tirto.id - Selang beberapa bulan setelah proklamasi, armada dari Sekutu yang diboncengi Belanda masuk ke Indonesia. Dalam suasana serba kalut dan tak menentu, orang-orang bersiap dan berhimpun. Tak terkecuali organisasi-organisasi perempuan yang menjamur.
Sebagai organisasi perempuan pelopor setelah kemerdekaan, Perwari yang bermula dari Fujinkai menggelar kongres pertama pada 17 Desember 1945 untuk membahas kelanjutan perjuangan perempuan. Namun, ketimbang membulatkan pendapat, kongres itu malah membuka ruang perdebatan baru.
Menurut kesaksian salah seorang anggota Perwari, Nyonya Djatmani Suparta, dalam tulisannya pada buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid IV (1984, hlm. 79-80), kongres pertama sangat bertele-tele. Alur pembicaraan kongres semakin tak jelas. Sebagian peserta saling lempar argumen dan tidak mau mengalah.
Tiba-tiba terdengar suara lantang yang terkesan galak dari barisan belakang. Seorang perempuan bersepatu lars, berseragam hijau, lengkap dengan pistol di sisi kanan, berdiri menegur para perempuan yang saling berselisih. Dia adalah Sumarsih Subiyati, pimpinan Laskar Wanita Indonesia (Laswi).
“Ibu-ibu, mengapa hal yang kecil-kecil dibicarakan sampai berlarut-larut, ingat ini masa perjuangan, masa revolusi! Di garis depan, kalau sesuatu soal tidak dapat dibicarakan dan diselesaikan dengan mulut, kami selesaikan dengan senjata!” ujar Sumarsih seperti dikutip dari catatan Nyonya Djatmani Suparta.
Busana yang dikenakan Sumarsih sangat kontras dengan kebaya dan selendang yang dikenakan para perempuan dalam kongres Perwari. Kehadiran Sumarsih di Yogyakarta saat itu memang bukan untuk bersosialisasi dengan para perempuan organisasi. Sumarsih sengaja datang sebagai peninjau sekaligus mencari kandidat baru Laswi.
Seusai kongres Perwari, Nyonya Djatmani Suparta yang sebelumnya sudah berpengalaman dalam Fujinkai, memutuskan untuk bergabung dengan Laswi cabang Yogyakarta. Penolakan dari orang tua sempat terlontar mengingat reputasi Laswi yang identik dengan citra tentara.
Selain Nyonya Djatmani, Laswi memang banyak menyerap keanggotaan dari kalangan perempuan revolusioner yang aktif berorganisasi. Beberapa perempuan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) seperti Umi Sardjono dan Tris Metty pernah digembleng di bawah Laswi.
Berdasarkan wawancara Sugiarta Sriwibawa dengan Sumarsih Subiyati, diketahui bahwa Laswi lahir di bawah komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Setelah kabar tibanya pasukan Sekutu menyebar luas, Sumarsih—yang ternyata merupakan istri komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat Arudji Kartawinata—berusaha meyakinkan dua orang pimpinan TKR Jawa Barat agar perempuan Bandung diizinkan ikut berperang.
Wawancara yang dikisahkan kembali ke dalam novel perjuangan bertajuk Laskar Wanita Indonesia (1985, hlm. 36) itu juga menyatakan bahwa perjuangan Laswi yang sebenarnya baru dimulai ketika pasukan Inggris dan Gurkha tiba di stasiun Bandung pada 12 Oktober 1945.
Pasukan Laswi secara resmi berdiri untuk membantu TKR di garis belakang dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Namun, sesekali mereka juga dilibatkan di garis depan. Konfrontasi antara Laswi dengan tentara Gurkha ditunjukan melalui kisah seorang gadis bernama Willy yang memiliki nama samaran Kambela Dewi.
“Pada suatu saat penyerbuan akan dimulai, saya berteriak pada mereka [tentara Gurkha]. Salah seorang dari mereka lalu menjawab. Ia begitu mengejek dan seolah-olah akan berbuat yang tidak baik. Samurai pendek memang sudah terhunus bila berada di front,” tulis Willy dalam antologi Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (1995, hlm. 358).
Dalam Laswi, para perempuan memang banyak mendapatkan pelatihan kedisiplinan, cara menembak, bahkan mempelajari siasat tempur serta pertahanan langsung dari TKR. Banyak pula anggota Laswi yang pernah dididik di bawah Barisan Srikandi, barisan perempuan perjuang di bawah Fujinkai bentukan Jepang. Tak heran, Laswi berkembang menjadi laskar perempuan yang dikenal berkat kedisiplinan dan rasa solidaritasnya dengan sesama pejuang.
Pada pengujung bulan Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengkritik pedas kegagalan laskar Jawa Barat merebut markas Kempeitai Kiaracondong di Kota Bandung. Hal ini memicu pertikaian dan sempat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan pejuang. Salah seorang anggota Laswi lantas menembak mati tentara Gurkha untuk membela laskar Jawa Barat.
“Untuk membuktikan bahwa pemuda-pemudi Bandung sama sekali bukan ‘peuyeumbol’ [bermental lembek], seorang Laswi bernama Soesilowati telah menembak mati seorang serdadu Gurkha dan memenggal kepalanya. Potongan kepala itu dikirim ke Jawa Timur,” tulis surat kabar Buana Minggu (3/9/1978).
Menurut penuturan Sumarsih Subiyati, dirinya sangat hati-hati saat membawahi Laswi agar tidak terjadi pelanggaran moral dalam masyarakat yang cenderung masih tradisional. Untuk itu, Sumarsih menetang keras segala hubungan percintaan dalam tangsi militer. Syarat ini secara khusus diperuntukkan bagi anggota Laswi yang masih gadis.
“Tidak seorang lelaki pun diizinkan memasuki gedung kami. Tidak ada love affairs, karena para gadis Laswi tidak diperkenankan mempermalukan diri sendiri, dan jika aturan itu dilanggar maka sanksinya peluru,” ungkap Sumarsih kepada Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010, hlm. 148).
Laswi sering mendampingi tentara sepanjang perang revolusi. Sekilas, Laswi memang nampak seperti tentara perempuan. Bahkan mereka juga diberi pangkat kemiliteran, meski sifatnya hanya sementara.
“Saya masuk Laswi dengan pangkat sersan, tetapi saya tidak pernah memakai tanda pangkat tersebut karena malu. Lama-lama saya tahu bahwa pangkat tersebut hanya sebagai pelengkap,” ungkap Hajjah Habibah Lubis dalam Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (hlm. 59).
Laswi memang bukan satu-satunya laskar perempuan sepanjang masa perang revolusi. Masih banyak lagi perempuan yang berjuang di garis belakang. Laswi justru sebaliknya, mereka cenderung lebih keras berjuang menuntut kedaulatan.
Berdasarkan penelusuran majalah Femina (10/8/1982) diketahui bahwa Laswi pernah bergabung dengan laskar perempuan lain dari Solo yang bernama Laskar Putri Indonesia (LPI). Tetapi, penggabungan ini tidak berumur panjang karena terjadi perbedaan prinsip di antara keduanya.
Editor: Windu Jusuf