tirto.id - Di layar lebar dan televisi, era 1950-an sering kali ditampilkan apik dan cantik melalui gaya busana dan dekorasi rumah. Film Tiga Dara (1957) karya sutradara Usmar Ismail dan serial Marvelous Mrs. Maisel (2017) setidaknya cukup mewakili betapa apiknya gaya busana era itu, di Indonesia, Amerika Serikat, maupun Eropa.
Bagi Judy (diperankan Katrina Hudson), yang sering menonton serial televisi era 1950-an bersama ayahnya, era itu merupakan fantasi yang senantiasa ingin ia hidupkan kembali. Judy mengajak suaminya, Johnny (Ryan Street), untuk menjalani hidup di era itu dan mengadopsi nilai-nilai yang berlaku di masa tersebut.
Suaminya menurut saja kendati pasangan ini hidup di tahun 2018. Judy mengundurkan diri dari pekerjaannya demi bisa mendedikasikan waktu sepenuhnya sebagai istri idaman dan ratu rumah tangga ala perempuan tahun 1950-an.
Uang pesangon dan tabungan bersama ia gunakan untuk mengubah interior rumahnya supaya bernuansa tahun 1950-an, termasuk membeli kulkas kuno yang sering kali tidak dingin lagi, toilet dengan tank air di atas kepala--untungnya masih berfungsi--dan pernak-pernik yang membuat rumahnya tampak cantik sebagaimana di serial tahun kesayangannya.
Tak hanya itu, ia juga mengganti gaya berpakaiannya dengan mengoleksi baju dan sepatu mode 1950-an, termasuk perhiasan dan syal bulu untuk melengkapi gaya retronya.
Bukan hanya tampilan rumah dan penampilan yang diubah total oleh Judy. Ia juga mengimani buku panduan menjadi istri yang baik era tahun 1950-an dan menjalankannya penuh seluruh.
Berikut ringkasan panduan menjadi istri yang baik, diambil dari buku ajar untuk siswi sekolah menengah dalamHOW TO BE A GOOD WIFE, Home Economics High School Text Book (1954):
(1) Pastikan makan malam sudah siap. Ini adalah cara untuk menyampaikan pesan kepada suami bahwa Anda selalu memikirkan kebutuhannya.
(2) Siapkan diri Anda: beristirahatlah selama 15 menit sehingga Anda terlihat segar ketika suami tiba. Sapukan kembali riasan Anda dan hiasi rambut dengan pita. Suami Anda telah seharian bekerja bersama orang-orang yang juga lelah bekerja, maka ceriakanlah harinya.
(3) Bereskan rumah Anda. Kelilingi rumah Anda persis sebelum suami tiba, rapikan buku, mainan, kertas, dll. Usapkan serbet di semua permukaan meja untuk memastikan kebersihannya.
(4) Pastikan anak-anak sudah bersih dan berganti pakaian.
(5) Minimalkan suara apa pun. Ketika suami tiba, kurangi volume suara mesin cuci, pengering, pencuci piring, atau penyedot debu. Mintalah anak-anak untuk tidak berisik. Sambutlah suami dengan senyum lebar.
(6) Jangan menyambutnya dengan keluhan atau masalah rumah. Jangan mengeluh jika suami pulang terlambat untuk makan malam. Anggaplah sebagai hal yang sepele dibandingkan apa yang telah dilaluinya sepanjang hari itu.
(7) Buatlah dia merasa nyaman. Sarankan suami untuk bersantai di kursi atau berbaring untuk beristirahat. Susunlah bantal dan tawarkan untuk melepas sepatunya. Bicaralah dengan suara pelan, lembut, dan menenangkan. Siapkan minuman dingin atau hangat untuk menemaninya bersantai.
(8) Dengarkan ceritanya. Anda mungkin juga punya banyak hal untuk diceritakan, tetapi waktunya bukan ketika suami baru tiba di rumah. Biarkan suami bicara lebih dulu.
(9) Jadikan malam hari sebagai waktu milik suami. Jangan pernah mengeluh jika suami tidak pernah mengajak Anda makan malam di luar atau jalan-jalan. Pahamilah dunianya yang penuh tuntutan dan tekanan, maka yang dibutuhkan suami adalah berada di rumah dan bersantai.
(10) Jadikanlah rumah sebagai tempat yang bersih, teratur, dan penuh kedamaian, di mana suami Anda dapat bersantai.
Persis seperti itulah yang dilakukan Judy. Hari-harinya diisi dengan menyiapkan makanan, membersihkan rumah, berbelanja, atau mengobrol dengan ibu atau sahabatnya, pasangan suami-istri Fran dan Markus. Pasangan ini juga penggemar budaya tahun 1950-an, kendati tetap merasa aneh dengan pilihan Judy yang mengadopsi gaya hidup 1950-an di abad ke-21.
Ibu Judy, Sylvia, sebenarnya menentang apa yang dilakukan anaknya. Sylvia, kendati telah berusia senja memilih tetap bekerja setelah bercerai dari suaminya. Sylvia menegaskan bahwa setelah apa yang ia lakukan di rumah untuk suaminya, tidak mencegah ayah Judy berselingkuh.
Lagi pula, kata Sylvia, "Aku mengalami masa kecil di tahun 1950-an, dan tahun 1950-an sama sekali tidak seperti ini!"
Tentu saja Judy kecil tidak mengalami harus terus membantu ibunya memasak untuk anggota keluarga yang banyak, atau demi tetap hangat di dapur karena musim dingin yang menggigit. Judy juga tidak perlu ikut protes di jalanan demi memperjuangkan hak-hak perempuan untuk bekerja, walaupun Judy menegaskan dirinya juga seorang feminis.
Tapi kemudian Judy mencoba meminjam uang ibunya karena tabungannya habis untuk membeli barang-barang retro. Tak ayal, ibunya meminta Judy menghentikan gaya hidup yang tidak lagi relevan tersebut. Judy marah, karena baginya apa yang dia lakukan bukanlah gaya hidup, tetapi memang begitulah hidupnya.
Home I’m Darling mengambil judul dengan mempelesetkan ucapan khas suami ketika pulang, “Darling, I’m home!”
Kendati naskahnya mengangkat isu-isu yang berat seperti masalah ekonomi, pembagian kerja berbasis gender, perselingkuhan, bahkan pelecehan seksual di lingkungan kerja, pertunjukan inimerupakan drama komedi yang sepanjang pementasannya mengundang tawa.
Laura Wade menuliskan naskah ini pada 2018 dan pertama kali ditampilkan pada Juli 2018 di Inggris. Dialog-dialog cerdas dan sarkas dibawakan dengan sangat meyakinkan oleh para pemerannya, sehingga pementasan sepanjang hampir 4 jam itu sama sekali tidak menjemukan.
Pemenang Olivier Award 2019 untuk kategori Best New Comedy ini kembali ditampilkan di Canberra REP Theatre dengan sutradara Alexandra Pelvin hingga 8 Juli 2023.
Cerita Perempuan di Era 1950-an
Sylvia, ibunya Judy, mengalami sendiri hidup di tahun 1950-an. Tapi rok-rok lebar nan cantik, topi musim panas berpita, dan kue panggang buatan ibunya tak membuat Sylvia memuja era itu, apalagi ingin kembali masa tersebut.
Judy, yang hidup di abad ke-21 dengan berbagai kecanggihan teknologi internet, ponsel, dan komputer, tak merasakan bagaimana perempuan di tahun 1950-an sering turun ke jalan menuntut kesetaraan, terutama dalam pekerjaan, upah, pendidikan, dan perjuangan memperoleh akses terhadap alat kontrasepsi (Nicholson, Virginia. Perfect Wives in Ideal Homes: The Story of Women in the 1950s, 2016).
Masalah-masalah tersebut merupakan isu global perempuan di tahun 1950-an. Di Indonesia, Dokter Sulianti Saroso memperjuangkan kampanye pembatasan kelahiran tetapi ditentang oleh Menteri Kesehatan dr Johanes Leimena dan Presiden Sukarno. Padahal tujuannya untuk mengurangi tingginya kematian ibu dan bayi.
Pada dekade yang sama, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) gigih menuntut pemerintah menghapus segala bentuk imperialisme dan peraturan kolonial yang merugikan perempuan, termasuk mengampanyekan anti-poligami, pernikahan anak, dan kekerasan terhadap perempuan.
Perjuangan perempuan terutama di tahun 1950-an rupanya tidak masuk dalam agenda Judy ketika mewujudkan fantasinya hidup di era itu. Pada akhirnya, penghasilan tunggal dari suaminya juga tidak cukup menyokong penampilan dan interior rumah seperti di majalah wanita edisi tahun 1950-an, hal yang luput diperhitungkan Judy.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi