tirto.id - Masih segar di ingatan Alimatul Qibtiyah, yang kini berusia 53 tahun, komentar orang-orang di sekitarnya saat mendengar kabar dirinya akan melanjutkan studi S2 di Amerika Serikat, pada tahun 2003 lalu. Beberapa teman di pengajiannya mengatakan, langkah tersebut akan membuatnya jauh dari suami dan anak. Di sisi lain, lingkungan kerja suaminya ikut mencibir, kalau-kalau sang suami memutuskan untuk ikut ke luar negeri.
"Masa suami jadi ikut istri," kata Alimatul menirukan cibiran orang-orang di sekitarnya kala itu, kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).
Kala itu, ia akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan studinya, yang seleesai pada tahun 2005. Suami dan anaknya akhirnya pun ikut menemaninya di satu tahun terakhir studinya.
Lompat ke 20 tahun kemudian, Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA. Ph.D, kini dikenal sebagai Guru Besar pada bidang kajian gender, peneliti, penulis, sekaligus Komisioner Komnas Perempuan. Dia juga masih kian setia mengabdikan diri di bidang pendidikan dan mengajar sebagai dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia," kata-kata itu yang menjadi pedoman bagi dia menghadapi stigma-stigma negatif yang ia terima, terkait upayanya untuk terus mengejar pendidikan tinggi.
Menurut Alimatul, keadilan gender dalam rumah tangga bukanlah upaya untuk mendegradasi peran salah satu pasangan saja. Sebaliknya, keadilan gender justru merupakan alat untuk memberikan kesalingan antara satu sama lain guna menghargai dan merawat cinta-kasih dalam berumah tangga.
Meski sudah terus berupaya mendorong kestaraan gender, dia merasa, masih ada jurang yang cukup besar untuk perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi. Di dunia pendidikan, persoalan ketidaksetaraan gender ini kian terlihat.
“Persoalan ketidaksetaraan ini dapat dilihat dari jumlah profesor di perguruan tinggi di Indonesia yang tidak seimbang. Jumlah profesor laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, serta jumlah pemimpin perempuan di perguruan tinggi hanya sekitar 15-20 persen,” ujarnya.
Senada, Heni Mulyati (42 tahun) juga adalah satu dari banyak perempuan yang sedang mencoba mengejar mimpi tersebut. Ia sedang berupaya mengejar gelar doktor setelah menyelesaikan studi master-nya pada tahun 2020 lalu.
“Beberapa faktor yang memotivasi adalah rasa penasaran saya yang besar, keinginan dalam diri untuk terus belajar, dan ingin memberi manfaat bagi sekitar. Saya melihat bahwa ilmu terus berkembang dan banyak hal baru,” ujarnya saat berbicara dengan Tirto, Jumat (14/2/2025).
Dia pun mengakui, bahwa ia mendapat stigma negatif ketika ia berusaha mengejar pendidikan tinggi, bahkan semenjak ia masih berstatus mahasiswa S1.
“Kendali ada di diri kita, ingin membenarkan komentar tersebut atau memilih mengejar impian yang ada. Saya memilih untuk fokus ke diri saya sendiri dan mencari lingkaran positif yang menguatkan dan memotivasi mimpi saya terus ada. Istilahnya jauhi lingkungan toxic,” katanya merespon cibiran-cibiran tersebut.
Dia juga menjelaskan, bagaimana dukungan keluarga dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting.
“Misal terkait dengan pengasuhan anak, suami dan keluarga melakukan pengasuhan bersama. Selain itu, pola pikir keluarga juga cukup moderat, tidak halangi saya untuk raih pendidikan tinggi,” tambah dia lagi.
Senada, Rosari Prima Dewanti (31 tahun) juga terganjal stigma yang sama, bahwa perempuan tidak perlu belajar tinggi-tinggi.
“Saya memilih untuk terus belajar jika ada kesempatan, perempuan harus bisa juga menjadi baik dan tidak tergantung pada kaum Adam, kan?” ujarnya kepada Tirto, Sabtu (15/2/2025).
Perempuan 31 tahun ini baru saja menyelesaikan studinya di jurusan Applied English Linguistics dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, 25 Januari 2025 lalu. Dia mengaku telah memiliki cita-cita untuk menjadi guru semenjak dulu. Kesempatan menjadi dosen ini ia anggap sebagai jalan menuju mimpinya itu.
“Kadang memang perempuan berpikir untuk hal ini, namun kembali lagi jangan pernah menunda dan mengupayakan apa yg terbaik untuk diri kita. Kalau banyak dengar kata orang lain, saya percaya kita tidak akan pernah menjadi versi terbaik diri kita,” ujarnya menanggapi bagaimana stigma di masyarakat terkait pendidikan perempuan dapat memengaruhi motivasi dan kepercayaan diri.
Sama seperti Heni, Rosari juga menjabarkan bagaimana pentingnya dukungan keluarga. Latar keluarganya yang datang dari dunia pendidikan membuat langkahnya menempuh pendidikan tinggi lebih lancar.
“Saya senang belajar dan mengajar, ya jika ada kesempatan dan saya yakin itu bermanfaat tentunya akan saya teruskan,” tambahnya lagi.
Perempuan Masih Perlu Didorong untuk Masuk Perguruan Tinggi
Adanya ketidaksetaraan di bidang pendidikan ini juga terlihat dari data. Angka dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menunjukkan, ada lebih banyak jumlah mahasiswa laki-laki dibanding perempuan. Dari sekitar 9,9 juta mahasiswa yang terdaftar, hanya 45 persennya yang perempuan, sisanya laki-laki.
Sementara menurut data BPS, persentase penduduk perempuan yang bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi mencapai 7,71 persen lebih tinggi dibanding laki-laki (6,09) persen.
