tirto.id - Apa yang terjadi seandainya orang Indonesia membeli barang dari Cina seharga 5 yuan melalui AliExpress?
Misalnya barang tersebut dibayar menggunakan rupiah. Namun, karena rupiah bukan mata uang yang sah digunakan di Cina--tak terlihat oleh mata, dibantu oleh bank, payment processing networks (jaringan pemrosesan pembayaran) seperti Mastercard/Visa, ataupun Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)--uang dalam bentuk rupiah yang dibayarkan itu ditukar ke dalam bentuk renminbi (nama mata uang Cina, sementara yuan adalah satuan hitung) sebelum akhirnya diterima AliExpress untuk meneruskannya ke pedagang/pengusaha yang menjual barang seharga 5 yuan itu.
Melihat teknis transaksi ini, rupiah seolah langsung ditukarkan ke dalam bentuk renminbi. Namun, entah suatu negara menerapkan sistem mengambang (floating, berpatokan pada permintaan/penawaran) atau tetap (fixed, berpatokan pada satu/beberapa mata uang yang dianggap kuat) soal nilai tukar mata uang (exchange rate) dolar Amerika Serikat umumnya selalu terlibat. Maka, soal transaksi barang senilai 5 yuan di AliExpress itu, rupiah yang dibayarkan secara otomatis diubah dahulu ke dalam bentuk dolar, sebelum akhirnya menjadi renminbi. Begitupun sebaliknya. Begitu pula dengan mata uang lainnya.
Hal ini terjadi karena secara de facto, dolar AS merupakan mata uang utama transaksi internasional. Keadaan ini menimbulkan ketergantungan yang kuat dari hampir semua negara di dunia terhadap dolar AS.
Karena faktor inilah semenjak awal September kemarin, diwakili Bank Indonesia dan People's Bank of China, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Cina sepakat menerapkan skema local currency settlement (LCS). Skema ini diterapkan ketika Indonesia dan Cina melakukan transaksi perdagangan (tentu bukan di level membeli barang di AliExpress senilai 5 yuan) dan investasi, menggunakan mata uang lokal--rupiah dan renminbi. Melalui LCS ini, Indonesia dan Cina sepakat menentukan nilai tukar tetap (FX Settlement) rupiah-renminbi, tanpa melibatkan dolar AS alias kuotasi nilai tukar secara langsung (direct quote) antara keduanya.
Bagi Indonesia, sebagaimana diwartakan Antara, skema LCS Indonesia-Cina dianggap dapat mendukung stabilitas rupiah, mengurangi ketergantungan pada mata uang tertentu (dolar AS khususnya). Sementara bagi Cina, diwartakan China Daily (media yang dimiliki Departemen Propaganda Komite Pusat Partai Komunis Cina), kerjasama ini dianggap sebagai "penanda lanjutan internasionalisasi yuan." Cita-cita adiluhung Cina menjadikan renminbi sebagai mata uang dunia.
Mata Uang sebagai Alat Politik
Ekonomi Cina, tak bisa dipungkiri merupakan yang terbesar kedua di dunia. Hanya menghasilkan produk domestik bruto (PDB) senilai $731 miliar pada 1995, ekonomi Cina melesat hingga meraih PDB senilai $11 triliun sepuluh tahun kemudian. Menyumbang 15 persen PDB dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat dengan selisih $7 triliun. Dan dalam tata perdagangan internasional, Cina merupakan pemain terpenting. Negara yang menjadi tempat lahirnya segala produk berlabel "Made in China", dari botol minuman hingga iPhone, menyumbang lebih dari 12 persen total perdagangan global, mengantongi 30 persen total cadangan devisa (foreign exchange reserves) dunia.
"Nahas, meskipun ekonomi Cina sangat besar, mata uangnya, renminbi, tak memiliki nasib serupa dengan ekonominya," tulis Eswar Prasad, Profesor Kebijakan Perdagangan Internasional di Cornell University dalam Gaining Currency: The Rise of the Renminbi (2016). Renminbi kalah jauh dibandingkan euro, poundsterling, yen, apalagi dolar AS dalam tata keuangan dunia. Selain oleh warga negaranya sendiri, Renminbi jarang dilirik para pelaku usaha internasional.
Mengapa hal ini terjadi? Salah satu alasannya adalah karena Pemerintah Cina sangat kuat mengatur renminbi. Sejak tahun 1994, dengan berpatokan kepada dolar AS (pegging), Cina menetapkan bahwa $1 setara dengan 8,28 yuan. Masalahnya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, devaluasi mata uang (penurunan nilai mata uang terhadap dolar) acap kali dilakukan Cina. Sejak 2005 mata uang ini terapresiasi 33 persen atas dolar AS.
Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan cara kerja ekonomi, di mana ekonomi pesat (ekonomi Cina) seharusnya diimbangi dengan penguatan mata uang (renminbi). Ditambah dengan seringnya Pemerintah Cina mengobrak-abrik dunia bisnis, bahkan di dalam negerinya sendiri seperti menghantam Alibaba hingga Tencent, komunitas internasional tak suka dengan renminbi.
Awalnya, meskipun ketidaksukaan komunitas internasional terhadap renminbi dianggap biasa-biasa saja oleh Pemerintah Cina, Beijing akhirnya tersadar pula bahwa mata uang bukan cuma alat transaksi, tetapi juga alat politik. Kesadaran ini terjadi salah satunya gara-gara Rusia.
Pada Februari 2014, Rusia menginvasi Ukrania, menduduki Crimea. Namun, karena AS dan Uni Eropa tak ingin ikut serta dalam pertarungan Rusia-Ukrania, Barat membantu Ukraina dalam pertempurannya dengan Rusia melalui cara lain, yakni dengan menjatuhkan sanksi ekonomi. Menghentikan kerjasama bisnis antara AS, Eropa, serta negara-negara sekutu NATO seperti Kanada dengan Rusia.
Tak hanya larangan ekspor-impor teknologi ataupun minyak di antara keduanya, tetapi juga menyangkut penghentian akses finansial Barat. Akhirnya, meskipun perusahaan-perusahaan asal Rusia di luar negeri masih dapat melakukan kerja bisnis, tapi mereka tidak dapat mentransfer uang ke Rusia karena payment processing networks (jaringan pemrosesan pembayaran) seperti Mastercard/Visa ataupun Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), yang berkantor pusat (dan mayoritas beroperasi) di AS dan Eropa tak bisa memproses permintaan transfer atas sanksi yang dijatuhkan. Ini merusak ekonomi Rusia.
Vladimir Putin, mantan agen KGB yang kini sebagai Presiden Rusia, berang. Ia menyebut bahwa "Visa dan Mastercard, yang dulu kami anggap sebagai partner, ternyata kalah dengan tekanan politik."
"Ini gila," kata Putin. "Segala transaksi di dalam negeri mayoritas menggunakan Visa dan Mastercard. Celakalah kami, Visa dan Mastercard memproses transaksi kami melalui server mereka di AS."
Tak ingin menderita lebih jauh, Rusia segera menciptakan sistem transaksi mereka sendiri bernama Mir. Namun Mir gagal bersaing dengan Visa serta Mastercard.
Sadar bahwa Rusia dihantam melalui kekuatan finansial, Beijing sigap melakukan perubahan. Per Oktober 2015, Cina memperkenalkan China Cross-Border International Payment System (CIPS) untuk mempermudah asing mengakses/bertransaksi menggunakan renminbi serta merilis China National Advanced Payment System (CNAPS)--pasangan dalam negerinya. Agar CIPS dan CNAPS tak rontok seperti Mir, internasionalisasi renminbi pun digalakkan.
Sejak akhir 2005, melalui kekuatan diplomasi dan ekonomi, Cina berhasil meloloskan renminbi menjadi salah satu "mata uang elite", mata uang cadangan (reserve currency) ala International Monetary Fund (IMF), mendampingi dolar, euro, pound, dan yen. Hal ini membuat renminbi sah dianggap aman, andal, serta dapat digunakan secara bebas dalam perdagangan/transaksi internasional. Namun, dengan menjadikan renminbi sebagai "mata uang elite," Beijing dipaksa untuk menyerahkan sebagai kontrol ketat atas mata uangnya. Melarang Cina seenaknya melakukan devaluasi.
Untuk benar-benar membuat dunia internasional tertarik menggunakan renminbi, Cina membuat kesepakatan local currency settlement (LCS) dengan beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Selain itu, mereka juga mengucurkan modal pembangunan ke banyak negara via renminbi, seperti yang terjadi di banyak negara Afrika serta negara-negara yang dilalui Jalur Sutra Baru.
Namun, sebelum Cina berhasil membuat renminbi mengalahkan dolar AS sebagai mata uang dunia, pada akhir 2020 lalu 11 pejabat Cina yang dianggap AS melakukan kesewenang-wenangan terhadap Hong Kong diblokir mengakses sistem keuangan Barat. Padahal SWIFT, sistem utama pemrosesan keuangan antarbank di dunia, mendaku netral terhadap urusan politik.
Editor: Irfan Teguh Pribadi