tirto.id - Sebagai negara baru, Indonesia tahun 1950-an diwarnai perdebatan tentang berbagai peraturan pemerintah. Organisasi perempuan yang tengah tumbuh kala itu juga turut meramaikan persilangan pendapat. Salah satu topik yang santer dibicarakan ialah pengesahan Peraturan Pernikahan No. 19 tahun 1952.
Menurut isinya, PP No.19/1952 memberikan hak kepada pegawai negeri untuk menunjuk lebih dari satu istri untuk menerima uang pensiun. Organisasi-organisasi perempuan progresif yang semakin sadar akan pentingnya monogami dalam negara modern merasa keberatan atas isi peraturan yang dinilai memfasilitasi poligami itu.
Sebelumnya, Menteri Urusan Agama juga sudah mengesahkan Peraturan Pernikahan No.22 tahun 1946 yang berisi peraturan tentang pendaftaran pernikahan dan talak talik. Peraturan ini kembali disempurnakan satu tahun kemudian dengan penambahan imbauan kepada pejabat sipil agar tidak mencatat pernikahan di bawah umur.
Namun kenyataannya, serangkaian peraturan di tahun-tahun awal kemerdekaan tersebut tetap mendapat penolakan dari organisasi perempuan. Mereka berpendapat pemerintah tidak benar-benar beritikad melindungi hak perempuan. Serangkaian perundingan melalui pembentukan komisi penyelidik hukum perkawinan pada tahun 1950 tidak berhasil menyatukan pendapat.
Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2008, hlm. 198-199) menyatakan pemerintah merasa kesulitan meratakan kepentingan yang bersifat agama dan netral. Selain itu, beberapa organisasi perempuan sekuler periode 1950-an yang benar-benar memperjuangkan isu ini kesulitan memperbesar pengaruh di hadapan parlemen.
Di antara organisasi-organisasi perempuan barangkali hanya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang memiliki akses eksklusif tersebut. Dengan bantuan PKI, Gerwani memberikan perhatian lebih kepada isu kekerasan seksual dan kawin paksa untuk mendorong pengesahan apa yang mereka sebut sebagai Undang-Undang Perkawinan Demokratis.
Antara Emansipasi dan Kepentingan Politik
Dalam kongres tahun 1954, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) merombak kebijakan organisasinya menjadi lebih radikal dan beralih nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010, hlm. 245), Saskia Wieringa menandai periode ini sebagai masa-masa paling feminis bagi Gerwani.
Tema kongres meliputi masalah kemerdekaan dan perdamaian serta emansipasi bagi perempuan dan anak-anak. Gerwani menuntut pemerintah segera menghapus segala bentuk imperialisme dan peraturan kolonial yang merugikan perempuan. Pada saat bersamaan, Gerwani juga menyatakan diri sebagai organisasi perempuan sekuler yang melampaui perbedaan-perbedaan ideologi.
“Dengan dihilangkannya sikap sektarian, baik dalam organisasi maupun cara kerjanya, Gerwani akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai gerakan wanita yang menghimpun massa luas dalam misi perjuangan bagi hak-hak perempuan dan anak-anak,” kata ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerwani, Umi Sarjono, seperti dikutip dari Wieringa.
Berkat resolusi tersebut, jumlah anggota Gerwani melompat tajam pada tahun-tahun berikutnya. Menurut catatan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: kisah tapol wanita di Kamp Plantungan (2011, hlm. 47), pada tahun 1955, jumlah anggota Gerwani sudah mencapai lebih dari 400 ribu perempuan yang menyebar di lebih dari 40 cabang di seluruh Jawa.
Tecatat pada 1956, jumlah anggota Gerwani terus meningkat sekitar 100 ribu orang tiap tahunnya. Kampanye anti-tindak kekerasan seksual dan kawin paksa diselingi pula dengan sosialisasi program-progran organisasi. Akibatnya, pada 1963, Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim memiliki 1,5 juta orang pengikut.
Dalam setiap kampanye Gerwani, salah seorang anggota yang bernama Suwarti bertugas menguraikan panjang lebar langkah perjuangan kelompoknya. Dengan meniru strategi PKI, Gerwani berusaha keras menunjukan bahwa sosialisme merupakan solusi untuk menangkal praktek pernikahan di bawah umur.
“Meningkatnya kawin anak-anak disebabkan karena membumbungnya harga-harga dan bertambahnya kemiskinan di desa-desa, demikian halnya dengan perkembangannya pelacuran,” tulis Suwarti dalam laporannya.
Laporan Suwarti kemudian dijadikan dasar untuk mendorong pemerintah agar melekaskan perumusan Undang-Undang Perkawinan Demokratis untuk mengganti Peraturan Pernikahan No.19/1952. Namun, tuntutan yang disodorkan kepada komisi penyelidik hukum perkawinan pada 1954 ini tidak berjalan mulus. Pernikahan kedua Presiden Sukarno dengan Hartini pada bulan Juni malah mempersulit posisi Gerwani.
Saskia Wieringa mengkritisi sikap kompromi yang ditunjukan Gerwani sangat tidak mencerminkan ideologi awal mereka. Akibat tekanan politik dari PKI, Gerwani bersusah payah menahan sikap radikalnya dan mengisolasi diri dari federasi perempuan agar dapat mengabaikan fakta bahwa Presiden mereka telah berpoligami.
Memulai Kampanye Besar
Sejak tahun 1954, Gerwani dan PKI pada dasarnya memang lebih kerap berjalan beriringan ibarat suami-istri yang sudah terikat perjanjian. Tidak jarang Gerwani mendapat tekanan dari PKI agar keduanya memiliki resolusi yang sama.
PKI dengan berbagai cara mulai melancarkan dukungan untuk membantu melahirkan narasi “keluarga komunis” di tingkat sosial. Salah satu caranya ialah dengan turut mengecam isu-isu yang selama ini dimusuhi Gerwani: poligami, kekerasan seksual, dan perkawinan paksa.
Sejak permulaan tahun 1955, organ PKI Harian Rakjat (26/1/1955) mewartakan dengan berapi-api kasus pernikahan paksa yang menimpa seorang gadis bernama Maisuri. Disebutkan, gadis remaja ini dipaksa menikahi seorang kiai yang sudah memiliki tiga istri dan 12 anak.
Maisuri mengaku tidak mengenal sang kiai. Dia hanya diberitahu bahwa pernikahan itu sudah mendapat persetujuan dari sang ayah. Maisuri akhirnya memilih kawin lari dengan pacarnya. Tak lama, pasangan ini tertangkap dan dikenai hukuman kurungan enam bulan.
Sampai akhir 1955, Harian Rakjat terus menggali kasus Maisuri melalui serangkaian artikel panjang. Tidak sekedar memberitakan, koran ini juga menunjukan kecaman keras terhadap pernikahan paksa. Berangkat dari kasus ini, Gerwani mulai menyisir kasus-kasus di daerah untuk memperkuat dasar tuntutan mereka terkait peraturan pernikahan.
Pada 1956, DPP Gerwani Umi Sarjono menginstruksikan para kader dari Jawa dan Jakarta untuk menghimpun laporan tentang tindak kekerasan dan pengabaian hak perempuan. Ratusan kasus tumpah ruah ke atas meja Umi. Sebagian besar kasus ini tidak bisa terselesaikan selama bertahun-tahun akibat kurangnya pengetahuan soal hukum. Ditambah lagi, perihal adat dan agama sering menjadi kendala.
Menyikapi angka kasus yang sangat besar, Gerwani pusat mulai memberikan pelatihan dan mediasi ke daerah-daerah. Masih pada tahun yang sama, Suwarti bersama dua rekannya yang lain, Kartinah dan Darmini, diberi tugas untuk menyusun kurikulum kursus pelatihan selama 15 hari.
Selain bertujuan mengatasi isu pelanggaran hak perempuan, pelatihan tersebut ternyata juga bertujuan mencetak kader. Kampanye anti-tindak kekerasan seksual dan kawin paksa ala Gerwani hampir selalu diselingi dengan sosialisasi program-progran organisasi. Berkat hal inilah jumlah anggota Gerwani naik pesat sepanjang tahun.
Menurut catatan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: kisah tapol wanita di Kamp Plantungan (2011, hlm. 47), pada tahun 1955, jumlah anggota Gerwani sudah mencapai lebih dari 400 ribu perempuan yang menyebar di lebih dari 40 cabang di seluruh Jawa.
Tercatat sejak tahun 1956, jumlah anggota Gerwani terus meningkat sekitar 100 ribu orang tiap tahunnya. Dengan demikian tidak mengherankan jika pada 1963, Gerwani sudah menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim memiliki 1,5 juta orang pengikut.
Dengan memanfaatkan ratusan ribu aktivis yang tersebar di pelosok, Gerwani masuk ke kampung-kampung untuk memberikan pelatihan tentang hak perempuan berlandaskan sosialisme. Mereka menggunakan data-data tentang kemiskinan yang kaitkan dengan kasus Maisuri untuk menunjukan dampak pernikahan tanpa konsensus.
Selain kasus Maisuri, Gerwani juga mengisi materi kampanyenya menggunakan kasus Attamimi, seorang saudagar Arab yang didakwa memperkosa dan membunuh gadis belia di Jawa Timur. Seperti kasus terdahulu, kasus Attamimi juga mendapat perhatian berkat publikasi surat kabar organ PKI plus kampanye besar pada 20 Juni 1956 untuk menuntut hukuman mati terhadap Attamimi.
“Jika mereka meminta kami menulis petisi tentang kasus Attamimi atau Maisuri otomatis kami melakukannya,” ungkap Suwarni salah seorang pimpinan cabang Gerwani, seperti dikutip dari Wieringa.
Dari buku Pergolakan Ideologi Gerakan Perempuan di Indonesia dalam Transformasi Sosial (2004, hlm. 27) ditemukan bahwa hampir tidak ada organisasi perempuan selain Gerwani yang berani mempersoalkan hukuman Attamimi. Akibatnya, Gerwani kerap kali dipandang terlalu keras sehingga memancing antipati sebagian kelompok Islam Jawa Timur.
Melalui perwakilan nyonya Mudigdo, Gerwani membawa tuntutannya hukuman mati ke muka persidangan di Besuki, Jawa Timur. Di daerah yang dikenal sebagai basis komunitas Islam itu mereka disambut dengan rasa kebencian dan dituding anti-Islam.
“Ketika kami berjalan melalui lorong-lorong kampung, para wanita memperlihatkan wajah tidak bersahabat. Mereka mengucapkan doa-doa sambil menutup pintu,” ungkap nyonya Mudigdo dalam wawancara dengan Wieringa.
Editor: Windu Jusuf