Namun, ketika melihat data soal penduduk yang tidak memiliki ijazah, lebih banyak perempuan yang tidak memiliki ijazah dibanding laki-laki. Data BPS mencatat di tingkat kota, ada 9,51 persen perempuan di perkotaan yang tidak memiliki ijazah, berbanding 6,3 persen laki-laki. Sementara di pedesaan, angkanya 18,97 persen bagi perempuan dan 14,13 persen bagi laki-laki.
Sementara itu jika mau berkaca ke indeks ketimpangan gender (IKG) 2023, memang ada tren menurun IKG sebesar 0,012 poin, menjadi 0,447, di tahun tersebut. Namun, jika melihat komponen pendukungnya, di sektor dimensi pemberdayaan, persentase penduduk dengan pendidikan SMA ke atas, angka perempuan hanya 37,6 persen, lebih kecil dibanding laki-laki 42,62 persen.
Angka-angka yang ada menunjukkan, mulai bisa bersaingnya perempuan dibanding laki-laki dalam sektor pendidikan. Meski begitu, perlu ada dorongan bagi perempuan untuk terus meningkatkan akses ke perguruan tinggi.
Perbaikan pendidikan perempuan dan kesetaraan gender juga terlihat secara global. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dalam lembar fakta yang mereka rilis pada Hari Perempuan Internasional tahun 2024 lalu, mengungkap bahwa investasi pendidikan anak perempuan memberi dampak positif selama dua dekade terakhir.
Dalam lembar fakta bertajuk 'Her Education, Our Future', disebut jumlah anak perempuan putus sekolah lebih sedikit jumlahnya dibanding anak laki-laki, yakni 122 juta berbanding 128 juta. Tidak hanya itu, di pendidikan tinggi, setiap 100 laki-laki yang mendaftar pendidikan tinggi, ada 114 orang perempuan yang juga mendapat kesempatan yang sama.
Namun, catatan dari UNESCO menyoroti perlunya mendorong kesetaraan gender di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Di empat bidang tersebut, peluang anak perempuan masih cenderung kecil untuk bisa mengejarnya.
“Anak laki-laki kelas 8 lebih bersedia untuk mengejar pekerjaan yang berhubungan dengan matematika dibandingkan teman-teman perempuan mereka di 87 persen sistem pendidikan yang berpartisipasi dalam TIMSS 2019,” tulis salah satu bagian laporan tersebut.
Adapun acara yang disebut terakhir adalah Trends in Internasional Mathematics and Science Study, sebuah acara yang memaparkan tren prestasi matematika dan sains di dunia.
Menurut pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, angka-angka soal akses pendidikan ke perguruan tinggi dari perempuan harus dilihat secara menyeluruh. Menurutnya, jika mau ditelaah lebih jauh, akses pendidikan anak perempuan bisa saja sudah terpotong sejak dia mau masuk jenjang SMP dan SMA, sehingga jumlahnya lebih besar lagi yang tidak bisa masuk perguruan tinggi.
“Itu akan ketemu data jutaan anak perempuan yang gak bisa sekolah. Itu juga akan mengarah ke jutaan anak perempuan yang tidak bisa menempuh pendidikan tinggi,” ujarnya kepada Tirto, Senin (17/2/205).
Di sisi lain, dari sisi hak anak atas pendidikan, ada juga pernikahan dini yang menghalangi kesempatan anak perempuan untuk meraih pendidikan tinggi. Menurutnya, korban pernikahan dini lebih banyak perempuan. Mereka yang menikah di usia SMP atau SMA, kemungkinan besar tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Budaya patriarki di ranah pendidikan yang mendahulukan sekolah laki-laki dibanding perempuan ini perlu mendapat perhatian. Dia mencontohkan banyak kasus perempuan yang lulus SMA langsung dinikahkan, sementara laki-laki biasa didorong untuk lanjut kuliah.
“Budaya patriarki ini harus dikikis. Harus ada mindset di masyarakat, laki-laki dan perempuan punya kesempatan dan hak yang sama untuk pendidikan sampai pendidikan tinggi,” tambah dia.
Menurut data BPS, pada tahun 2024 terdapat 8,16 persen perempuan yang menikah pertama di usia 10-15 tahun. Sementara itu, terdapat 25,08 persen anak perempuan usia 16-18 tahun yang tercatat menikah pertama kali. Hal ini menunjukkan masih tingginya angka pernikahan dini bagi anak perempuan di Indonesia. Angkanya pun tak banyak berubah antara tahun 2023 dan 2024.
Ubaid juga menyebut faktor ekonomi sebagai permasalahan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan. Biaya pendidikan tinggi yang mahal membuat banyak masyarakat menengah ke bawah yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi ataupun harus lulus kuliah.
“Sampai hari ini, dari sekitar 300 juta penduduk indonesia. Yang kuliah tidak lebih dari 10 persen, angkanya 7-9 persen. Artinya kan sedikit sekali. Sehingga menurut saya selain ada afirmasi untuk anak-anak miskin, berkebutuhan khusus, saya pikir harus ada kuota afirmasi untuk perempuan,” tambah pria yang juga Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini.
Hal itu menurut dia akan mendorong adanya beasiswa untuk perempuan di pendidikan tinggi, terutama bagi kelompok rentan.
Ubaid juga menambahkan perlunya kolaborasi antarlembaga pemerintah untuk mendorong hal ini.
“Mereka (KemenPPPA) fokus dengan pengarusutamaan gender. Tapi bagaimana itu berdampak ke pengingkatan partisipasi anak perempuan untuk kuliah, itu harus berkolaborasi dengan Kemdiktisaintek (Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi),” pungkasnya.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty