Menuju konten utama

Relasi, Konflik, & Potensi Perang Cina-Taiwan

Cina dan Taiwan kembali memanas. Cina kembali menunjukkan niat mengambil Taiwan, dan Taiwan tetap berupaya mempertahankan. Lalu, apa ada potensi perang?

Relasi, Konflik, & Potensi Perang Cina-Taiwan
Kendaraan militer Taiwan melakukan parade saat perayaan Hari Nasional di depan Gedung Kepresidenan di Taipei, Taiwan, Minggu, 10 Oktober 2021. FOTO/AP Photo/Chiang Ying-ying

tirto.id - Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (65) kembali menegaskan negaranya tidak akan tunduk oleh Cina dalam pidato untuk menyambut Hari Nasional Taiwan yang ke-110 di ibu kota Taipei, 10 Oktober kemarin.

“Jalan yang sudah ditetapkan oleh Cina tidak menawarkan cara hidup yang bebas atau demokratis bagi Taiwan, juga kedaulatan bagi 23 juta jiwa rakyat kami,” katanya.

Pernyataan ini sepertinya biasa-biasa saja jika dicerabut dari konteksnya. Namun menjadi bermakna lebih dalam sebab itu disampaikan tak lama setelah empat hari berturut-turut langit Taiwan dilintasi 145 unit jet tempur Cina.

Meski Cina jelas-jelas tengah unjuk kekuatan, Presiden Xi Jinping menyerukan “reunifikasi yang damai” kepada Taiwan.

Reunifikasi Bukan Opsi Populer

Usaha untuk mengembalikan Taiwan ke pangkuan Cina Daratan sudah menjadi agenda Partai Komunis Cina sedari lama. Awalnya mereka membingkainya dalam narasi “pembebasan Taiwan”. Namun, setelah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada 1979, mereka meyebutnya sebagai “reunifikasi”.

Meskipun otoritas Cina mengklaim ingin memakai cara-cara diplomatis untuk mencapai reunifikasi, mereka tidak alergi terhadap teknik-teknik intimidatif dan provokatif seperti unjuk kekuatan militer baru-baru ini.

Tapi pemerintah Taiwan pun selalu berupaya mempertahankan kedaulatannya. “Kami punya pemerintah sendiri, pemilu yang bebas, dan rakyat bisa memilih pemimpin yang diinginkan… Tak satu pun hal tersebut bisa berlaku di bawah yurisdiksi Beijing,” ujar Presiden Tsai tahun lalu saat mengomentari situasi di Hong Kong, daerah semiotonom Cina yang akhirnya bertekuk lutut di bawah represi Beijing.

Kehendak pemerintah Taiwan selaras dengan keinginan rakyat. Menurut survei Pusat Studi Pemilu di National Chengchi University, warga Taiwan yang menghendaki reunifikasi segara selama nyaris tiga dekade konsisten di angka 1-2 persen saja. Sampai Juni 2021, sekitar 80 persen responden ingin mempertahankan status quo hubungan Taiwan dan Cina sebagaimana sudah berjalan selama ini. Di antara mereka, 25 persen berharap Taiwan kelak bisa meraih kemerdekaan penuh, 27 persen tidak keberatan apabila status quo berlaku selamanya, dan 28 persen lainnya ingin agar masa depan Taiwan dipikir belakangan.

Dalam kondisi status quo, Taiwan memang tidak diakui sebagai negara oleh komunitas internasional. Pada Olimpiade Tokyo kemarin, misalnya, mereka berkompetisi sebagai kontingen Cina Taipei, alih-alih Taiwan atau Republik Cina—nama resmi Taiwan.

Sampai hari ini, hanya belasan negara kecil yang punya hubungan diplomatik dengan Taiwan, termasuk kota suci Vatikan. Meskipun demikian, Taiwan tetap melakukan kerja sama dagang dan ekonomi dengan banyak negara di Asia-Pasifik sampai Uni Eropa, tanpa menuntut pengakuan diplomatik resmi dari mereka.

Relasi Kompleks Taiwan dengan Cina dan AS

Selama satu dekade terakhir, tingkat pertumbuhan anggaran pertahanan Cina selalu lebih besar daripada Produk Domestik Bruto (PDB), demikian dilaporkan think tank CSIS. Pada 2019, pengeluaran militer Cina diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun, tertinggi kedua di dunia setelah AS. Dengan melimpahnya anggaran, seperti yang ditemukan Nuclear Threat Initiative, tak heran Cina jadi salah satu negara dengan peluru kendali (rudal) terbesar dan paling beragam—yang jumlahnya diprediksi terus meningkat.

Sampai Perang Dingin berakhir kapasitas rudal Cina masih rendah karena terbatas untuk kepentingan senjata nuklir. Barulah sejak dekade 1990-an peluru kendali jarak dekat konvensional mulai dipasang dalam jangkauan Taiwan. Seiring itu, pembangunan infrastruktur pertahanan mulai digencarkan.

Militer Cina juga tidak main-main dalam melatih pasukan. Beberapa tahun silam, dengan dasar gambar satelit, Victor R. Lee melaporkan di daerah Zhurihe, Mongolia Dalam terdapat semacam arena latihan yang infrastruktur jalan dan bangunannya menyerupai Taipei. Pada 2015, tersebar video tentang serangan tentara Cina ke gedung yang menyerupai kantor presiden di area itu.

Lokasi latihan tersebut dibangun pada era Presiden Xi, yang administrasinya dipandang jauh lebih agresif dalam menganeksasi Laut Cina Selatan. Di bawah era Xi pula, Cina lebih gencar menggerus demokrasi di Hong Kong dan berseteru dengan Jepang terkait kepemilikan Pulau Senkaku/Diayou.

Menurut Lee, arena latihan militer Zhurihe berfungsi sebagai alat propaganda menjelang Pemilu Presiden Taiwan pada Januari 2016. Kala itu, survei menunjukkan popularitas paling tinggi pada Tsai, kandidat sokongan Partai Progresif Demokrat yang cenderung prokemerdekaan Taiwan.

Zhurihe juga dipandang lebih dari sekadar propaganda karena wujudnya “nyata” sekaligus punya “nilai praktis”. Dengan latihan di tempat seperti itu tentu akan memudahkan pasukan seandainya Cina benar-benar menyerang Taiwan.

Namun, di balik relasi politik yang penuh ketegangan, Negeri Tirai Bambu tetaplah rekan dagang penting bagi Taiwan. Tahun lalu Cina menerima 44 persen dari total ekspor Taiwan—meningkat 12 persen dari 2019.

Penting dicatat bahwa Taiwan punya peranan penting dalam rantai pasokan global semikonduktor, bahan pembuatan komputer, telepon genggam, sampai mobil. Tahun lalu, mereka menguasai 63 persen pasar semikonduktor dunia. Komponen elektrik inilah yang mendominasi ekspor Taiwan ke Cina, yang tak lain produsen alat-alat elektronik berbahan semikonduktor. Singkatnya, ketergantungan ekonomi antara Cina dan Taiwan cukup kuat.

Hubungan yang kompleks tidak hanya terjadi pada Taiwan dan Cina, tapi juga AS. Dalam UU Relasi Taiwan yang disahkan beberapa bulan setelah normalisasi AS-Cina empat dekade silam, dijelaskan bahwa AS tidak boleh terlibat dalam konflik militer Taiwan. Uniknya, AS boleh menawarkan alat atau teknologi persenjataan kepada Taiwan agar mereka bisa membela diri apabila suatu hari nanti diserang. Dilansir dari Bloomberg, pemerintah AS menjual senjata senilai lebih Rp300 triliun kepada Taiwan sejak 2010.

Tahun kemarin, Taiwan dikabarkan akan membeli rudal SLAM-ER dan sistem roket artileri mobilitas tinggi (HIMARS). Terbaru, di bawah administrasi Joe Biden, terdapat pembahasan di Kongres AS tentang rencana penjualan 40 howitzer M109 dan 1.700 sistem panduan presisi.

Selama puluhan tahun, sikap “ambigu yang strategis” terhadap Taiwan ini dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin AS, dari Jimmy Carter, Ronald Reagan, hingga Biden.

Nama yang disebut terakhir kini dihadapkan pada kenyataan bahwa kekuatan militer Cina semakin kuat dan lebih mengancam bagi Taiwan dibandingkan dengan di masa lalu. Namun belum diketahui sejauh mana administrasi Biden akan menyikapi situasi di Selat Taiwan yang memanas sepanjang awal Oktober ini.

Jika menilik aturan hukumnya, kecil kemungkinan pasukan AS akan diterjunkan ke medan peperangan untuk mendampingi langsung tentara Taiwan.

Pejabat pilihan Biden untuk perkara relasi AS-Taiwan, James Steinberg, mengungkapkan bahwa segala cara yang dilakukan untuk mengubah masa depan Taiwan di luar cara-cara damai dipandang oleh pemerintah AS sebagai “ancaman terhadap perdamaian dan keamanan di kawasan Pasifik Barat” dan karenanya mendapatkan “perhatian serius.”

Seandainya Perang Terjadi

Ketegangan politik dalam sekian tahun terakhir akhirnya memicu sejumlah skenario tentang bagaimana Cina mencaplok Taiwan.

Pada 2020, H. I. Sutton, analis pertahanan dan penulis serial buku kapal perang Cover Shores, menulis di Forbes bahwa invasi militer Cina ke Taiwan kelak dilakukan oleh Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Cina (People’s Liberation Army Navy). Menurutnya militer Cina akan mengerahkan sedikitnya dua unit kapal induk dari sisi Samudra Pasifik. Mereka diiringi kapal-kapal perang yang modelnya mirip dengan sistem penghancur AEGIS milik Angkatan Laut AS. Armada kapal selam Cina, salah satu yang terbesar di dunia, juga dikerahkan.

Sutton mengatakan kapal-kapal amfibi akan dipakai untuk mengangkut pasukan. Salah satunya berasal dari kelas Yuzhao tipe 071, yang menyerupai kapal dari kelas San Antonio milik Angkatan Laut AS. Mereka mungkin juga didampingi dengan kapal serbu amfibi tipe 075 yang teknologinya menyerupai kapal-kapal tipe kelas AS.

Meskipun pasukan Cina mengantongi teknologi maritim canggih, mereka tampaknya bakal kewalahan berlabuh di Taiwan. Pasalnya, medan di sekeliling pulau sulit dijinakkan. Selain itu, tentara Taiwan juga dinilai punya teknologi pertahanan cukup baik meskipun tidak semodern milik Cina.

Masih ada kelemahan lain pada pasukan Cina. Seperti Sutton kutip dari analis militer B. A. Friedman, Angkatan Laut Cina belum punya cukup ilmu dan kemauan kuat untuk berlaga di medan perang. Tentara-tentaranya dianggap belum berpengalaman, apalagi dalam seni perang amfibi di perairan.

Terlepas dari itu, pertempuran diperkirakan tetap berlangsung sengit dan lama—agak lama sampai-sampai forum internasional yang dipimpin militer AS ikut mengintervensi dan menggiring kemenangan ke sisi Taiwan.

Cina jelas diprediksi kalah dalam skenario di atas. Akan tetapi, perlengkapan dan persenjataan militer mereka tetap tidak bisa disepelekan, meskipun kualitasnya memang masih di bawah AS—yang anggaran pertahanannya setiap tahun sekitar 3 kali lipat lebih banyak daripada Cina.

Infografik Cina vs Taiwan

Infografik Cina vs Taiwan. tirto.id/Fuad

Apabila skenario pencaplokan Taiwan oleh Cina versi Sutton berpusar pada perang konvensional, yang dibayangkan oleh Brent W. Thompson mengarah pada perebutan kekuasaan tanpa kekerasan. Dalam tulisan untuk Small Wars Journal (2020), staf sekaligus pengacara militer AS ini menyoroti keterbatasan energi di Taiwan sebagai satu kelemahan utama. Menurut Thompson, poin itulah yang bakal Cina serang.

Thompson memang menemukan betapa rentannya ketahanan energi Taiwan. Pernah, pada 2017, seorang staf melakukan kekeliruan di pusat tenaga listrik yang dampaknya terasa oleh jutaan rumah tangga dan bisnis yang kehilangan 4 juta kilowatt listrik. Situasi serupa pernah terjadi akibat gempa bumi 1994 silam.

Di samping itu, Thompson mencatat Taiwan tidak menghasilkan sumber bahan bakar fosil sendiri. Sebanyak 98 persennya diperoleh lewat impor.

Krisis listrik diperkirakan bakal lebih sering terjadi seiring bencana alam musiman dan angin topan silih berganti. Dampaknya, masyarakat makin kesulitan mengakses pangan dan energi. Kelaparan massal dan kekacauan tidak terhindarkan.

Situasi ini akhirnya jadi pintu masuk Cina ke Taiwan. Menurut Thompson, otoritas Cina dapat mengirimkan intelijen berkedok bantuan kemanusiaan. Selain menggali informasi, intelijen juga dapat dipakai untuk menarik kalangan suku-suku asli Taiwan agar mau bersimpati dengan rezim komunis Cina. Bersamaan dengan itu, tentara atau intelijen Cina menyusup pemerintahan untuk membubarkan lembaga dewan perwakilan Yuan dan melengserkan Presiden yang prodemokrasi.

“Hanya dalam tiga minggu,” Thompson memprediksi, “pemerintahan pro-Cina berkuasa dan Taiwan menyelenggarakan referendum nasional.” Bisa diduga, hasilnya sesuai dengan harapan Beijing, terlebih karena warga Taiwan sudah terlampau putus asa dengan keterbatasan yang mereka alami.

Thompson mengakui bahwa skenario di atas terdengar mustahil, akan tetapi bukan tak mungkin terjadi jika berkaca pada aneksasi Krimea oleh Rusia 2014 silam.

Bertahun-tahun sebelum Rusia mengambil alih Krimea, mereka sudah menggencarkan soft power. Mulai dari memperkuat ikatan etnis sampai mendalangi kerusuhan-kerusuhan sipil. Ketika waktunya tepat, pasukan elite dikirim dalam operasi rahasia untuk merebut pemerintahan. Semua berjalan lancar tanpa pertumpahan darah berarti. John Simpson dari BBC bahkan menyebut pencaplokan Krimea oleh Rusia sebagai “invasi termulus pada era modern.” “Kejadiannya sudah selesai sebelum dunia luar menyadarinya dimulai,” tulis Simpson.

Seiring munculnya beragam dugaan tentang cara Cina mencaplok Taiwan, pemerintah Taiwan terus berusaha memperkuat kapasitas militernya. Melansir artikel Nikkei Asia, pada September kemarin tentara Taiwan kembali melakukan latihan tahunan rutin di kawasan timur pulau, area yang dianggap paling sulit ditembus musuh.

Pemerintah Taiwan dikatakan ingin berinvestasi besar untuk rudal jarak jauh atau yang bisa meluncur 1.200-2.000 km sampai ke Cina Daratan. Kementerian Pertahanan baru saja mengajukan proposal anggaran Rp120 triliun khusus untuk produksi massal rudal jarak jauh, sedangkan anggaran pertahanan yang sudah disahkan untuk tahun depan sebesar Rp 230 triliun (sebagai perbandingan, anggaran Kementerian Pertahanan Indonesia berkisar Rp 130 triliunan per tahun). Jika anggaran produksi rudal diloloskan, pengeluaran Taiwan untuk misi-misi pertahanan bakal meroket.

Di balik masifnya sumber daya yang dikerahkan Cina dan Taiwan untuk pertahanan masing-masing, arah konflik keduanya tetap bukan perkara yang mudah ditebak.

Eks-komandan militer AS untuk wilayah Indo-Pasifik, Philip Davidson, memperkirakan dalam kurun waktu enam tahun militer Cina akan punya kapasitas cukup untuk mencaplok Taiwan apabila mereka memang menghendaki cara kekerasan untuk reunifikasi. Namun demikian, menurut John Blaxland, profesor kajian strategi dan keamanan dari Australian National University, perang konvensional atau konflik terbuka tidak akan jadi agenda militer Cina dalam waktu dekat. Alasannya, Cina sekarang masih fokus memperkokoh ekonomi terutama melalui investasi di proyek-proyek infrastruktur seperti Belt and Road Initiative. Sampai betul-betul mandiri dan mapan, Cina tampaknya tak akan berani menyatakan perang terbuka.

Mungkin lebih cocok untuk meminjam pendapat dari pejabat Kemenlu AS untuk urusan relasi AS-Taiwan, James Steinberg, yang menganalogikan relasi Cina-Taiwan sebagai “spiral pertahanan.” “Tidak ada stabilitas dalam situasi seperti ini,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PERANG atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino