tirto.id - Analisis awal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menemukan adanya potensi kehilangan penerimaan negara sekitar Rp140 miliar akibat selisih harga (under-invoicing) antara nilai yang tercantum dalam dokumen ekspor yang salah satunya dilakukan oleh PT MMS dengan harga barang sebenarnya.
Analisis awal ini merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan tim gabungan antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu, DJP, dan Satgas Khusus (Satgasus) Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) terhadap pelanggaran ekspor penghindaran kewajiban ekspor komoditas kelapa sawit dan produk turunannya oleh PT MMS.
“Ini dapat kami sampaikan bahwa tersangka awal adalah PT MMS. Dan tentunya ada tiga perusahaan yang berafiliasi terkait dengan kegiatan ini. Untuk siapa-siapa yang menjadi inisiatornya, tentu akan dilakukan pendalaman lebih lanjut,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Djaka Budi Utama, dalam konferensi pers Pengungkapan Kontainer Pelanggar Ekspor CPO, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (6/11/2025).
Tiga perusahaan yang terafiliasi dengan PT MMS di antaranya: PT LPMS, PT LPMT dan PT SUNN. Meski begitu, DJP masih harus melakukan pemeriksaan bukti permulaan guna memastikan Kebenaran data, kesesuaian nilai transaksi, serta kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan, sesuai ketentuan yang berlaku.
“Target final sebenarnya selain deteren effect, itu yang paling penting adalah tata kelola. Tentu, ini kami tidak bisa sendiri, tadi Pak Menteri (Perindustrian) sudah mengatakan, beliau juga akan melakukan pembenahan tata kelola, supaya hilirisasi industri sawit itu targetnya tepat nilai tambahnya di Indonesia,” jelas Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, saat ditemui awak media usai konferensi pers.
Lebih lanjut Bimo menjelaskan, nilai Rp140 miliar merupakan potensi kehilangan negara yang ditimbulkan dari praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh 25 wajib pajak, termasuk PT MMS. Sama seperti yang dilakukan PT MMS, modus yang digunakan oleh wajib pajak-wajib pajak badan itu juga dengan melaporkan kepada DJBC bahwa produk yang akan diekspor merupakan limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME), namun bukan merupakan POME.
“Jadi, bea masuknya itu bisa 10 kali lipat lah yang katakanlah diduga di-under-invoicing. Tentu, dari sisi perpajakannya, ketika kita menghitung kembali beban pajak yang dibayarkan kepada negara tentu juga sangat berkurang jauh. Apabila yang diakui adalah HS code yang tidak sebenarnya dari barang yang diekspor,” jelas Bimo.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































