantikan tak ubahnya kontes politik.

Terlebih, seperti disinggung di awal, pemenang kontes acapkali diajak bertemu dengan pemimpin negara, bahkan dunia. Dan dalam pertemuan tersebut pemenang dianggap tengah mewakili wilayah asalnya.

Sebagai contoh, Eunice Olsen (Singapura), Tanja Saarela (Finlandia), Mara Carfagna (Italia), Gemma Garrett (Inggris), Maria Kalaw Katigbak (Filipina), Yolanda Pulecio (Kolombia), dan Angelina Sondakh (Indonesia), akhirnya dapat melaju ke panggung politik.

Kontes kecantikan versi modern sesungguhnya tak berbeda dengan bentuk aslinya, suffrage, dengan banyaknya para pemenang yang meraih kekuatan politik, tetapi berjalan melingkar mengikuti kemauan budaya patriarki. Nahas, tak sedikit yang terjerembab hanya menjadi male gaze.

Baca juga artikel terkait MISS UNIVERSE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi