tirto.id - DPR dan pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Hal ini terungkap setelah beredar jadwal pembahasan revisi UU Polri usai masa reses beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan babhwa rencana revisi UU Polri mengemuka saat mereka merevisi Undang-Undang Kejaksaan tentang usia pensiun dan usia jabatan fungsional. Hal itu dilakukan berdasarkan permintaan sejumlah pihak untuk merevisi UU TNI dan Polri.
"Supaya semua sama di antara penegak hukum ini, kita kemudian melakukan juga revisi," ujar Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Rencana pembahasan revisi UU Polri pada awalnya tidak terlalu mengemuka hingga beredar draf rencana revisi UU Kepolisian. Lalu kritik publik bermunculan karena draf tersebut memuat sejumlah pasal bermasalah.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti sejumlah pasal yang dinilai tidak menyelesaikan masalah di tubuh kepolisian.
"KontraS menyoroti sejumlah perubahan pada RUU Kepolisian yang proses perumusan dan pembahasannya dianggap masih minim partisipasi dan substansi, tidak akan menyelesaikan masalah institusional kepolisian," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, Senin (20/5/2024).
Pertama, RUU Kepolisian memperluas kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber. Juga diberi kewenangan untuk menindak, memblokir atau meutuskan hingga upaya memperlambat akses di ruang siber.
Menurut Dimas, kewenangan yang luas itu rentan disalahgunakan. Ia memberi contoh bagaimana upaya pelambatan internet secara sewenang-wenang di Papua pada tahun 2021.
"Rencana ‘pembinaan’ dan ‘pengawasan’ terhadap ruang siber juga jangan sampai digunakan sebagai justifikasi untuk menyerang masyarakat yang bersuara kritis melalui media sosial dan melakukan serangan digital terhadap aktivis, jurnalis, pembela HAM dan pembela lingkungan hidup seperti yang pernah dialami oleh jurnalis Narasi beberapa waktu lalu," kata Dimas.
Ia menambahkan, kewenangan kepolisian berpotensi berbenturan dengan Undang-Undang 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Menurutnya, pemblokiran, pemutusan, dan perlambatan akses internet juga bertentangan dengan hak warga negara untuk memperoleh dan mengakses informasi secara bebas.
Dimas menilai, perluasan makna “membina” dan “mengawasi” ruang siber jika dilakukan secara sewenang-wenang juga dapat melanggar hak privasi warga negara sesuai pasal 28G ayat 1 Undang-Undang 1945 dan pasal 17 konvenan internasional hak-hak sipil dan politik.
Maraknya kasus kebocoran data pribadi dan ruang siber di Indonesia yang rentan terhadap serangan, membuat kewenangan terhadap ruang siber perlu ditinjau dengan matang. Implementasinya perlu dilakukan dengan pengawasan yang baik untuk menghindari kesewenang-wenangan dan pelanggaran privasi warga negara.
Kedua, KontraS menyoroti soal polisi yang diperbolehkan melakukan penyadapan dan memperluas bidang intelijen serta keamanan untuk melakukan penggalangan intelijen.
Menurut Dimas, kewenangan baru ini juga rentan disalahgunakan, apalagi Indonesia belum memiliki undang-undang tentang penyadapan.
Selain itu, kewenangan penggalangan intelijen dikhawatirkan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga khusus intelijen yakni Badan Intelijen Negara (BN). Ia menekankan upaya memasukkan wewenang tersebut sama dengan upaya untuk mengambil porsi wewenang lembaga seperti BIN.
Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menunjukkan kewenangan lembaga pengawasan seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Menurut Dimas, Kompolnas tidak menunjukkan performa memadai sebagai lembaga pengawas dan terkesan tidak berfungsi dalam bekerja.
"RUU Kepolisian yang baru seharusnya turut memperkuat fungsi lembaga pengawasan untuk menjamin terciptanya institusi kepolisian yang kompeten dan profesional,” ujarnya.
Ia menambahkan, di tengah kewenangan dan diskresi yang begitu luas, institusi kepolisian tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat dan signifikan untuk mengontrol angka pelanggaran.
Ia menegaskan, kewenangan yang luas perlu diikuti pengawasan yang ketat demi menekan angka penyelewengan.
Mengutip data KontraS, selama Januari-April 2024 mencatat 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM rentan terjadi, maka itu mekanisme pengawasan seharusnya diperkuat.
"Selama ini mekanisme pengawasan serta sanksi kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran tidak dijalankan dengan ketat, banyak anggota yang melakukan pelanggaran hanya dikenai sanksi etik, bahkan dalam beberapa kasus tidak dikenai sanksi sama sekali,” ungkapnya.
Kondisi tersebut, imbuhnya, menunjukkan bahwa penguatan terhadap oversight mechanism oleh lembaga seperti Kompolnas seharusnya diperketat agar bisa menjalankan tugas secara efektif.
“Kompolnas sejatinya perlu diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri," ujarnya.
Keempat, KontraS juga menyoroti RUU Kepolisian yang masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa.
Menurut Dimas, kehadiran pengaturan Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian mungkin merupakan ejawantah konsep “pemolisian masyarakat” ala Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Akan tetapi, kebijakan pamswakarsa di RUU Kepolisian malah minim urgensi dan memicu pelanggaran HAM.
Ia mencontohkan kasus pembubaran yang dialami oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Sanur, Bali, pada 2022. Maka itu, pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian perlu ditinjau kembali.
Terakhir, KontraS mengritik penambahan batas usia aktif aparat menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri, dan 65 tahun untuk pejabat fungsional Polri. Dimas menilai tidak ada urgensi yang jelas pada penambahan batas usia aktif.
Selain itu, akan berdampak pada regenerasi lembaga dan tidak menyelesaikan penumpukan pejabat tinggi dan menengah di Korps Tri Brata. Mak itu, KontraS mendorong agar perbincangan penyusunan RUU Polri lebih partisipatif dan mau menghentikan sementara pembahasan RUU Polri.
"DPR RI bersama pemerintah untuk menghentikan sementara proses pembahasan RUU Kepolisian dan melakukan evaluasi, serta meninjau ulang beberapa perubahan dalam RUU Kepolisian, khususnya pasal-pasal yang memperluas kewenangan kepolisian," kata Dimas.
Sementara peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, yakin bahwa revisi UU Kepolisian tidak akan membawa perbaikan. Ia justru menilai kewenangan kepolisian malah semakin luas tanpa memperhatikan kepentingan publik.
"Revisi UU kepolisian itu memang sudah mendesak, tetapi draf revisi tidak ada yang substansial bagi kepentingan publik, bahkan hanya memberi kewenangan pada kepolisian semakin besar," kata Bambang, Senin (20/5/2024).
Bambang mempersoalkan akuntabilitas lembaga kepolisian. Menurutnya, nyaris tidak ada pasal yang mengatur pertanggungjawaban kepolisian kepada publik.
Bambang juga menyoroti soal penegakan etik. Ia menilai, penegakan etik lewat komisi etik internal tidak menjadi solusi dan memicu bias kepentingan kepolisian.
Ia menilai kasus di internal kepolisian lewat penegakan etik masih belum optimal dan tidak sesuai harapan masyarakat. Ia mencontohkan, seseorang yang melakukan tindak pidana masih bisa menjadi polisi akibat putusan etik.
Kemudian, dia menambahkan, tidak ada aturan spesifik soal ketentuan biaya operasional. Menurut Bambang, anggaran operasional kepolisian seharusnya mengatur spesifik hanya menggunakan APBN. Ia khawatir, anggaran operasional kepolisian bisa diambil dari sumber di luar APBN yang berimbas pada bias penindakan.
"Ini sangat berbahaya karena sebagai lembaga penegak hukum bisa bias kepentingan. Bagaimana seseorang yang melakukan penegakan hukum diterapkan pada seseorang yang sudah memberikan hibah, misalnya seperti itu," tegas Bambang.
Selain itu, peran Kompolnas masih belum optimal dalam revisi tersebut. Ia mengatakan, kewenangan polisi bertambah, tapi pengawasan tetap sama. Hal ini berbahaya bagi kepentingan publik.
Menurutnya, penguatan Kompolnas tetap penting karena personel Kompolnas saat ini tidak bisa mengawasi jumlah anggota kepolisian yang mencapai 450 ribu orang.
Selain itu, Bambang juga mengritik pengaturan soal kewenangan kepolisian dalam pengamanan privat. Bambang menilai kewenangan kepolisian sebaiknya fokus pada keamanan publik dan bukan keamanan privat.
Dalam kacamata Bambang, masalah anggaran, pengawasan, hingga pengaturan pengamanan privat jauh lebih penting bagi publik daripada mengatur soal penguatan kelembagaan, termasuk soal penambahan usia pensiun.
Dalam kasus penambahan usia pensiun, Polri malah memperkuat hegemoni kekuasaannya pada publik dan tidak bermanfaat bagi masyarakat.
"Dengan penambahan kewenangan itu, malah berpotensi membahayakan masyarakat, menjadi ancaman bagi rasa aman tanpa ada kontrol dan pengawasan yang kuat dan diikuti pertanggungjawaban yang kuat. Jangan sampai itu terjadi," kata Bambang.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi